Mohon tunggu...
Nurhayani OktaviaAndri
Nurhayani OktaviaAndri Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

saya gemar membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Profil dan Permasalahan Peternakan

8 Februari 2023   08:52 Diperbarui: 8 Februari 2023   08:55 2859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah kehalalan sebagai salah satu rekomendasi pembatasan impor merupakan senjata yang cukup ampuh bagi pemerintah saat ini untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri. Namun sampai kapankah Indonesia bisa bertahan dengan alasan tersebut? Jika status kehalalan sudah jelas, dan sudah dijamin oleh negara ekportir, apakah impor ayam dan paha ayam dapat dilakukan kembali? Saat ini impor ayam hanya khusus untuk kebutuhan bahan baku bagi industri pengusaha daging ayam dan tidak untuk dipasarkan di pasar tradisional. Hal ini memang pernah terjadi dengan Australia, dan kini Australia telah menjamin kehalalan daging yang dimasukan ke Indonesia, sehingga tidak ada alasan pemerintah untuk menolak impor daging tersebut.

Masalah Penyakit PMK 

Pemerintah pada tahun 2001 melalui Surat Edaran Menteri Pertanian: TN510-2001 dengan pertimbangan pengamanan penyebaran PMK dalam negeri telah melarang impor hewan dan hasil hewan, bahan baku pakan dan peralatan mesin peternakan bekas dari negara-negara Uni Eropa dan negara-negara Amerika Selatan. Komoditas umum yang terkena peraturan ini adalah ternak dan produk dari sapi, babi, ayam, produk susu olahan dan sebagainya. Larangan impor ini bisa bersifat sementara tergantung pada pengumuman badan International Animal Health: Code Office International des Epizooties (OIE) yang menyatakan apakah suatu negara bebas atau telah dapat menggendalikan PMK. Secara tidak langsung larangan impor ini memberikan keuntungan bagi peternak dalam negeri untuk bisa menutupi kebutuhan impor tersebut. Namun peluang ini telah dimanfaatkan oleh Australia dan New Zealand. Untuk kesekian kali, peternak dan pengusaha dalam negeri tidak memanfaatkan momentum peluang yang tersedia. Dampak negatif dari larangan ini adalah penurunan produksi pakan oleh pabrik pakar yang sudah terbiasa mengimpor bahan baku dari negara-negara Uni Eropa dan Amerika Selatan. Kasus yang paling jelas tahun 2001 adalah larangan masuknya 60.000 ton jagung dari Argentina. Impor ini telah berulangkali berlangsung tanpa larangan, oleh karena itu para pengimpor melakukan protes kepada pemerintah. Tetapi pemerintah, sebagaimana diumumkan oleh Menteri Pertanian Bungaran Saragih, tidak mau mengambil resiko sekecil apa pun. Pertanyaan yang muncul adalah, jika jagung impor tersebut dapat dideteksi bebas PMK, apakah larangan impor itu tetap berlaku? Yang pasti bahwa larangan impor tersebut hanya sebatas mencegah penularan penyakit PMK yang untuk Indonesia telah dinyatakan bebas PMK. Bagi pabrik pakan yang tidak melakukan impor bahan baku dari kedua kelompok negara terlarang tersebut, tentu saja mengambil keuntungan dalam persaingan karena mereka dapat mengisi kekosongan produksi pakan pabrik yang terkena larangan. 

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditetapkan oleh pemerintah melalui PP 12, tahun 2001. PPN khusus untuk peternakan pernah dibebaskan oleh Presiden Abdulrachman Wahid, tetapi kemudian diperlakukan kembali. Alasan pembebasan itu adalah bahwa PPN itu bisa berlaku bertingkat. Misalnya jagung dan bahan baku lainnya yang sudah kena PPN, ketika dikonsumsi ternak untuk menjadi daging maka daging tersebut terkena PPN lagi. Masalah penolakan PPN telah mencuat sejak diterbitkan bulan Maret dan terus berlangsung hingga saat ini. Kasus terakhir adalah pembayaran PPN 10 persen terhadap 40 ribu ekor sapi bakalan yang ditahan oleh bea dan cukai. Para pengusaha enggan membayar pajak tersebut karena pertimbangan membantu pemerintah dalam menyediakan daging untuk masa lebaran dan kedua impor itu dilakukan sebelum PPN itu diterbitkan. Tetapi pemerintah akan tetap melaksanakan PPN sebesar 10 persen tersebut karena impor sapi bakalan hanya untuk konsumsi orang kaya, sedangkan di daerah produsen daerah harga daging 50 persen dari harga daging di Jakarta. Jadi pengenaan PPN 10 persen tersebut hanya mempengaruhi masyarakat kelas atas di Jakarta.

