Kalau kau datang, Hatiku senang, Berbunga bunga
Bulan dan bintang, Terangi malam, Sehabis hujan
Saling bicara,Tukar cerita, Berbagi rasa
Aku disini, Tetap di tepi, Masih bernyanyi
Dunia sedang dilanda kalut… Alam semesta seperti merintih… Kau dengarkah?
Aku tak bisa, Untuk tak peduli, Hati tersiksa
Aku bersumpah, Untuk berbuat, Yang aku bisa
Harus ada yang dikerjakan, Agar kehidupan berjalan wajar,
Hidup hanya sekali wahai kawan,
Aku tak mau mati dalam keraguan~
Demikian lirik lagu Bang Iwan Fals yang berjudul 15 juli 1996 dalam album suara hati tahun 2002. Lagu yang (katanya) diilhami oleh gonjang-ganjing politik perpecahan PDI menjadi dua. PDI dan PDI Perjuangan. Saya sendiri kurang begitu paham sebab waktu itu usia saya kurang dari 10 tahun. Masih belum cukup umur.
Tulisan ini saya bikin karena terinspirasi oleh sebuah fanspage di faceb**k, dalam FP itu si admin menanyakan “Apakah Bang Iwan masih mau menyanyikan lagu ini saat konser?” Jikapun masih menyanyikan, mungkinkah beliau tidak bertanya, apakah masih di tepi atau sudah berada di tengah kekuasaan, seperti Sl*nk yang memilih jalur sama, kompromi dengan penguasa dan iklan kapitalis.
Saya coba menjawab pertanyaan tersebut, tentu dengan jawaban “sepanjang yang saya tahu”. Sebagai orang yang pernah terdaftar dalam ormas Oi dan juga hapal judul, album, tahun terbit dan tentu semua lirik lagunya Iwan Fals dari yang paling jadul sampai yang tebaru.
Dari sekian ratus lagunya, bisa dikelompokkan menjadi lagu bertemakan percintaan, kritik sosial, politik, tentang seorang tokoh dan cinta alam. Menanggapi kalau Iwan Fals tak se-fals dahulu menurut saya adalah hal yang keliru. Jika anda menyimak albumnya yang terakhir (Raya), jelas di situ ada lagu bertema kritik tentang gonjang-ganjing situasi politik Indonesia.
Jika akhir-akhir ini bagi sebagian orang Iwan Fals mulai mlempem, lagu-lagu bertemakan politiknya tidak seganas dahulu. Setidaknya ia tetap konsisten dengan lagu yang bertemakan cinta alam. Isu tentang lingkungan akhir-akhir ini juga tak kalah gawatnya.
“Aku bersumpah, untuk berbuat yang aku bisa”. Begitu sumpah beliau dalam lirik lagu 15 juli 1996 di atas. Yang bisa beliau lakukan sekarang “mungkin” dengan tanam, tanam dan terus tanam. Tanam pohon untuk masa depan. Beliau bisa jadi tauladan atau pemimpin dalam hal ini.
Mengenai makan-makan di istana, itu kan berita hoax. Kalaupun benar, orang yang masuk ke kandang kambing tidak serta merta menjadi kambing, bukan? Orang kan tahunya jika ada orang yang berdekatan dengan kepala desa maka orang tersebut dicap mendukung kepala desa. Hidup tidak sehitam putih itu, kawan.
Menurutku, Iwan Fals adalah sosok yang berani, demi menghadiri dan menikmati jamuan di istana, walaupun pada akhirnya harus dibayar dengan cibiran, ejekan dan hinaan khalayak ramai. Ada loh, orang yang diajak atau diundang oleh Menko untuk bertemu dengan Presiden, bertiga saja, tapi menolak dengan salah satu pertimbangannya adalah khawatir jadi bahan ejekan masyarakat dan kepercayaan rakyat jadi hilang karena pasti rakyat akan metuduh beliau berrpihak kepada penguasa. Setidaknya Iwan Fals lebih berani dalam hal ini. Hehehe..
Namun, ya jangan sampai seperti kasus Syndrom Stockholm. Ada suatu keadaan di mana orang yang disandera, yang diperlakukan dengan baik secara terus menerus oleh si penyandera akhirnya merasa suka atau nyaman kepada si penyandera.
Selagi ngamennya (konsernya) tidak digunakan untuk kampanye dalam pemilu atau pilkada seperti band anu beberapa hari yang lalu, it’s fine lah. Masalah jualan kopi ya terserah, wongnamanya juga orang hidup. Punya anak istri dan tentu butuh makan. Toh, Iwan Fals juga masih manusia. Tetapi, kalau ngamen-ngamennya digunakan untuk kampanye paslon pada pemilu atau pilkada, maka Iwan adalah orang yang kesekian kalinya akan melumat ludah sendiri.
“Jangan bicara soal idealisme, Mari bicara berapa banyak uang di kantong kita, Atau berapa dahsyatnya ancaman yang membuat kita terpaksa onani”. (Judul lagu “Jangan Bicara”, album barang antik 1984).
Dan tentunya Almarhum Rendra, dkk. akan kecewa, termasuk juga saya. Bahwa “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”.(Paman Doblang, album Kantata Takwa tahun 1990).
Perahu Oleng
Jika diibaratkan perahu, Negara Indonesia adalah sebuah Bahtera besar. Bahtera yang dasar kapalnya sudah berlubang, bocor. Dinding kapalnya retak-retak, justru dilubangi dan dihancurkan oleh penumpangnya sendiri. Kemudinya diperebutkan oleh beberapa kerajaan, ada kerajaan Cikeas, kerajan Banteng, kerajaan Prabowo, kerajaan macam-macam, yang justru tujuan kapalnya menjauh dari dermaga tujuan semula yang dirumuskan bapak-bapak pembuat bahtera.
Karena bahtera besarnya bocor-bocor, retak, dan kemudinya jadi rebutan oleh beberapa nahkoda maka bahtera tersebut menjadi oleng. Penumpang yang berada di atas bahtera, baik yang di geladak, buritan, haluan atau anjungan saling berbenturan, bertumbukan, bertabrakan padahal para penumpang hanya diam saja. Untuk berjalan lurus saja susah, pasti menabrak-nabrak orang lain. Tentu saja penumpang di atasnya mudah marah-marah, temperamental, kepada orang yang sedikit saja menyerempet atau menyenggol badan mereka. Padahal yang oleng adalah bahteranya.
Dalam negara yang sedang oleng ini, berbuat baik saja akan salah di mata orang lain. Apalagi bagi Iwan Fals yang kecanduan “bercuit-cuit” di twitter. nyerempet sedikit, marahlah orang-orang yang kena senggolan cuitannya. Menurutku, mustahil kalau orang sekaliber Iwan tidak tahu persis apa yang sebenarnya sedang terjadi di Indonesia.
***
Yang jelas, makin kesini rakyat melarat makin tidak punya kawan yang benar-benar setia. Widji Thukul, hilang muda. Soe hok gie dan Chairil Anwar mati muda. Rendra sudah pergi. Pram sudah selesai. Bang Iwan Fals semoga masih di tepi, dan tetaplah di tepi.
~Kesetiaan masih ada, setidaknya menjadi cita cita, itu sebabnya aku disini menemanimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H