Mohon tunggu...
nurhadi sucahyo
nurhadi sucahyo Mohon Tunggu... Jurnalis - Membaca, Mendengar, Melihat, Menulis

Mulai dari Nol

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Putin, Racun Novichok, dan Genggaman Kekuasaan

1 Maret 2022   20:57 Diperbarui: 1 Maret 2022   21:06 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anehnya, Navalny yang jelas ada dalam pengawasan Putin, justru memutuskan pulang setelah sembuh. Dia kini dipenjara. 

Demokrasi di Rusia memang menarik, terutama pasca Putin ada di puncak. Upayanya untuk terus bertahan, dari Presiden ke Perdana Menteri dan balik lagi menjadi Presiden, membuktikan bahwa dia berambisi, dan bahwa rakyat Rusia menyokongnya.

Putin terpilih kembali menjadi presiden hanya beberapa hari setelah peracunan Sergei dan Yulia. Dia meraih 77 persen suara. Tahun 2000, ketika dia mencalonkan diri pertama kali, kantongnya terisi 52 persen dukungan. Empat tahun kemudian, dukungan itu naik 72 persen. Karena konstitusi tak memungkinkan Putin duduk tiga kali berturut-turut, dia mengatur supaya Medvedev bisa menggantikannya. Dia maju lagi pada 2012 dengan 64 persen suara.

Dengan 77 persen suara dalam Pemilu terakhir, Putin adalah politisi populer dengan dukungan politik tinggi. Tidak banyak pemimpin negara yang mampu mengumpulkan 3/4 suara pemilih. Meski, pertanyaan besar bisa digaungkan soal bagaimana Pemilu itu berjalan.

Yang aneh justru soal racun meracun ini. Apalagi karena yang diracun manusia, bukan tikus atau ikan.

Dengan dukungan pemilih demikian besar, Putin mestinya tidak perlu mengambil tindakan tak populer, yang merugikan kredibilitasnya di luar negeri. Cukup sim salabim di tingkat lokal dia bisa mengambil posisi manapun, presiden atau perdana menteri, sejauh tidak melanggar konstitusi. Apalagi, gaung soal nama besar Rusia yang dianggap bisa mewarisi raksasa Uni Soviet di masa lalu, menjadi romantisme bagi nasionalis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun