09:16 PM Selasa, 02/23/2021
Dalam perihal: Surat buat Tuhan saya
“Tuhan, sebetulnya saya bingung mau apa perlu ditulis.”
Kemarin pagi, rumah saya ribut sekali, Tuhan. Tidak perlu dijelaskan bagaimana, saya yakin Kau tahu kan. Tentu saja menjelang malam masih perkara yang sama. Uang-kerja-uang-kerja-capek. Putaran paling jauh ya tentang gudang rumah yang kepenuhan. Saya masih menunggu besok apalagi yang lebih besar, jangan-jangan rumah petak ini juga seluruhnya dibawa perkara.
Saya bangun tidur. Saya berdoa. Saya bersyukur.
Saya mengusap layar ponsel yang beku. Saya tilik jam berapa hari ini saya terbangun. Kadang saya buka aplikasi telekomunika, membangun perasaan baik dengan melihat pesan dari teman saya yang sangat saya sayangi, yang belum sempat saya baca. Ya karena saya ketiduran. Semudah itu saya bahagia setiap hari Tuhan. Bahkan lebih bahagia dari sarapan mie instan rasa ayam bawang.
Tadi malam saya mimpi Tuhan. Saya tidak ingat detailnya, yang saya ingat punya rumah dengan bufet coklat besar. Tapi kemudian saya langsung lupa. Saya berjalan ke kamar mandi, cuci muka, wudhu, sholat subuh, dan bergegas untuk menghadapi keributan selanjutnya. Biasanya saya sempat merebus 3 ikat sawi dan satu bungkus mie untuk sarapan. Saya memeriksa kembali jadwal kuliah hari ini dan sampai sore saya hanya duduk di depan komputer ini. Ya untuk kuliah, Tuhan.
Sore hari, saya mandi sebelum jam 4. Saya sholat. Saya berdoa. Saya Bersyukur.
Kalau bisa, saya mematikan komputer. Tapi memang tugas tidak bisa diam sebentar, jadi saya tetap membukanya sampai malam. Daripada tugas yang diam, malah laptop saya yang jadi lebih sering diam, Tuhan. Kadang saya kesal sampai tepuk-tepuk tangan sendiri, macam orang gila. Karena sudah kebiasaan, ya saya biarkan saja. Maksudnya kebiasaan tepuk tangan itu, Tuhan.
Malam hari, saya minum susu kotak, rasa coklat. Saya Sholat. Saya berdoa. Saya bersyukur.
Sekitar seperempat malam, saya masih mengerjakan tugas yang belum bisa diam. Kalau migrain saya sudah berteriak, baru saya berhenti. Saya tiduran. Melihat-lihat ponsel sebentar dan mengucapkan beberapa hal kepada teman yang sangat saya sayangi. Saya berdoa. Saya bersyukur. Baru saya tidur.
“Tuhan, sebetulnya saya bingung mau apa perlu ditulis.”
Saya tahu. Saya sadar. Tidak ada hal yang begitu spesial dalam hidup saya. Ya begitu-begitu saja kan, sederhana. Tapi saya lebih tahu, kalau Kau tidak memberitahu saya bagaimana cara berdoa dan bersyukur, mungkin hidup saya akan jadi semakin tidak spesial. Untuk itu, saya sangat bersyukur Tuhan. Kau masih memberitahu saya rasa bersyukur itu bagaimana. Apa sih, saya jadi bingung sendiri. Tapi betul Tuhan, terima kasih.
Terima Kasih Tuhan, Kau masih memberikan kesempatan untuk saya beribadah. Terima Kasih Tuhan, Kau masih memberikan kesempatan untuk saya makan mie instan ayam bawang. Terima Kasih Tuhan, Kau masih memberikan kesempatan untuk saya kuliah, mengerjakan tugas dan bergosip bersama teman-teman saya. Terima Kasih Tuhan, Kau masih memberikan kesempatan untuk saya belajar banyak hal sehari-hari. Terima Kasih Tuhan, Kau masih memberikan kesempatan untuk saya merasakan bagaimana senangnya punya teman yang bebas saya ganggu setiap saat. Terima Kasih Tuhan, Kau masih memberikan kesempatan untuk saya menangis semau saya. Terima Kasih Tuhan, Kau masih memberikan kesempatan untuk saya merasakan hidup saya yang biasa-biasa saja ini. Terima Kasih Tuhan, Kau masih memberikan kesempatan untuk saya mendapati hal-hal kecil, yang mungkin kecil bagi orang lain atau tidak berarti sama sekali. Ya tapi, hal-hal itu menghidupi saya untuk tetap hidup.
Terima Kasih Tuhan, Kau memang benar Maha Baik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H