Mohon tunggu...
Nurhidayah
Nurhidayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Manusia Biasa

"Membacalah dan menulis, bentuk peradaban maju di dalam pola pikirmu." - Instagram: hayzdy Linkedin: www.linkedin.com/in/nurhidayah-h-23aab8225

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Persepsi: Kebebasan dalam Ketidaktahuan

9 Februari 2023   06:34 Diperbarui: 9 Februari 2023   06:54 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku berpikir mungkin akan lebih baik jika aku membatasi diri dengan orang-orang di lingkunganku, terlebih di kampus. 

Aku bergidik ngeri, kala salah satu senior mendatangi ku hari itu, walaupun cukup sopan ia terlalu memaksa. Terlebih dengan beredarnya fakta senior yang suka memaksa mahasiswa baru minum alkohol dan dijadikan babu. 

Semester 5 sudah lebih baik, setidaknya aku sudah lebih berani walaupun tetap saja sikapku dinilai menyia-nyiakan kesempatan di dunia perkuliahan. Apakah kuliah pulang - kuliah pulang sesalah itu? Lagipula mengembangkan diri tidak harus didalam organisasi kampus. 

Sejak saat itu, aku memutuskan menulis, menghabiskan lebih banyak waktu di dunia maya, mencari relasi dari orang-orang hebat yang tidak ku kenali dan tidak mengenalku.

"Apakah kamu mulai malas dengan pilihanmu?"

"Katanya ingin sukses tapi banyak sekali tapinya."

"Cecar aku semau, Pak Guru." 

"Baik, tidak ada gunanya mengomelimu, Raag, maka mari kita analisis masalah mu." 

"Apa yang membuatmu memilih menjadi penulis?"

"Pekerjaannya cukup mudah dan sesuai dengan keinginanku."

"Lalu, kenapa kamu malas melakukannya saat ini?"

"Saya... hanya sedikit bosan. Pak Guru tahu, kan, saya butuh uang segera."

"Sudah berapa lama kamu menulis?"

"Sebenarnya sudah cukup lama, tapi waktu itu aku belum berpikir akan menghasilkan uang dari menulis. Sampai aku menemukan platform itu, sebulan lalu aku baru memulai karir menulisku."

"Apakah sebulan sudah cukup pantas menghasilkan uang untuk seorang pemula, baru belajar, baru memulai?"

"Yah, aku tahu, tidak seharusnya aku menjadikan uang sebagai motivasi menulis, apalagi diawal seperti ini." 

"Tidak salah juga, Raag, tapi jangan jadikan uang sebagai motivasi utama. Lalu, bagaimana kamu akan mengatasi rasa malasmu?" 

"Sama seperti sebelumnya, mengistirahatkan diri beberapa jam, melakukan aktivitas menyenangkan lainnya atau malah tidur, nonton, scroll sosmed." 

"Yasudah, sama seperti sebelumnya, istirahat lah dulu, jangan berpikir untuk meninggalkan apa yang sudah kamu pilih. Tapi ingat, Raag, ketika kamu tidak menulis, maka tidak akan ada perkembangan apapun hari itu. Tidak salah tentang cara kamu mengatasi rasa malasmu, tapi lebih baik kamu membaca, kan? Yah, setidaknya jika hari ini tulisanmu tidak bertambah, disisi lain pengetahuan atau malah idemu yang bertambah." 

"Tapi saya bingung, Raag, kenapa kamu terobsesi dengan uang? Setiap masalah mu tidak jauh dari uang dan uang. Orangtua mu bisa memberikan uang untuk mu kan?"

"Ya, orangtuaku mampu membiayai ku. Mungkin ini licik, Pak Guru, tapi uang membuat sesuatu jadi lebih mudah, walaupun uang hanya perantara tetap kemudahan datang dari Tuhan." 

"Aku tahu kamu anak baik, jangan sampai keinginanmu untuk memiliki uang banyak melalaikan dan membutakan matamu. Kebahagiaan tidak selalu datang dari uang, kamu tahu itu!" 

"Anak muda zaman sekarang banyak sekali tantangannya, mudah sekali disetir, mudah jatuh, mudah hilang kendali, sudah ada banyak kasusnya dan itu membuat kian miris masa depan. Raag, ingat satu hal, cari apapun yang kamu inginkan tapi jangan menomorduakan ibadahmu. Tidak ada yang lebih penting dari ketenangan, kedamaian lahir batin." 

"Ya, terima kasih, Pak Guru. Aku rasa terlalu bersemangat mendapatkan uang, dengan dalih untuk orangtua atau berbuat baik, tapi aku sadar kemauan itu hanya ego. Kehadiran Pak Guru, walaupun tidak benar-benar hadir disini, sedikit banyak mengingatkan ku untuk tetap berjalan lurus." 

Aku tak pernah benar-benar tahu siapa Pak Guru, aku menemukannya di Instagram, postingannya selalu menarik. Tiga tahun lalu, aku mengikutinya, mengirimkan pesan dan akhirnya 1 tahun lalu kami berteman baik. 

Aku tidak mengetahui tentang dirinya, kecuali dia seperti seorang Guru yang menjadi teladan bagi siswa-siswanya. 

Tapi hari ini berbeda, Pak Guru ternyata...

"Pak Guru, boleh kirimkan alamatmu? Aku bermaksud mengirimkan sesuatu." 

"Tidak perlu repot-repot, Raag."

"Please, Pak Guru, ini sebagai tanda pertemanan saja kok, hanya hadiah kecil." 

"Baiklah, asal tidak merepotkanmu, Raag." 

"Jawa Timur, Jln. *****"

Aku tahu kami berada di kota yang sama, tapi alamatnya persis dengan lokasi rumahku. Apakah dia?

Aku penasaran, memutuskan melakukan panggilan Instagram, dan benar saja dering hp terdengar dekat dari ku.

Aku tahu antara aku dengan keluarga memiliki hubungan yang tidak terlalu baik, maksudnya kami keluarga yang dingin, lebih banyak diam. 

Akun Instagram ku juga tidak menggunakan nama asli. Raag adalah seorang laki-laki jenius tokoh fiksi, maka tidak heran jika sedikit yang mengetahui itu adalah aku, Alma. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun