"Tulisan ini hanya opini, bukan untuk mengajari, jangan sakit hati, karena tulisan ini tidak untuk menyindir."
Langkah hidup manusia seakan sudah ditentukan sejak kehadirannya dalam kandungan. Orangtua dan keluarga sudah menyusun akan menjadi apa, akan sekolah dimana, akan berprofesi apa, dan akan menikahi siapa.Â
Tentu saja tidak salah, namun hal ini kerap kali menjadi suatu fase wajib yang harus dicapai dalam usia tertentu. Padahal keinginan setiap orang berbeda sehingga upaya yang dilakukan orang yang satu dengan orang yang lain tentu berbeda. Jadi, capaian usianya jelas berbeda.
Banyak topik-topik yang membahas quarter life crisis, karena di usia ini kerap kali orang yang satu dibandingkan dengan orang yang lain. Si A sudah punya ini, si B sudah dapat ini, si C sudah begini, kamu kapan? pertanyaan "kapan" ini kerap kali seperti deadline yang harus dicapai.Â
Lagi-lagi, padahal hidup bukan untuk menjawab pertanyaan orang-orang. Hidup bukan untuk membuktikan diri ke orang-orang bahwa aku sudah punya ini, aku sudah melakukan ini, aku sudah begini dan begitu. Hidup lebih dari itu semua.
Kamu melakukan apa pun karena memang kamu ingin, karena memang kamu butuh dan karena itu kamu maka kamu lakukan. Bukan karena kamu ingin menunjukkan ke orang bahwa kamu bisa. Kalau sekarang sudah terlanjur melakukan karena pembuktian, akan muncul pertanyaan, "lalu apa?".Â
Perasaan kosong akan muncul, sementara orang-orang yang sudah bertepuk tangan perlahan muncur. "Lalu apa?", kamu bangga? Ya, tapi tidak bahagia. Karena kamu melakukan bukan sesuatu yang itu kamu.
Belakangan ini twitter membahas sensitivitas basa-basi. Jika bertemu teman lama, pertanyaan apa yang "pantas" untuk dilontarkan. Janganlah terlalu senstif dan berpikiran negatif. Boleh jadi, pertanyaan yang memang menyebalkan itu, memiliki peluang untuk keluar dari keresahan itu. "Kerja dimana?", "Oh belum kerja", "Aku punya proyek, kira-kira kamu bisa gak ya", siapa yang tahu.Â
Jangan baper-baper kali lah. Walaupun, beberapa kasus ada memang orang yang senagaja bertanya untuk meninggikan dirinya. Ini ini yang memaksa prioritas hidupnya yang terbaik.
Setelah mendapat gelar sarjana, paling jelas terlihat prioritas hidup kita berbeda. Ada yang menjadikan agama sebagai prioritas hidupnya, setelah selesai kuliah, lanjut masuk pondok pesantren atau kelas tahfidz, memperbaiki diri. Menjadi hafidz adalah jalan prioritas hidupnya. Jelas hal ini berbeda dengan orang yang memiliki prioritas ingin hidup mapan.Â
Dapat gelar sarjana, lempar lamaran sana-sini, kalau banyak duit ikut pelatihan yang meningkatkan keterampilan, diterima kerja, nabung atau investasi. Punya rumah, mobil, dan property adalah bukti pencapaiannya. Jelas, karena dari awal hidup mapan adalah prioritasnya.
Tapi tidak semua orang memiliki prioritas hidup mapan yang sama, walaupun semua pasti ingin hidup mapan dan mandiri. Prioritas dan keinginan sedikit berbeda. Ada orang yang nyaman dengan hidup sederhana, tidak pusing memikirkan merek A, B C yang tidak dimilikinya, tidak masalah jika masih beroda dua kemana-mana.Â
Tapi orang ini bahagia dengan berkumpul dengan banyak orang yang membutuhkan atau bahagia jika mampu memberdayakan sekelompok orang. Jelas, prioritasnya berbeda dengan orang yang sebelumnya.
Jadi, tolonglah. Berhenti membanding-bandingkan apa yang dimiliki seseorang dengan usianya dengan pencapaiannya. Prioritas kita berbeda. Kamu yang berusia 26 tahun sudah memiliki benda ini dan itu, jelas berbeda dengan dia yang berusia 36 tahun yang memiliki si anu dan si anu, atau mereka yang memiliki jejak di sini dan di sana, atau kalian yang sudah melakukan ini dan itu. Apa yang membuat  bahagia setiap orang jelas berbeda. Hal yang membuatmu bahagia, belum tentu mampu membuat orang lain bahagia.
Belakangan ini kerap kali, saya menemukan orang-orang yang membanggakan pencapaian dirinya dan membandingkan atau cenderung memandang rendah pencapaian orang lain. Hanya karena tidak memahami setiap manusia itu unik. Hanya cenderung kasihan sama orang-orang seperti ini. Saya menduga, mungkin mainnya kurang jauh. Tapi bisa jadi juga, tingkah lakunya itu yang membuatnya bahagia. Bisa jadi. Dan orang seperti saya tidak perlu ambil pusing untuk itu.
Semoga kamu tahu apa yang membuatmu bahagia, sehingga kamu memiliki prioritas dalam hidupmu. Lalu kita berbagi cerita tentang bagaimana hal-hal itu membuat kita bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H