Mohon tunggu...
Nur Hidayah
Nur Hidayah Mohon Tunggu... Relawan - Seorang Pembelajar

choiworldblog.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Positifkah #BodyPositivity?

25 Maret 2020   07:03 Diperbarui: 25 Maret 2020   07:12 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belakangan ini, terdapat suatu gerakan yang sedang marak diikuti oleh berbagai kalangan di dunia, terutama wanita muda, yaitu gerakan mencintai tubuh sendiri atau yang lebih dikenal dengan body positivity. Pada intinya, gerakan ini mengajak orang-orang untuk bersyukur dan menerima apa pun bentuk tubuh yang kita miliki. 

Di media sosial instagram sendiri, per tanggal 15 Maret 2020, telah terdapat 12,1 juta postingan yang menggunakan tagar #bodypositive, 4,2 juta dengan tagar #bodypositivity, dan 190 ribu dengan tagar #bodypositivemovement.

Rupanya, gerakan ini tak hanya nge-trend di negara-negara Barat saja, tetapi juga hingga ke Indonesia, seperti yang dapat kita lihat dalam salah satu postingan Tara Basro pada 3 Maret yang lalu. 

Postingan yang menampilkan foto Tara Basro hanya dengan pakaian seadanya ini disukai oleh ratusan ribu akun disertai berbagai komentar dukungan. Jika dilihat dari permukaannya saja, gerakan ini adalah suatu gerakan yang sangat positif, terutama di tengah-tengah masyarakat yang sering sekali membanding-bandingkan fisik satu sama lain. 

Sebagai Muslim, kita juga memang diwajibkan untuk bersyukur atas segala yang telah diberikan Allah Swt., sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ibrahim ayat 7. Yang kemudian menjadi perdebatan adalah bagaimana cara kita menunjukkan kecintaan tersebut. Dalam gerakan body positivity ini, sebagian besar pengikutnya memposting foto-foto semi-bugil yang menampakkan hampir seluruh aurat mereka dengan alasan sebagai wujud kebanggaan atas tubuh sendiri.

Jika diulik lebih jauh, gerakan body positivity sesungguhnya adalah reaksi dari adanya fenomena standar kecantikan di masyarakat. Standar kecantikan itu sendiri sebetulnya berbeda-beda di tiap jaman. 

Jika pada tahun 1800-an masyarakat mengenal Lilian Russel dengan bentuk tubuhnya yang berisi bak 'gitar Spanyol' sebagai simbol kecantikan, kini di abad 21 masyarakat telah menggeser standar itu menjadi kurus, langsing, putih, tinggi, dan lain sebagainya. Namun, apa pun itu, standar kecantikan terus eksis hingga saat ini.

Ada banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya standar kecantikan ini, salah satunya adalah budaya materialisme yang lahir dari sistem kapitalisme. 

Menurut KBBI, materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Singkatnya, budaya materialisme adalah budaya yang mendewakan materi yang terlihat saja tanpa mengindahkan nilai yang terkandung di dalamnya. Materi di sini bisa apa saja, mulai dari uang, harta benda, dan juga bentuk fisik manusia.

Sistem kapitalisme yang semakin hari kian merasuki kehidupan kita secara perlahan juga membentuk pandangan materialisme itu. Husna (2015) dalam jurnalnya mengatakan bahwa konseptualisasi materialisme sebagai aspirasi finansial dilatarbelakangi oleh keprihatinan kecenderungan masyarakat kapitalis yang memandang kesuksesan dan kebahagiaan tergantung pada kemampuan mencapai kekayaan finansial. 

Dalam hal penentuan standar kecantikan, banyaknya framing media dari berbagai industri kecantikan mengambil peran besar. Industri pemutih kulit akan menjadikan sosok yang putih nan cerah sebagai model utamanya, begitu pun dengan industri peninggi dan pelangsing. Semua itu dilakukan atas dasar mencari keuntungan semata, khas kapitalisme.

Nilai kuantitas kemudian mulai menggeser nilai kualitas sesuatu. Hal ini diperparah dengan adanya media sosial yang semakin mewadahi tersebarnya pandangan materialisme. Manusia dibentuk untuk menjadi judgemental hanya dengan melihat profil media sosial seseorang. Maka menjadi wajar jika fenomena seperti body shaming, cyber bullying, dan pendewaan standar kecantikan semakin meningkat.

Beberapa orang yang merasa tidak ingin terjebak dalam standar kecantikan tersebut kemudian menjadikan body positivity sebagai solusinya. Seperti yang sudah ditulis sebelumnya, bahwa ide utama dari body positivity ini sesungguhnya baik. 

Menerapkan body positivity dengan cara mengumbar bentuk tubuh ke media sosial-lah yang menurut penulis kurang bijak. Bukankah poin utama dari gerakan ini adalah mencintai diri sendiri tanpa peduli stigma masyarakat tentang tubuh kita? Lalu mengapa kita masih harus mendapatkan "justifikasi" dari media sosial mengenai kecantikan tubuh kita? Bukankah proses mencintai diri sendiri adalah antara kita dan tubuh kita? Mengapa perlu melibatkan pandangan orang lain dalam proses itu?

Mencintai diri sendiri adalah dengan merawatnya, melindunginya, memperlakukannya dengan mulia, sesuai aturan yang telah ditentukan Sang Pencipta tubuh. Mencintai diri sendiri adalah dengan menjaganya dari berbuat dosa, agar kelak ia terhindar dari siksa api neraka. Bukan dengan mempertontonkannya demi mendapatkan justifikasi sosial dari para netizen online di luar sana.

Pertanyaanya kemudian adalah apa solusi yang tepat mengenai permasalahan ini?

Sebuah studi di Amerika Serikat menunjukkan bagaimana perubahan nilai di negara tersebut selama sekitar empat dekade terakhir. Studi tersebut dilakukan terhadap hampir seperempat juta mahasiswa baru dari tahun 1965-2005 dan mendapatkan temuan bahwa nilai materialistis meningkat, sementara spiritualitas menurun. 

Generasi muda masa kini memandang bahwa kesuksesan finansial adalah hal yang sangat penting dan esensial, melampaui nilai penting membangun filosofi hidup, menjadi ahli di bidang yang digeluti, membantu orang lain yang kesusahan, dan membangun keluarga (Dey, Astin, & Korn, dalam Myers, 2008).

Dari hasil studi di atas, dapat kita lihat bahwa penerapan nilai-nilai agama yang benar akan selalu menjadi jawaban dari berbagai permasalahan yang kita hadapi. Islam dalam hal ini pun telah memiliki solusi bagi semua itu. 

Dalam lingkungan yang menerapkan Islam secara menyeluruh, pemikiran-pemikiran materialistis dan kapitalis akan sangat sulit mendapat tempatnya. Daripada berfokus pada segala hal yang berupa materi, masyarakatnya akan lebih memilih berfokus pada nilai-nilai yang sesuai dengan nafas ke-Islaman, sebagaimana tecermin dalam Q.S Al-Hadid ayat 20 yang artinya:

"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (TQS. Al-Hadid (57) : 20)

Sumber Bacaan

Amindoni, A. (2020, Maret 5). Foto Tara Basro: Hak perempuan atas tubuhnya dan batasan pornografi. Diakses pada Maret 15, 2020, dari BBC Indonesia.

Asikin, D. Z. (2018). Hubungan antara Religiusitas dengan Materialisme pada Mahasiswa. Universitas Mercu Buana Yogyakarta .

Husna, A. N. (2015). Orientasi Hidup Materialistis dan Kesejahteraan Psikologis .

Myers, D. G. (2008). Social psychology. Ninth edition. New York, NY: McGraw-Hill.

Santoso, A. (2018, November 28). Polisi Tangani 966 Kasus Body Shaming Selama 2018. Diakses pada Maret 15, 2020, dari detikNews:  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun