Tak perlu ada alasan untuk perasaan yang datang dan hilang.
Ia hadir begitu saja tanpa perkenan
"Mel!"
Itu suara Aletta. Gendang telingaku bergetar mendengar teriakannya tetapi mataku yang baru saja terpejam tidak bisa terbuka. Kudengar suara pintu didorong, lalu seperti ada gempa yang mengguncang ranjang, aku terlempar jatuh ke lantai.
"Aku mau kawin lari, Mel!" katanya.
Ia menghentakkan kakinya membuat ranjang kembali bergetar. Tanpa memperdulikanku, ia merentangkan tangan dan kakinya memenuhi ranjang.
 Eh, apa katanya tadi? Kawin lari? Sama siapa? Gunawan? Daniel? Kesadaranku yang belum pulih sepenuhnya membuat otakku buntu sekedar untuk mengingat nama pacarnya.  Mantannya ada beberapa berbeda denganku yang baru punya satu.
"Gunawan sudah lama lewat. Daniel siapa? Tak ada pacarku yang namanya Daniel. Samsul, Mel!" Aletta bangun, kedua tangannya menopang dagu.
"Oh, ya,  Samsul, yang guru madarasah itu 'kan." Mataku yang sudah terbuka lebar menatap saudara sepupuku itu. Aku meragukan kesungguhannya. Anak Budhe Marini itu kemana-mana minta kuantar selain karena tak bisa naik sepeda motor, ia juga pelupa. Jangankan nomor hp, plat nomor sepeda yang hanya empat angka saja  tak bisa diingatnya.
"Kapan?" tanyaku. Kesal juga aku melihatnya termangu-mangu, enak-enakan di atas kasur tak peduli kepadaku yang sedang berjuang mengusir kantuk.
"Apanya"Â