"Yang lain ada nggak?" tanya Mustari yang ternyata mengikutiku.
Aku menggedikkan bahu. Tidak tahu.
Mustari  mengikutiku sampai di Langgar. Di sana sudah ada beberapa tampah yang berisi makanan aneka rupa. Slametan malam Jum'at Legi akan diadakan bakda Magrib.
"Rus! Â Lihatlah ini ada nasi kuning dan ayam goreng." Mustari menunjukkan kepadaku isi tampah yang dibawanya. Tangan dekilnya sudah menggigit sepotong ayam.
"Hai, jangan dimarahi Mbah Kaji, " kataku.
Telat! Mustari membawa tampah itu keluar langgar.
"Kembalikan!" teriakku. Tak ada orang lain di sini.
Mustari  malah berlari menjauh.  Aku mengikutinya sampai di punden "Sentono".
Punden ini makam Kyai Sentono yang merupakan tokoh yang mbabat alas daerah sini. Disampingnya ada sendang dengan pohon beringin yang menaunginya. Dulu warga daerah sini selalu mengadakan slametan di punden. Mbah Kaji Jamil mengubah kebiasaan itu dengan membangun Langgar  di dekat punden. Warga sekarang selametan dengan membaca doa tahlil dan sholawat, tidak hanya memakai doa-doa kejawen seperti dulu.
Anak-anak kampung sini sering menggunakan tempat ini untuk bermain. Sepakbola, gobak sodor atau sekadar jumprit singit. Biasanya setelah puas main dan berkeringat kami akan menceburkan diri di sendang. Mandi sekaligus berenang. Seger rasanya.
 "Enak, Rus, kamu mau?" tanya Mustari. Ia duduk bersila di samping nisan yang ditutup kain mori putih. Tanpa  mencuci  tangan, ia langsung melahap nasi kuning dan ayam goreng. Mulutnya penuh. Beberapa kali kepalanya menggeleng, tenggorokannya sampai berbunyi menandakan kenikmatan yang tengah dialaminya. Lapar atau doyan? Apa tidak takut kuwalat makan sajian slametan yang belum didoai?