Mohon tunggu...
Nuria Alfi Zahrah
Nuria Alfi Zahrah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa PBSI UIN Jakarta

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, kelahirah tahun 2001. kini sedang menjalani perkuliahan semester ganjil. suka menulis dan desain kreatif. dapat mengunjungin akun instagram @nuriazahrah untuk lebih dekat.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pagi 21 Menit: Masih Adakah Harapan dan Masa Depan Itu?

5 Oktober 2021   22:25 Diperbarui: 7 Oktober 2021   16:11 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pagi 21 Menit: masih adakah harapan dan masa depan itu?

Karya sastra terus bermunculan, tanpa dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Salah satunya ialah pementasan virtual “Pagi 21 Menit” yang diproduksi oleh Kala Teater Makassar. Nurul Inayah sebagai seorang sutradara. Pembuat naskah dan dramaturg oleh Shinta Febriany.

Berawal dari informasi yang diunggah oleh akun instagram milik @kalateater. Unggahan poster pementasan virtual “Pagi 21 Menit” mendapat sorotan dari beberapa tokoh terkenal seperti Aan Mansyur dan Rudolf Puspa yang kerap disapa Om Rudolf, beliau merupakan salah satu pendiri teater. 

Bagi banyak orang, itu pasti merupakan suatu apresiasi yang besar oleh mereka untuk Kala Teater, karena dapat menyuguhkan pementasan kedua setelah sukses menggarap pementasan berjudul “Di Balik Sinar Suram”.

Tak menyangka, ternyata judul “Pagi 21 Menit” benar adanya. Begitulah, durasi pementasan virtual kala teater ini memang hanya selama 21 menit. 

Walaupun demikian, 21 menit ini sangat berharga untuk memberitahu kepada para penonton, bahwa harapan dan masa depan dapat digapai jika berusaha sungguh-sungguh.

Diksi ‘Pagi’ menghadirkan banyak makna tersirat. Menurut KBBI pagi berarti ‘bagian awal dari hari’. Saat pagi hari pun harapan dan mimpi-mimpi bermunculan. Ada yang berkata “waktu pagi mu menentukan satu hari penuh atas dirimu. Jadi, jika pagi hari sudah bermalas-malasan, ya begitu pula gambaran untuk 24 jam ke depan. 

Namun sebaliknya. Jika pagi dijadikan awal permulaan orang bermimpi dan mengejar harap, maka hari-harinya akan penuh dengan semangat dan gairah.

Pertunjukan yang disuguhkan oleh Kala Teater, asal Makassar. Mengundang banyak tanya. Bagaimana tidak? Pertunjukan ini dibuka dan ditutup oleh alunan nada yang berbunyi

Mungkin aku adalah anjing

Yang dikisahkan agamamu

Anjing yang lapar dan dahaga

Yang gagal mati

Sebab memiliki kemaluan untuk dikenang.

Mungkin jika didengar kata yang membentuk kalimat itu, tidak asing didengar. Pasalnya, setelah mendengar dan memahami lirik ini. Ternyata memang benar, mirip seperti kisah yang dijelaskan dalam agama Islam. Tepatnya dalam HR. Bukhari No. 3321, Muslim No. 2245. Terjemahnya berbunyi “seorang wanita pelacur diampuni oleh Allah. 

Dia melihat seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di sisi sebuah sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan. Si wanita pelacur tersebut lalu melepas sepatunya, dan dengan penutup kepalanya. Lalu dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah”.

Hadist ini mengisahkan seekor anjing yang kehausan, kemudian ditolong oleh seorang pelacur yang melewati dan melihatnya. Lalu pelacur itu mengambilkan air untuk anjing tersebut. Sebab perbuatan ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah dan dimasukkan ke dalam surga.

Begitulah harapan yang ingin digambarkan dalam pementasan virtual ‘Pagi 21 Menit’. Waktu yang begitu singkat, namun dapat menjadikan penonton bertanya “Apakah harapan dan masa depan masih ada?”. 

Jawabannya, Ya. Harapan dan masa depan masih dapat digapai oleh orang-orang yang percaya bahwa Sang pemilik alam semesta sudah mengatur dengan sebaik mungkin. Dan senantiasa berbuat baik kepada siapa pun.

Merujuk kembali kepada pementasan yang dilakoni oleh Zore (Wawan Aprilianto), Nisu (Dwi Lestari Johan) dan Poha (Syahrini Andriyani). Drama yang singkat namun tersampaikan pesannya kepada penonton. 

Menggambarkan kehidupan sederhana. Menyuguhkan latar sederhana dan pemain yang hanya tiga orang. Namun, dapat dengan baik memerankan karakternya. Walaupun drama ini ditayangkan secara virtual, tidak menutup kemungkinan banyak penonton yang penasaran dengan isi ceritanya.

Ada juga sisi di mana penonton merasakan bosan, karena gerakan ruang yang sangat terbatas, membuat pandangan mata tidak leluasa. Lebih dan kurangnya, pementasan ini patut mendapatkan apresiasi bagi para penonton.

Selamat dan sukses.

Ditunggu karya-karya terbaik lainnya, Kala! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun