Tanganku masih begitu kecil tatkala ibu menceritakan harapannya. Seusai cerita itu ditinggal pergi oleh ibu, tawa kecilku lepas begitu saja. Jika ku sebut beban, rasanya terlalu kasar aku memperlakukan mimpi seindah itu. Meski tak tahu jalan seperti apa menuju mimpi ibu, tapi aku punya Tuhan sebagai penunjuk arah, yakinku. 'Tak perlu khawatir', mantraku menyelesaikan perbincangan dalam kepala.
"Aku merasa bersalah jika hidup seperti ini, Ndin." Keluh Nida sambil menatap nasi di piringnya. Sudah seminggu ia berada di kota Makassar, hilal memulai perkuliahan pun belum ada bocoran informasinya. Dilema menggerubuti pikirannya akhir-akhir ini, berada di perantauan dan tidak melakukan apa-apa membuatnya kian menyesal telah meninggalkan rumah lebih cepat.
"Merasa bersalah atas apa, Nida? Hidupmu yang baik itu apanya lagi yang mebuatmu berpikir semacam itu," balas Andin acuh. Lanjut menikmati ayam goreng dan lauk lainnya, Andin melahap dengan nikmat sesekali melihat konten instagram di handphonenya.
"Apakah kau tidak gusar, hidup tanpa melakukan apa-apa dan hanya menghabiskan uang orang tua?" cerca Nida bangkit dari duduknya, menggeser piring dihadapannya. Mendapat pertanyaan seperti itu, Andin terdiam, terpaku menatap Nida yang mulai beranjak dari tempat makan.
Nida sadar, seberapa kesal pun ia ketika menghadapi ocehan ibu, tingkah menyebalkan sang adik, pekerjaan rumah yang seolah menghambat, ia tetap merasa tenang ketika berada di rumah. Walaupun suasana rumah tak selalu menyenangkan, ia lebih lega ketika menatap satu persatu anggota keluarganya secara langsung. Ah, selalunya seperti ini, Nida yang mudah jenuh dan segala keputusannya yang begitu kekanak-kanakan.
Tahun ini, Nida memasuki semester lima dengan jurusan bahasa asing sebagai pilihannya. Sudah cukup lama ia belajar, mulai mengenal pilihannya sedikit demi sedikit tapi ia selalu merasa tidak mampu atas apapun yang ia pelajari. Setiap hari waktu semakin memburunya untuk tahu, ia akan berhadapan dengan masyarakat nantinya maka akan sangat memalukan jika ia terlihat bodoh. Dan juga, mungkin ibu akan kecewa. Entah sudah berapa banyak uang yang dikorbankan untuk dirinya yang tidak tahu diri ini.
"Nida...," panggil Andin dari balik pintu kamar. Tak lama setelah kepergiannya, Andin menyusul ke kamar.
"Masuk saja, tidak dikunci," ujar Nida, kembali menelentangkan badan dan menyorot dengan serius pamflet lomba di handphonenya.
"Nida, ada apa sih, kenapa tiba-tiba marah?" tanya Andin dengan sepiring makanan ditangannya yang kemudian ia letakkan di meja belajar, makanan yang Nida tinggalkan tadi.
"Tidak, aku hanya merasa labil akhir-akhir ini. Maaf merusak acara makan mu tadi." Selorohnya tetap membelakangi Andin.
"Tidaklah, maaf juga respon ku mungkin terdengar menjengkelkan tadi, kalau mau cerita aku bakal dengerin," tawar Andin sembari mengusap bahu Nida, bangkit dari tidur dengan kepala tertunduk, Nida bercerita dengan air mata tertahan.
"Ndin, aku ini datang dari keluarga yang sederhana. Ketika aku meminta sesuatu, orang tua selalu mengusahakan. Tapi melihat diriku saat ini, kita sedang menuju semester akhir dan ilmu-ilmu selama 2 tahun ini rasanya tidak benar-benar aku perhatikan. Aku lalai, padahal ilmu itu dibeli dengan uang yang tidak sedikit. Rasanya aku ingin marah, Ndin. Setiap malam, aku mempertanyakan diriku, kenapa aku hidup seperti ini, sampai kapan aku akan seperti ini dan terus-terusan membebani orang tua yang tidak lagi muda dan sesehat dulu. Satu-satunya hal yang bisa ku lakukan adalah belajar, tapi bahkan dengan belajar pun tidak bisa ku maksimalkan. Hidupku sesalah itu, Ndin."
"Da, hidup mu nggak salah. Jangan berpikir seperti itu. Kamu Nida yang hebat, kok. Kamu pintar, kamu juga teman ku yang paling hemat dan rajin menabung. Kita memang tidak bisa menghindari perasaan semacam itu, Da, tapi akan sangat bagus jika perasaan itu semakin membuat mu ingin berusaha lebih baik. Nida, tidak apa-apa untuk istirahat sebentar, orang tua mu tidak akan kecewa. Nangis saja kalau itu membuatmu jauh lebih kuat menghadapi isi kepala mu, jangan sungkan bercerita kalau kamu merasa tidak baik-baik saja,okey?"
Hingga jam menunjukkan pukul 12 malam, bilik kecil itu hanya penuh oleh sesak tangis dua anak rantau. Mengeluarkan berbagai keresahan yang berakhir pada subuh yang dingin dan sedikit menenangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H