"Okey, tenang, Nir, kamu tidak seharusnya ikut marah, kamu berperan sebagai pengingat disini."
"Tapi ibu bahkan tidak mendengar siapapun, kecuali dirinya sendiri."
Rasanya sudah berulang kali aku menarik nafas dalam, tapi tetap saja sesak di dada tidak berkurang. Bermonolog jadi lebih baik, sebab satu kata yang keluar mungkin hanya akan mengundang teriakan-teriakan lain.
"Nir, ibu adalah orang tua, maka sudah sepatutnya kita mengingatkannya sebagaimana anak, bukan sebagai guru. Jangan memperlihatkan sikap asing, Nir, itu hanya membuat ibu lebih terluka."
"Aku disekolahkan agar lebih banyak tahu, agar bisa menjadi pengingat untuk kedua orangtua."
"Selain mengangkat derajat keluarga, banyak harapan ibu agar aku bisa lebih dari mereka. Tentu, ibu ingin melihat anak-anaknya tumbuh menjadi manusia yang sukses tapi tetap menjadi manusia yang tahu diri."Â
"Ada banyak hal yang hanya bisa dipahami saat melaluinya, jika melihat saja mungkin akan menyimpulkan satu sisi, sisi lain bisa jadi terluput padahal disana titik pentingnya."Â
"Ibu hanya belum paham, ibu tidak tahu apa itu parenting, ibu tidak paham bagaimana menghadapi psikologi anak."
"Sebagai orang yang belajar, sudah sepatutnya aku mencerminkan sikap pembelajar, bukan? Aku tentu harus bijak menyikapi banyak hal, memperlihatkan tabiat baik."
Jarum jam berpindah dari angka ke angka, buku-buku dihadapanku sudah penuh coretan kegelisahan, monolog untuk menguatkan diri sendiri atau malah mengeluh juga. Tidak mudah bukan berarti tidak bisa dilalui, jika suara lantang tidak membuat Ibu mendengar, maka jalan satu-satunya adalah mendengungkan suara dalam diam, berdoa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H