Dalam dunia politik yang semakin dipengaruhi oleh tren media sosial, citra dan kemasan pesan sering kali menjadi senjata utama yang mengalahkan substansi dan visi. Fenomena "politik gemoy" muncul sebagai strategi komunikasi yang menonjolkan sisi manis, lucu, dan menggemaskan para politisi untuk menarik perhatian publik, terutama pemilih dengan tingkat literasi politik yang rendah. Istilah "gemoy," plesetan dari kata gemas atau menggemaskan, populer di kalangan anak muda dan pengguna media sosial. Fenomena ini bahkan sempat melekat pada figur Prabowo Subianto, yang dianggap "gemoy" karena postur tubuh sintalnya dan kebiasaan berjoget dalam beberapa acara publik. Namun, apakah strategi ini benar-benar efektif meningkatkan keterlibatan politik, atau sekadar cara murahan untuk mengelabui pemilih?
Dengan semakin masifnya penggunaan meme, video pendek, dan candaan receh dalam kampanye politik, "politik gemoy" kian berkembang sebagai alat komunikasi politik yang menonjolkan kedekatan emosional alih-alih gagasan. Fenomena ini menjadi magnet kuat bagi generasi muda atau pemilih tingkat literasi politik yang rendah yang cenderung mencari hiburan dalam segala aspek kehidupan, termasuk politik. Namun, di balik pendekatan ini tersimpan pertanyaan besar: apakah fenomena "politik gemoy" dapat mencerdaskan demokrasi atau justru memperparah krisis kesadaran politik di masyarakat? Artikel ini akan mengupas lebih jauh bagaimana strategi ini memengaruhi kualitas demokrasi, menilai apakah "politik gemoy" adalah inovasi komunikasi yang adaptif atau sekadar permainan citra untuk mengeksploitasi emosi publik.
Fenomena ini dianalisis melalui Teori Kultivasi dari George Gerbner, yang menjelaskan bagaimana media berperan dalam membentuk persepsi realitas masyarakat. Dalam konteks ini, media sosial yang sering memuat konten visual seperti video atau meme politisi bertingkah 'gemoy' cenderung membentuk persepsi publik bahwa kedekatan emosional dan hiburan merupakan aspek penting dari politik. Selain itu, pendekatan ini juga dapat dikaitkan dengan Teori Dramaturgi Erving Goffman, yang memandang komunikasi sebagai panggung di mana politisi memainkan peran tertentu untuk membangun citra yang disukai masyarakat. Melalui pendekatan ini, 'politik gemoy' bukan hanya strategi komunikasi, tetapi juga alat pencitraan yang bertujuan untuk mengarahkan perhatian masyarakat pada persona politisi, mengalihkan fokus dari isu-isu substantif.
Eksploitasi Emosi dan Pemilih SDM Rendah
Fenomena "politik gemoy" menjadi populer karena caranya yang mudah menarik perhatian masyarakat dengan menggunakan emosi. Di Indonesia, ini terlihat ketika politisi melakukan hal-hal sederhana seperti berjoget, bercanda, atau terlihat santai untuk membuat orang merasa dekat. Cara ini sering berhasil, terutama bagi orang-orang yang kurang memahami atau tidak terlalu peduli pada isu-isu politik yang lebih berat.
Namun, kedekatan yang muncul dari gaya ini sebenarnya hanya tampak di permukaan dan tidak selalu nyata. Bukannya mengajak masyarakat untuk membahas masalah penting seperti ekonomi, pendidikan, atau hukum, gaya ini justru membuat perhatian publik teralihkan ke hal-hal yang kurang relevan. Akibatnya, banyak pemilih yang akhirnya menentukan pilihan mereka berdasarkan rasa simpati atau emosi, bukan berdasarkan penilaian yang logis terhadap program kerja yang ditawarkan.
Menurut saya, cara ini mungkin efektif untuk meraih suara, tapi sebenarnya berbahaya bagi demokrasi. Dengan terlalu fokus pada penampilan dan hiburan, politisi mengabaikan tanggung jawab untuk menyampaikan gagasan yang bisa benar-benar memperbaiki kehidupan masyarakat.
Keberhasilan Strategi di Era Media Sosial
Media sosial menjadi pendorong utama yang mempercepat penyebaran "politik gemoy." Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter memungkinkan politisi membuat konten yang dengan mudah menjadi viral. Contohnya, video singkat yang memperlihatkan politisi berjoget atau berinteraksi santai dengan masyarakat sering kali ditonton jutaan orang dan mendapatkan ribuan komentar. Meski ada kritik, mayoritas respons biasanya positif, menciptakan kesan bahwa politisi tersebut benar-benar dekat dengan rakyat. Namun, kedekatan ini lebih sering merupakan hasil rekayasa citra daripada hubungan yang nyata.
Fenomena ini tak lepas dari cara masyarakat sekarang mengonsumsi informasi. Generasi muda, yang mendominasi pengguna media sosial, cenderung lebih menyukai konten visual dan hiburan dibandingkan membaca teks panjang yang berisi data atau analisis. Akibatnya, politisi yang mampu tampil "gemoy" lebih mudah menarik perhatian dan dukungan kelompok ini.
Meskipun strategi ini efektif untuk menarik simpati publik, dampaknya terhadap demokrasi dalam jangka panjang patut dipertanyakan. Apakah konten semacam ini benar-benar meningkatkan kesadaran politik masyarakat atau justru memperburuknya? Jika politisi lebih fokus pada penampilan dibandingkan substansi, kita berisiko kehilangan esensi demokrasi, yaitu membahas dan mencari solusi atas isu-isu penting yang memengaruhi kehidupan rakyat.
Kekurangan Substansi dalam "Politik Gemoy"
Salah satu masalah utama dalam "politik gemoy" adalah kurangnya fokus pada substansi yang penting. Banyak politisi yang lebih sibuk membangun citra menggemaskan daripada membahas isu-isu besar seperti ketimpangan sosial, korupsi, atau pembangunan yang berkelanjutan. Akibatnya, pemilih, terutama yang kurang teredukasi dalam politik, sering kali tidak mendapatkan informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang tepat saat memilih.
Lebih buruk lagi, pendekatan ini bisa mengubah cara masyarakat melihat politik. Alih-alih memahami politik sebagai tempat untuk memperjuangkan ide dan solusi untuk masalah nyata, publik malah mulai menganggapnya sebagai bentuk hiburan saja. Dalam jangka panjang, ini bisa merusak kualitas demokrasi. Keputusan politik yang diambil justru didasarkan pada perasaan dan emosi, bukan pada pemikiran yang rasional tentang program dan visi yang ditawarkan oleh calon pemimpin.
Menurut saya, masalah ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat literasi politik di masyarakat. Banyak orang yang memilih berdasarkan kesan emosional daripada pengetahuan tentang isu-isu yang seharusnya lebih diperhatikan. Hal ini membuat demokrasi kita lebih rentan terhadap manipulasi citra dan hiburan, daripada berfokus pada kebijakan yang dapat benar-benar membawa perubahan.
Implikasi terhadap Demokrasi
Fenomena "politik gemoy" tidak hanya berdampak pada hubungan antara politisi dan pemilih, tetapi juga pada kualitas demokrasi secara keseluruhan. Demokrasi yang sehat membutuhkan masyarakat yang kritis dan mampu mengevaluasi program-program yang ditawarkan oleh para calon pemimpin. Namun, ketika "politik gemoy" menjadi norma, ruang untuk diskusi kritis semakin menyempit.
Di satu sisi, strategi ini memang bisa menarik lebih banyak orang, terutama generasi muda yang sebelumnya tidak tertarik dalam politik. Tapi, partisipasi mereka sering kali bersifat dangkal dan tidak didasari pemahaman yang cukup tentang masalah-masalah penting. Akibatnya, keputusan yang diambil oleh pemilih lebih dipengaruhi oleh daya tarik emosional sesaat, bukan pertimbangan matang tentang kebijakan yang akan berdampak jangka panjang bagi masyarakat.
Fenomena ini semakin berbahaya karena rendahnya tingkat literasi politik di kalangan pemilih. Banyak orang yang belum memiliki pengetahuan yang memadai untuk membedakan antara citra kosong dan kebijakan nyata. Jika ini terus berlanjut, kita berisiko kehilangan esensi dari demokrasi itu sendiri, karena keputusan politik lebih didorong oleh simpati sementara daripada pemikiran yang rasional dan berdampak panjang.
