“Oh, alangkah indahnya pintu itu.”
Tarno tergeragap. Dilihatnya perempuan di atas amben sedang duduk memandangi pintu yang terkunci.
Tarno memberanikan diri untuk berkata, “Tidur, Sum. Sudah tiga hari kamu tidak tidur.”
Perempuan itu seolah tidak mendengar kata-kata Tarno.
“Lewat pintu itu aku bisa ke sorga. Oh, indah sekali sorga-Mu ya, Gusti. Tapi dosa-dosaku selautan, segunung.”
Malam sepi itu meluluhkan hati Tarno. Perempuan di depannya baginya adalah Sumi.
“Siapa sangka semuanya bakal begini, Sum?” keluh Tarno. “Hati suami mana yang tidak senang melihat istrinya rajin ngaji. Tapi kalau begini jadinya, nelangsa juga aku, Sum. Orang punya dosa itu wajar, Sum. Bapakmu yang rajin sembahyang itu dulu juga pernah malas sembahyang. Tapi kamu nebus dosa dengan ibadah tidak berhenti-berhenti. Sampai lupa masak buat aku. Itu dosa juga kan, Sum?”
Air mata Tarno mengucuri pipinya.
“Seratus juta. Seratus juta. Duh, Gusti, sayang sekali duit seratus juta itu.” Tatapan perempuan itu kosong.
Tarno berhenti menangis. Ia teringat cerita Sumi ketika awal-awal ia rajin mengaji.
“Kyai Mustofa dan Nyai Jamila itu, Mas, bikin pondokan setelah dikasih uang satu tas. Mereka tidak kenal siapa yang ngasih. Orang itu cuma pesan, uang itu buatmbangun pesantren.”