Tidak ada yang baik-baik saja jika pagi diawali teriakan frustasi, bahkan setelah dirasa terbangun dari istirahat, tidur semalaman tidak membuat lelah menjadi lebih baik.Â
Bukan salah siapa-siapa, kami hanya kurang belajar dan masih terus belajar untuk menjadi lebih baik.
"Aku harus menjadi yang paling paham emosi, Ibu. Ibu sedang tertekan, kehilangan kakak membuatnya lebih lemah saat ini," mantraku, meredam emosi yang ikut menyertai.
"Tapi aku benar-benar muak mendengar kata-kata kasar, Ibu," kesalku menimpali mantra-mantra yang berusaha ku dengungkan terus-menerus.
Ibu selalu marah, mengomel dan melontarkan kata-kata kasar kepada adik dan sepupuku yang masih anak-anak.
Aku tidak paham, mana yang harus ku pahami terlebih dulu. Emosi ibu sedang tidak stabil, keadaan akhir-akhir ini membuatnya sangat lelah dan adikku yang sedang dalam fase pembangkangannya. Pasti melelahkan menghadapi sikap itu. Bahkan aku sendiri tidak terlalu sabar melihat tingkah adikku.Â
"Aku rasa kegagalanku yang paling jelas adalah ketika aku tidak bisa mendidik adikku," batinku, mencoret lebih brutal kertas-kertas di meja.Â
Dalam Islam, ibu menjadi kunci untuk keberhasilan anak-anaknya, bukan? Aku percaya, setiap ucapan ibu berpengaruh besar terhadap kami.Â
Maka sangat menakutkan rasanya, mendengar ibu mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya, takut ucapan itu menjadi doa buruk untuk kami.Â
"Rasanya melelahkan, tapi bukankah inilah tujuan aku disekolahkan? Setidaknya agar lebih baik dari orang tua."
Mendekam seharian di kamar tentu bukan pilihan yang tepat, ada banyak tugas rumah yang harus dikerjakan. Tapi dalam keadaan seperti ini, semua pun tahu, sangat menyebalkan melakukan sesuatu yang diiringi omelan.
"Okey, tenang, Nir, kamu tidak seharusnya ikut marah, kamu berperan sebagai pengingat disini."
"Tapi ibu bahkan tidak mendengar siapapun, kecuali dirinya sendiri."
Rasanya sudah berulang kali aku menarik nafas dalam, tapi tetap saja sesak di dada tidak berkurang. Bermonolog jadi lebih baik, sebab satu kata yang keluar mungkin hanya akan mengundang teriakan-teriakan lain.
"Nir, ibu adalah orang tua, maka sudah sepatutnya kita mengingatkannya sebagaimana anak, bukan sebagai guru. Jangan memperlihatkan sikap asing, Nir, itu hanya membuat ibu lebih terluka."
"Aku disekolahkan agar lebih banyak tahu, agar bisa menjadi pengingat untuk kedua orangtua."
"Selain mengangkat derajat keluarga, banyak harapan ibu agar aku bisa lebih dari mereka. Tentu, ibu ingin melihat anak-anaknya tumbuh menjadi manusia yang sukses tapi tetap menjadi manusia yang tahu diri."Â
"Ada banyak hal yang hanya bisa dipahami saat melaluinya, jika melihat saja mungkin akan menyimpulkan satu sisi, sisi lain bisa jadi terluput padahal disana titik pentingnya."Â
"Ibu hanya belum paham, ibu tidak tahu apa itu parenting, ibu tidak paham bagaimana menghadapi psikologi anak."
"Sebagai orang yang belajar, sudah sepatutnya aku mencerminkan sikap pembelajar, bukan? Aku tentu harus bijak menyikapi banyak hal, memperlihatkan tabiat baik."
Jarum jam berpindah dari angka ke angka, buku-buku dihadapanku sudah penuh coretan kegelisahan, monolog untuk menguatkan diri sendiri atau malah mengeluh juga. Tidak mudah bukan berarti tidak bisa dilalui, jika suara lantang tidak membuat Ibu mendengar, maka jalan satu-satunya adalah mendengungkan suara dalam diam, berdoa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H