Permainan Citra untuk Mengeksploitasi Emosi Publik
Esensi dari "politik gemoy" terletak pada permainan citra yang sengaja dirancang untuk memanfaatkan emosi publik. Banyak politisi yang menerapkan strategi ini hanya untuk meraup suara saja tanpa memiliki visi atau program kerja yang baik untuk mengatasi masalah-masalah negara. Mereka lebih fokus pada menciptakan momen viral yang dapat mendongkrak popularitas mereka di media sosial.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana politik semakin beralih dari diskusi substansi ke pencitraan semata. Di Indonesia, hal ini terlihat jelas saat momen-momen yang seharusnya digunakan untuk membahas program kerja malah dipenuhi dengan gimmick yang bertujuan untuk menciptakan kesan "gemoy." Meskipun pendekatan ini berhasil menarik perhatian, dampaknya terhadap kualitas demokrasi sangat meresahkan.
Hal ini mengingatkan kita bahwa politik seharusnya berfokus pada kebijakan yang akan menguntungkan rakyat, bukan sekadar cara untuk meraih popularitas jangka pendek.
Menilai Keberhasilan dan Kelemahan
Tidak dapat disangkal bahwa "politik gemoy" memiliki kelebihan dalam konteks perpolitikan saat ini. Strategi ini efektif dalam menarik perhatian publik, meningkatkan partisipasi politik, dan menciptakan citra positif bagi politisi. Namun, keberhasilan ini harus dibayar mahal dengan penurunan kualitas diskusi politik dan pemahaman masyarakat tentang isu-isu penting.
Dalam jangka pendek, strategi ini mungkin menguntungkan, terutama bagi politisi yang ingin cepat populer. Namun, dalam jangka panjang, pendekatan ini bisa merusak fondasi demokrasi karena lebih fokus pada pencitraan daripada substansi. Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih sadar untuk tidak terjebak dalam permainan citra ini dan mulai menuntut politisi untuk memberikan solusi nyata terhadap masalah-masalah yang dihadapi bangsa.
Kesimpulan
Fenomena "politik gemoy" ini menunjukkan bahwa strategi komunikasi politik yang mengutamakan citra dan emosi, tanpa memperhatikan substansi dan visi, dapat menjadi taktik yang efektif untuk menarik perhatian pemilih dengan tingkat literasi politik rendah. Di era media sosial yang serba cepat ini, politisi yang mampu tampil menggemaskan dan bersikap santai sering kali berhasil meraih simpati publik, terutama generasi muda yang lebih tertarik pada hiburan dan konten visual. Hal ini menciptakan kesan kedekatan emosional yang kuat antara politisi dan masyarakat, meskipun kedekatan tersebut tidak selalu dibarengi dengan pemahaman yang mendalam tentang isu-isu penting dalam politik.
Namun, meskipun pendekatan ini mampu menarik banyak pemilih, dampaknya terhadap kualitas demokrasi sangat meragukan. Alih-alih memperdalam pemahaman masyarakat tentang kebijakan dan solusi yang ditawarkan oleh para calon pemimpin, "politik gemoy" justru mengarah pada sebuah fenomena yang semakin mengedepankan citra dan permainan emosi. Pemilih cenderung membuat keputusan berdasarkan simpati sesaat, bukan berdasarkan penilaian yang rasional terhadap program kerja yang dapat membawa perubahan signifikan. Hal ini dapat merusak kualitas demokrasi yang seharusnya mengutamakan diskusi substansi dan visi jangka panjang.
Selain itu, rendahnya tingkat literasi politik di kalangan sebagian besar pemilih semakin memperburuk kondisi ini. Tanpa pengetahuan yang cukup, masyarakat cenderung terjebak dalam permainan citra yang hanya menonjolkan kedekatan emosional tanpa menawarkan solusi konkret untuk masalah-masalah nyata. Fenomena ini mengalihkan perhatian dari isu-isu serius seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, dan reformasi sistem pemerintahan, yang seharusnya menjadi fokus utama dalam setiap kampanye politik.
Dengan demikian, "politik gemoy" merupakan strategi murahan yang lebih mengutamakan pencitraan daripada upaya untuk membangun kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat. Meskipun strategi ini dapat mendongkrak popularitas politisi dalam waktu singkat, dampak jangka panjangnya sangat merugikan demokrasi. Pemilih perlu lebih kritis dalam memilih calon pemimpin, dengan mempertimbangkan substansi, visi, dan program kerja yang mereka tawarkan, bukan hanya terjebak pada citra manis yang disuguhkan melalui media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H