Mohon tunggu...
Nurifah Hariani
Nurifah Hariani Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka membaca dan senang berkhayal

Guru di sebuah sekolah swata di kota Malang, sedang belajar menulis untuk mengeluarkan isi kepala, uneg-uneg juga khayalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku diantara Mereka

14 Januari 2025   20:35 Diperbarui: 14 Januari 2025   20:35 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak perlu ada alasan untuk perasaan yang datang dan hilang.

Ia hadir begitu saja tanpa perkenan

"Mel!"

Itu suara Aletta. Gendang telingaku bergetar mendengar teriakannya tetapi mataku yang baru saja terpejam tidak bisa terbuka. Kudengar suara pintu didorong, lalu seperti ada gempa yang mengguncang ranjang, aku terlempar jatuh ke lantai.

"Aku mau kawin lari, Mel!" katanya.

Ia menghentakkan kakinya membuat ranjang kembali bergetar. Tanpa memperdulikanku, ia merentangkan tangan dan kakinya memenuhi ranjang.

 Eh, apa katanya tadi? Kawin lari? Sama siapa? Gunawan? Daniel? Kesadaranku yang belum pulih sepenuhnya membuat otakku buntu sekedar untuk mengingat nama pacarnya.  Mantannya ada beberapa berbeda denganku yang baru punya satu.

"Gunawan sudah lama lewat. Daniel siapa? Tak ada pacarku yang namanya Daniel. Samsul, Mel!" Aletta bangun, kedua tangannya menopang dagu.

"Oh, ya,  Samsul, yang guru madarasah itu 'kan." Mataku yang sudah terbuka lebar menatap saudara sepupuku itu. Aku meragukan kesungguhannya. Anak Budhe Marini itu kemana-mana minta kuantar selain karena tak bisa naik sepeda motor, ia juga pelupa. Jangankan nomor hp, plat nomor sepeda yang hanya empat angka saja  tak bisa diingatnya.

"Kapan?" tanyaku. Kesal juga aku melihatnya termangu-mangu, enak-enakan di atas kasur tak peduli kepadaku yang sedang berjuang mengusir kantuk.

"Apanya" 

Lha malah tanya, ia kesini 'kan niatnya mau minta diantar. Bikin emosi saja. "Katanya mau kawin lari sama Samsul. Ayok tak antar! Ditunggu dimana?"

Aletta tertawa sampai matanya tinggal segaris. "Gak jadi, Mel! Aku sudah putus kok"

Emosi aku dibuatnya . Kudorong tubuhnya sampai ke pinggir ranjang. "Maksudmu apa? Bikin aku baper? Mau pamer mutusin cowok seenteng membuang remahan rengginang?".

"Oala Mel, jangan emosi begitu. Nasib kita sama sekarang ini. Patah hati!"

Duh, mengapa pula seperti ada yang menggores dadaku. Pedih. Jadi ingat lagi kepada Bian yang meninggalkanku untu menikah dengan Sarah.

Aletta menggenggam tanganku. "Sorry, Mel. Tetapi patah hati itu sejarah hidup yang harus dirayakan. Memang sih awalnya perih dan sakit. Ditolak, dicaci, dianggap gagal atau pun ditertawakan. Namun patah hati mengajarkan bahwa kita bukan siapa-siapa di dunia ini."

Ia turun dari ranjang, mengambil air minum lalu memberikannya kepadaku.

"Mama tak menyukai Samsul. Katanya kami berbeda. Dari nama saja sudah tidak balance. Aletta dan Samsul. Kalau sudah menikah nanti namaku menjadi Aletta Dyan Kumala Samsul. Gak cocok 'kan."

Aneh! Ibu dan anak yang sama uniknya. Jika orang lain menangis bombay karena patah hati, Aletta malah membuat perayaan.

"Semula aku tidak setuju dengan Mama. Aku bertekad akan memperjuangkan cintaku dengan Samsul. Dengan kawin lari misalnya. Tetapi Samsul menolak. Begini katanya , jangan melawan orang tua, berdosa. Lebih baik kita menunggu sambil saling memantaskan diri. Kita akan saling menabung rindu sampai waktu yang tepat itu tiba." Aletta mengambil toples keripik pisang, mulai memakannya satu persatu. Ada yang berbeda di raut wajahnya. Sepertinya ia sedih tetapi berusaha mengingkarinya.

"Terus mengapa malah kamu memutuskannya?" tanyaku.

"Mel, aku hanya punya Mama. Dia sudah mengorbankan seluruh hidupnya untukku. Samsul? Jika kami berjodoh, pasti Allah akan mempertemukan kami di saat yang tepat."

"Lalu maksudmu ke sini, apa?"

Telunjuk Aletta mengarah ke arah kardus di balik pintu."Mau minta tolong ya , Melody yang cantik,baik hati , suka menolong dan tidak sombong, itu kardus isinya buku-buku dari Samsul. Tolong dikembalikan ya. Pliss! Bantulah aku melupakannya. Biarlah kenangan bersamanya menjadi masa laluku."

*enha*

Gerimis baru saja usai ketika aku sampai di kafe yang dekat dengan sekolah tempat Samsul mengajar. Rupanya ia sudah sampai mendahuluiku.

"Maaf membuatmu menunggu," sapaku kepada lelaki yang masih memakai seragam coklat itu.

Ia tersenyum lalu mempersilahkanku untuk memesan makanan.

"Tak perlu dikembalikan sebenarnya. Itu hadiah untuk Aletta," kata Samsul.

Lelaki berkumis tipis itu hanya melihat sekilas pada kardus yang kubawa.

"Ia tak mau terjerat dalam kenangan bersamamu."

Samsul menarik napas panjang. Ia mempermainkan sedotan dalam gelas minumannya.

"Heran, kalian sepertinya saling mencintai tetapi malah putus. Mengapa tidak berjuang untuk mendapatkan restu?" cecarku.

"Aku masih berjuang tetapi Aletta yang memutuskan untuk menyerah."

"Dia mengajakmu kawin lari ." Aku mulai meradang.

"Nekad itu namanya. Restu orang tua itu penting. Hanya perlu waktu."

"Jadi kamu masih cinta sama Aletta?"

Pemuda beralis tajam itu tidak menjawab. Ia mengaduk es lalu menyeruputnya pelan. Setelah mengambil napas panjang ia bertanya "Apa cinta itu menurutmu,  Melody?"

"Eum ... bagaimana ya? Cinta itu perasaan saling tertarik antara perempuan dan laki-laki. Perasaan itu membuat mereka merencanakan untuk hidup berdua dengan menikah, punya anak, membina keluarga sakinah mawaddah wa rohma."

Samsul tersenyum. "Pernah mendengar cerita Cinderella? Atau Putri Salju?" tanyanya.

"Pernahlah. Aku baca bukunya juga nonton filmnya berkali-kali. Ketika kecil dulu aku pengin seperti Putri Salju,sayangnya kulitku coklat  tidak seperti Aletta yang putih ."

"Cinta yang kamu bilang itu ceritanya sama seperti dongeng putri kerajaan yang selalu diakhiri dengan kalimat "They lived happily ever after". Sepertinya segala permasalahan hidup selesai dengan menikah. Masalah sebelum menikah seperti uang kontrakan, uang makan, uang belanja, soal pekerjaan, hubungan dengan orang tua, pengaturan waktu dan sebagainya itu, apa selesai dengan menikah?"

Lho ... lho ... aku kok gak pernah mikir sejauh itu ya. Mungkin Aletta juga.

"Jadi, cinta itu apa dong ?" Aku menyerah.

"Eum, bagaimana ya? Banyak ahli bahasa juga pujangga yang mencoba memberi definisi cinta. Tetapi tetap saja tidak ada definisi pasti apa itu cinta. Inilah anugerah terindah yang diberikan Allah kepada makhluknya. Cinta membuat seseorang rela berkorban. Cinta membuat kita merasa bahagia di tengah kesedihan. Cinta mampu mengubah kelemahan menjadi kekuatan, seperti halnya air mata. "

Samsul memperbaiki posisi duduknya.

"Cinta itu seperti kisah Abu Bakar RA yang merelakan kakinya tergigit ular karena tidak ingin membangunkan Rasulullah SAW. Bisa juga kisah Fatimah dengan Ali yang saling menjaga amanah cinta. Atau kisah Abu Darda dan Salman al Farisi. Salman al Farisi merelakan  gadis yang dicintainya karena gadis itu mencintai Abu Darda yang tidak lain adalah sahabatnya. Bahkan Salman al Farisi memberikan emas miliknya kepada  Abu Darda untuk dijadikan mahar. Demikian juga cinta Siti Hajar yang bolak balik dari Shofa ke Marwa demi mendapatkan air untuk putranya."

Wow, takjub aku mendengarnya. Nafasku seperti tertahan karenanya. Pantaslah jika Aletta tergila-gila kepada lelaki ini.

"Itulah bentuk-bentuk cinta yang pernah ada. Cinta yang membuat manusia menjadi rela. Rela menunggu, rela melepaskan juga rela membangun untuk menjaga kehormatan cinta."

"Jadi cinta tidak harus diakhiri dengan pernikahan?"

"Itu hanya sebagian kecil dari kisah cinta yang pernah ada. Sebenarnya tidak selalu ada hubungannya antara pernikahan dengan cinta. Banyak orang bisa menikah tanpa cinta, seperti kisah orang tuaku. Cinta ya cinta. Menikah ya menikah. Melody pernah mendengar kisah Laila Majnun?"

"Aku menggeleng.

"Kisah Qais Majnun ditulis oleh Nizami Ganjavi, penyair Persia di abad ke-12, tepatnya pada era Dinasti Saljuk. Qais mencintai Laila, begitu juga sebaliknya. Tetapi cinta mereka terhalang tabir tebal yang bernama kelas sosial. Keluarga Laila berupaya memisahkan keduanya dengan menjodohkan laila dengan lelaki lain.  Qais menjadi gila (majnun) lantaran sering bermonolog sendiri di jalan-jalan seolah sedang berbicara dengan Laila. Ia sering kedapatan memeluk dan menciumi tembok rumah Laila seolah sedang memeluk dna mencium Laila."

"Apa kamu juga akan segila itu?"

Samsul tersenyum. Ia menarik napas panjang lalu melanjutkan."Aku hanya lelaki biasa. Aletta menjadikanku istimewa. Kami pernah saling jatuh cinta. Sampai kini pun rasa itu masih ada. Namun banyak hal yang harus dibahas, menjadikan kami dua orang yang ingin saling lepas."

Begitukah? Tiba-tiba aku ingat kepada Bian. Ah, sudahlah. Toh ia sudah bahagia dengan Sarah.

"Mel, tak perlu ada alasan untuk perasaan yang datang dan hilang. Ia hadir begitu saja tanpa perkenan."

Maksudnya? Aku masih berusaha mencerna ucapannya lalu tanpa kusadari jemariku sdah ada dalam genggamannya.

"Kita bisa mencobanya 'kan. Maukah kau melukis kisah baru bersamaku?"

Aha, siapa takut?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun