Mohon tunggu...
nurhanifahrizky
nurhanifahrizky Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk menebar manfaat

Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PKH dan Mental Konsumtif

27 Februari 2019   15:34 Diperbarui: 27 Februari 2019   15:40 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



"Jika Anda lahir miskin, itu bukan kesalahan Anda, tetapi jika Anda meninggal miskin itu kesalahan Anda" -- Bill Gates

PKH (Program Keluarga Harapan) sebagai program bantuan tunai bersyarat yang diperuntukkan pada rumah tangga sangat miskin (RTSM) tahun ini genap berusia 12 tahun. Besaran bantuan tunai yang diberikan pertahun pada RTSM tergantung pada kondisi keluarga. Tujuan utamanya adalah meningkatkan status kesehatan dan pendidikan dengan harapan bahwa kesehatan dan pendidikan yang adekuat mampu meningkatkan status kesejahteraan keluarga. Maka dari segi penamaan program ini sudah tepat yaitu Keluarga Harapan.

Semenjak uji coba PKH pada tahun 2007 sampai saat ini, program ini tidak terlepas dari pro kontra, baik yang sifatnya kritikan ataupun saran. Tentu komentar-komentar tersebut bertujuan untuk perbaikan program dan mengentaskan kemiskinan. 

Meskipun masih banyak yang nyinyir bahwa program ini tidak tepat sasaran atau terkesan memanjakan keluarga miskin. Pemerintah seolah-olah membangun mental-mental konsumtif, bukan melakukan revolusi mental sebagaimana yang digembor-gemborkan dalam setiap kesempatan di ruang publik.

Kalau kita lihat dari skenario besaran bantuan per RTSM, besaran bantuan minimun adalah Rp 600.000 dan bantuan maksimun sebesar Rp 2.200.000. Sementara rata-rata besaran bantuan per RTSM sebesar Rp 1.390.000. Besaran tersebut terhitung pencairan dalam 1 tahun. Kalau difikir-fikir dalam setahun bisa dapat apa besaran bantuan tersebut. Seandainya pun digunakan dengan tepat, belum tentu bisa mencukupi kesehatan dan pendidikan.

Kesehatan untuk ibu hamil misalnya, diberikan alokasi Rp 400.000 per tahun, sementara untuk memenuhi gizi ibu hamil selama 9 bulan saja belum tentu mampu meningkatkan status gizinya. Syarat yang diberikan untuk pencairan dana bantuan PKH pada ibu hamil seperti wajib melakukan pemeriksaan rutin minimal 4 kali selama kehamilan di fasilitas layanan kesehatan (fasyankes). Kunjungan ke fasyankes ini yang sifatnya pemeriksaan bertujuan untuk memastikan kondisi ibu hamil dan kandungannya dalam keadaan sehat. Lalu jika kondisi ibu hamil tidak sehat, apakah uang 400ribu itu bisa mencukupi pemenuhan gizi? Padahal besaran bantuan dari pencairan dana PKH hanya dilakukan per tahun.

Secara logika dan nurani sehat, mana ada orang yang mau hidup miskin hanya untuk dapat bantuan yang mungkin bagi sebagian besar orang bisa dibilang tidak seberapa. Tidak seberapa karena hitungan pencairannya per tahun. Saya pikir orang-orang yang menyebutkan bahwa ada penerima PKH yang terkesan bangga sebagai peserta PKH, itu hanya prasangka buruk saja. Kalau pun memang ada peserta PKH yang dapat dilihat secara gamblang memiliki status ekonomi "mampu" dan memang benar-benar mampu, tentu ada oknum yang bermain disana. Maka, peran kita untuk melawan oknum tersebut.

Jika PKH yang berjalan masih dianggap belum tepat sasaran, maka hal tersebut bukan semata-mata salah programnya, lantas diganti dengan program baru. Sebab banyak penelitian-penelitian di luar negeri yang meneliti efektivitas dana bantuan untuk mengentaskan kemiskinan, sejenis dengan PKH atau dengan istilah Conditional Cash transfer, terbukti mampu mengurangi angka kemiskinan. Artinya monitoring dan evaluasi yang kita lakukan tidak hanya pada program tetapi pada oknum penyelenggara di garda terdepan dan termasuk peserta PKH.

Jika di lapangan ada ditemukan kekeliruan maka sewajarnya kita melakukan klarifikasi dan konfirmasi pada pihak yang terlibat. Jangan serta merta membiarkan atau bahkan menyebarkan kekeliruan tersebut ke media sosial tanpa ada iktikad baik untuk menemui pihak yang terlibat. Jika jalur ini sudah ditempuh tetapi belum menemukan jalan terang maka jangan segan untuk meminta para tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk membantu meluruskan kekeliruan tadi.

Kita kawal dari segala arah agar stigma pada penerima bantuan dari pemerintah yang dianggap memiliki mental konsumtif tidak lagi disematkan. Sungguh miris jika sudah benar-benar miskin, mendapat bantuan dari pemerintah, lantas menerima stigma mental konsumtif. Bukankah sebagai saudara setanah air, kita berkewajiban menyelamatkan saudara-saudara kita dari jeratan kemiskinan. Bahkan ajaran agama menyebutkan pada sebagian harta yang kita miliki ada hak orang lain di dalamnya.

Jangan keburu pesimis bahwa semua pihak sama saja. Pasti ada orang-orang yang peduli dan bekerja sepenuh hati. Tidak semua orang hanya mengejar materi atau nama beken lantas jadi viral. Jangan sampai kita terjebak dalam kesalahan berpikir yang men-generalisir atau meminjam istilah Jalaluddin Rakhmat yaitu Fallacy of Dramatic Instance seperti yang tertera dalam buku Rekayasa Sosial.

Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan agama memiliki budaya gotong royong yang tidak memandang perbedaan. Budaya ini tentu tidak boleh dilupakan. Mari kita bergotong royong mengentaskan kemiskinan dan mengawal PKH dari akar, agar Keluarga Harapan tidak hanya sekadar harapan. Salam sejahtera, semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun