Raib gagal menjawab soal matematika di papan tulis, ia kembali ke tempat duduk dengan lesu. Dipandanginya Yukif, teman sekelasnya, yang melangkah maju ke depan papan tulis. Pak guru terlihat bangga, bahkan ketika Yukif belum menuliskan apa-apa.Â
"Aku tidak tahu kenapa ia terlihat begitu pintar, padahal kesehariannya hanya bersama game dan pacarnya," ujar Lani di samping Raib.
"Rasanya tidak adil, kan?" tanyanya, mengambil alih atensi kepala Raib yang sibuk mengoreksi jawabannya.Â
"Tidak adil, kenapa?" jawab Raib, tanpa mengalihkan pandangan dari buku tulis dan Yukif si jenius.Â
"Kamu terlihat berusaha keras, Ra, tapi Yukif sama sekali tidak," bisiknya, mengalihkan arah mata Raib demi menatap Lani yang bertopang dagu menatapnya.Â
"Kamu tidak berhak menyimpulkan adil atau tidak, Lan, untuk sesuatu yang tidak benar-benar kamu ketahui kebenarannya," sanggah Raib, kembali menatap Yukif dan mendengar penjelasannya terkait soal matematika yang diperdebatkan.Â
"Tapi realitanya seperti itu, Ra!" sungutnya, menutup buku tulis memandang keluar kelas.Â
"Realita yang kamu lihat hanya seperempat dari kehidupan kami, Lan, kamu tidak pernah tahu aku atau Yukif lagi ngapain kalau lagi di rumah, atau dimana pun," jelas Raib sabar, kembali mengikuti langkah Yukif yang kembali ke tempat duduk.Â
"Kenapa kamu membela Yukif, dia sainganmu, kan?"Â
"Tidak, Yukif salah satu pintu belajarku, mana mungkin aku mau bersaing dan dengan sukarela menutup pintu ilmu gratis," jelas Raib, terkekeh menatap Lani yang mendelik.
"Lani, silakan maju, kerjakan nomor selanjutnya!" perintah Pak Am menginterupsi Lani yang siap menyanggah kalimat Raib.Â