Mohon tunggu...
NurhalizaDihuma
NurhalizaDihuma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Gorontalo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Gender Dalam Tradisi Mongubingo: Perspektif Budaya Gorontalo

17 Desember 2024   16:51 Diperbarui: 17 Desember 2024   17:32 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sri Wahyuningsi M. Polinggapo, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Nurhaliza Dihuma, Anggun Caecaria Limbanadi.

Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Gorontalo.

Pada setiap daerah memiliki budayanya sendiri terutama negara kita Indonesia yang memiliki banyak keberagaman, salah satunya budaya yang ada di daerah Gorontalo yang merupakan bagian dari negara Indonesia. Gorontalo sendiri terdapat berbagai macam budaya dari budaya kelahiran, budaya pernikahan, sampai budaya kematian. Salah satunya adalah budaya Mongubingo yang menjadi salah satu ciri dari budaya kelahiran. Budaya Mongubingo ini merupakan adat tradisi Gorontalo yang dikhususkan untuk anak berjenis kelamin dan bergender perempuan.

Budaya Gorontalo sebagai identitas 

Budaya adalah cara hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi ciri khas suatu masyarakat. Di Gorontalo, tradisi seperti Mongubingo memiliki peran penting sebagai simbol budaya sekaligus identitas yang unik. Tradisi ini tidak hanya menunjukkan kekayaan budaya masyarakat Gorontalo, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai penting seperti kesucian, tanggung jawab, dan kejujuran melalui simbol-simbol serta ritual adatnya.

Seorang ahli budaya, Koentjaraningrat, pernah menjelaskan bahwa budaya mencakup ide, tindakan, dan hasil karya manusia yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dalam tradisi Mongubingo, nilai-nilai luhur masyarakat Gorontalo tercermin dengan jelas. Tradisi ini tidak hanya menjadi kebanggaan lokal, tetapi juga mengajarkan generasi muda untuk menjaga moral, menghargai tradisi, dan melestarikan warisan leluhur.

Namun, di era modern ini, budaya lokal seperti Mongubingo menghadapi tantangan besar dari pengaruh budaya luar dan gaya hidup yang terus berubah. Meskipun demikian, masyarakat Gorontalo terus berupaya melestarikan tradisi ini agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan teknologi untuk mendokumentasikan dan mempublikasikan Mongubingo secara digital, sehingga tradisi ini bisa dikenal lebih luas dan diteruskan kepada generasi berikutnya.

Tradisi Mongubingo menjadi bukti bahwa budaya tidak hanya sekadar warisan masa lalu, tetapi juga bagian penting dari kehidupan masa kini. Dengan menjaga dan memperkenalkan tradisi ini, masyarakat Gorontalo menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya lokal tetap dapat bertahan di tengah perubahan zaman, bahkan memberikan inspirasi bagi generasi muda untuk lebih mencintai identitas budaya mereka.

Definisi dan latar belakang Mongubingo dan Mopolihu Lo Limu

Budaya tradisi Mongubingo di Gorontalo melibatkan dua ritual utama: Mopolihu lo limu, yang berarti mandi dengan ramuan jeruk purut, dan mongubingo, yang merupakan khitanan untuk anak perempuan. Keduanya merupakan adat masyarakat Muslim Gorontalo dan dilaksanakan pada usia 1-3 tahun untuk tujuan kebersihan dan pembentukan karakter, serta mengislamkan anak perempuan.

Tradisi ini berasal dari zaman Raja Eyato, yang mengedepankan adat dan ajaran Islam dalam kepemimpinannya. mongubingo dianggap sebagai proses penyucian diri, dan masyarakat percaya bahwa ketidak pelaksanaan ritual ini dapat mengakibatkan dampak negatif. Ada empat faktor yang mendukung pelestarian tradisi ini: psikoseksual dimana sunat perempuan dapat mengurangi hasrat seksual wanita dan dipercaya dapat menjaga kehormatan perempuan, secara sosiologis pergaulan mudah diterima dalam masyarakat dengan anggapan melanjutkan tradisi yang merujuk pada asumsi dapat terhindar dari musibah, secara estetika apabila perempuan tidak disunat maka organ genitalnya dianggap kotor dan tidak suci, dan yang terakhir secara mitos, menganggap bahwa perempuan yang disunat dapat meningkatkan daya tahan setiap anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun