"Ra, sepertinya sekali lagi kebodohanku akan dipertontonkan," ujar Lani meringis, melangkah mau tidak mau ke hadapan semua murid.Â
"Tidak boleh bilang seperti itu, Lan," balas Raib berbisik.
Raib tidak mengerti kenapa matematika menjadi tolak ukur kecerdasan, walaupun tidak dapat dipungkiri matematika memang berperan penting.Â
Raib melirik Yukif yang duduk di pojok belakang. Penampilan dan sikap Yukif memang bisa diartikan pemalas dan terlihat bodoh, tapi bagi Raib, Yukif adalah pembelajar yang tenang. Raib bahkan tidak berpikir Yukif akan menjadi saingan, jika melihat gayanya yang setengah-setengah dalam belajar. Tapi siapa yang tahu, kan?
"Raib, rasanya aku benar-benar ingin mengundurkan diri dari kelas Pak Am," ungkap Lani seusai pelajaran matematika berakhir. Pada akhirnya, Lani dibantu oleh Yukif menjawab soal di papan tulis dan dibekali 5 soal matematika karena tertangkap tidak memperhatikan penjelasan Yukif.Â
"Mana bisa, Lan, bisa-bisa nggak lulus dong kamu," jawab Raib heran.Â
"Mata pelajaran itu benar-benar nggak bisa masuk kepala, Raib, kamu lihat kan tadi, aku terlihat sangat bodoh disamping Yukif yang menjelaskan," balasnya semakin kesal, mengandalkan buku matematika, Lani melampiaskan emosi dengan menggambar wajah menyebalkan Yukif dan Pak Am.Â
"Kamu hanya belum tahu, Lan, bukannya bodoh. Kamu harus lebih giat belajar. Yukif bisa jadi salah satu solusinya, tuh," saran Raib lengkap dengan cengirannya.Â
"Heh, kenapa Yukif sih, kamu kan juga bisa bantu aku, Ra,"
"Tapi tidak sebaik, Yukif, Lanii,"Â
"Bahkan Yukif sudah sangat menyebalkan walaupun tidak berhadapan. Ra, kamu suka Yukif, ya?"Â