"Kamu seperti orang yang tidak pernah makan saja, Mus," cetusku.
"Makan sih tiap hari, pake krupuk sama kecap. Emak lebih suka beli rokok buat Bapak daripada beli makanan."
Rumah kami berdekatan. Aku tahu bapaknya yang suka mabok itu. Lelaki yang seumuran dengan bapakku itu sering menghajar anaknya. Ia suka berteriak-teriak memanggil istrinya. Entah apa pekerjaannya, pagi sampai sore ia di rumah saja sementara istrinya, bekerja di pabrik rokok.
Kasihan Mustari, melihatnya makan begitu lahap aku jadi tidak tega. Aku biarkan dia menghabiskan sandingan entah kiriman dari siapa. Mudah-mudahan Mbah Kaji Jamil tidak tahu.
** enha **
Slametan sudah selesai. Beberapa orang tetap di Langgar menunggu waktu Isya. Aku memilih pulang saja, tak tahan dengan nyamuk yang membawa banyak temannya.
"Rus, Â tahu Mustari?" tanya Emak yang menungguku di depan rumah.
"Gak! Memang kenapa, Mak?"
"Tadi siang ketahuan merokok mau dihajar sama bapaknya, sampai sekarang belum pulang,"
Sebandel-bandelnya anak itu, ia pasti pulang waktu Magrib, apalagi sekarang malam Jum'at Legi. Jangan-jangan ... begidik aku membayangkannya.
Kekhawatiranku terjadi. Selepas Isyak, Mustari belum juga pulang. Orang tuanya panik. Sudah mencari kemana-mana, belum ketemu juga. Di rumah mbahnya tidak ada. Di lapangan, tempat favorit Mustari, tidak ketemu. Di Langgar, kosong. Di punden, nihil.