"Ndin, aku ini datang dari keluarga yang sederhana. Ketika aku meminta sesuatu, orang tua selalu mengusahakan. Tapi melihat diriku saat ini, kita sedang menuju semester akhir dan ilmu-ilmu selama 2 tahun ini rasanya tidak benar-benar aku perhatikan. Aku lalai, padahal ilmu itu dibeli dengan uang yang tidak sedikit. Rasanya aku ingin marah, Ndin. Setiap malam, aku mempertanyakan diriku, kenapa aku hidup seperti ini, sampai kapan aku akan seperti ini dan terus-terusan membebani orang tua yang tidak lagi muda dan sesehat dulu. Satu-satunya hal yang bisa ku lakukan adalah belajar, tapi bahkan dengan belajar pun tidak bisa ku maksimalkan. Hidupku sesalah itu, Ndin."
"Da, hidup mu nggak salah. Jangan berpikir seperti itu. Kamu Nida yang hebat, kok. Kamu pintar, kamu juga teman ku yang paling hemat dan rajin menabung. Kita memang tidak bisa menghindari perasaan semacam itu, Da, tapi akan sangat bagus jika perasaan itu semakin membuat mu ingin berusaha lebih baik. Nida, tidak apa-apa untuk istirahat sebentar, orang tua mu tidak akan kecewa. Nangis saja kalau itu membuatmu jauh lebih kuat menghadapi isi kepala mu, jangan sungkan bercerita kalau kamu merasa tidak baik-baik saja,okey?"
Hingga jam menunjukkan pukul 12 malam, bilik kecil itu hanya penuh oleh sesak tangis dua anak rantau. Mengeluarkan berbagai keresahan yang berakhir pada subuh yang dingin dan sedikit menenangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H