Penurunan Populasi di Wilayah Produksi 

Secara nasional populasi sapi potong dari tahun 1994 -2002 menurun sebesar 3,1 persen per tahun (data tahun 2001 dan 2002 adalah data proyeksi). Penurunan populasi ini lebih merisaukan karena terjadi pada lima wilayah sentra produksi yakni NTB, NTT, Bali, Sulawesi dan Lampung masing-masing 8,3 persen, 4,7 persen, 0,1 persen, 3,4 persen dan 4,8 persen per tahun. Hadi et al. (2002) melaporkan keadaan penurunan populasi ternak pada tahun 2000 yang cukup memprihatinkan tersebut. Penurunan populasi ini akan terus berlanjut pada tahun 2003. Jumlah total sapi potong di kelima wilayah ini untuk tahun 2002 diperkirakan sebesar 2,45 juta ekor atau sekitar 20 persen dari populasi nasional. Indonesia akan sulit menggantungkan diri pada ke lima provinsi tersebut untuk masa mendatang, sedangkan untuk mengharapkan dari Jawa Timur sebagai provinsi paling banyak memiliki sapi potong tidak bisa diandalkan karena ternak potong di wilayah ini lebih banyak digunakan untuk tujuan usaha tani. Pemerintah daerah telah melaksanakan berbagai program untuk meningkatkan populasi ternak, tetapi program itu masih bersifat tradisonal baik bentuk dan caranya. Usaha-usaha ini sudah dilaksanakan selama 30 tahun dan hasilnya malah populasi menurun, produktivitas menurun dan peningkatan pemotongan sapi betina. Disarankan pada pemerintah untuk merubah strategi peningkatan populasi, misalnya dengan membangun peternakan skala besar. Melalui farm tersebut pemerintah kemudian melaksanakan IB, sedangkan untuk kegiatan subsistem usaha ternak-ternak tersebut dapat disebarkan kepada petani dengan cara tukar menukar. Sapi-sapi petani yang masuk dalam camp segera ditingkatkan mutunya, terutama produktivitas daging. Namun dari semua penyelesaian di atas, simpul yang penting dalam pengembangan produksi dan populasi adalah pengadaan bibit ternak sapi (Soehadji, 2000). 

Pajak dan Retribusi Pemerintah Daerah (Otonomisasi) 

Tahun 2001 adalah tahun kedua penerapan otonomi daerah pada tingkat provinsi dan kabupaten. Proses otonomi ini masih dianggap kacau dan menimbulkan banyak masalah antara lain ada kecenderungan pemerintah daerah untuk menjadi raja di daerah sendiri dengan memfokuskan pengumpulan PAD melalui keringat rakyat. Pengertian otonomi sudah disalahkan baik secara konsep maupun praktek. Salah satu contoh adalah penarikan retribusi yang tidak sah dengan berbagai dalih. Sebagaimana telah diatur dalam UU 18/1997 pasal 18 s/d 28 (Tunggal, 1999), objek retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah dapat dipungut retribusi, namun hanya jenis jasa tertentu yang menurut pertimbangan sosial ekonomi layak untuk dijadikan sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut dikelompokkan dalam tiga golongan yaitu jasa umum, jasa usaha dan perizinan tertentu. Dari ketiga bentuk ini maka permohonan perijinan paling banyak disalahgunakan oleh daerah yang cenderung merugikan para pengusaha. Menurut definisi UU 18 tahun 1997, yang dimaksud dengan fungsi perijinan untuk mengadakan pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan pada dasarnya pemberian ijin oleh pemerintah daerah tidak harus dipungut retribusinya. Tetapi untuk melaksanakan fungsi tersebut pemerintah daerah mungkin masih kekurangan biaya yang tidak selalu dapat dicukupi dari sumbersumber pemerintah daerah, sehingga terdapat perijinan tertentu yang masih dipungut retribusi. Retribusi perijinan yang umum adalah ijin mendirikan bangunan dan ijin peruntukan penggunaan tanah. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa jenis-jenis retribusi yang termasuk golongan retribusi jasa umum, jasa usaha dan perijinan tertentu ditetapkan dengan peraturan pemerintah sekalipun menjadi wewenang pemerintah daerah. Dalam hal berkaitan dengan permasalahan peternakan ini adalah perijinan mendirikan bangunan kandang dan perijinan penggunaan tanah untuk peternakan. Dalam hal pajak PBB yang mengharuskan peternak membayar pajak bangunan ternak dan pajak penggunaan air bawah tanah. Penggunaan air untuk memandikan ternak, membersihkan kandang ternak terkena biaya pajak. Pajak lain adalah pajak potong hewan, pajak pendaftaran perusahan, retribusi penertiban pengeluaran ternak ke luar daerah, retribusi pengawasan dan pemgeluaran hasil ternak/unggas ke luar daerah, retribusi pencegahan dan pemberantasan ternak terhadap penyakit ngorok dan vaksinasi, retribusi penerimaan timbangan ternak dan retribusi sewa kandang babi. 

Atas dasar itu seluruh penarikan retribusi yang tidak termasuk dalam daftar tersebut harus dicabut kembali. Berikut adalah daftar retribusi yang ditarik oleh pemerintah daerah: 

1. Retribusi ijin penggunaan jalan. Retribusi ijin penggunaan jalan ini berlaku luas di berbagai daerah TK II sejak tahun 2000. Retribusi sejenis yang bisa dikenakan adalah retribusi pemeliharaan jalan dan dispendasi atas muatan lebih serta retribusi bongkar muat ternak, retribusi ijin masuk kota dan retribusi pengeluaran ternak keluar daerah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun