Mohon tunggu...
nurhadi sucahyo
nurhadi sucahyo Mohon Tunggu... Jurnalis - Membaca, Mendengar, Melihat, Menulis

Mulai dari Nol

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Putin, Racun Novichok, dan Genggaman Kekuasaan

1 Maret 2022   20:57 Diperbarui: 1 Maret 2022   21:06 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Getty Images via CNN.com

"Putin is going to get me.. ."

Sergei Skripal mengatakan itu kepada Ross Cassidy, sekitar Februari 2018. Mereka bertetangga di Salisbury, Inggris.

Suara daging berdesis di panggangan berbaur dengan aroma minuman. Sergei menikmati sore bersama Ross, tidak hanya karena rasa lapar, tetapi juga disebabkan oleh sepi. Istrinya telah meninggal, sementara anaknya, Yulia, ketika itu sedang berasa di Moskow.

Seminggu lagi, Yulia akan datang. Sergei dan Ross sepakat menjemputnya di bandara.

Sebuah BMW hitam mengikuti mereka sepanjang perjalanan pulang dari bandara. Ross mengingatnya dengan baik.

Pada 4 Maret 2018, Sergei dan Yulia ditemukan sekarat di sebuah bangku taman kota Salisbury. Kota tenang dengan kurang dari 50 ribu warga itu sontak geger. Penyelidikan menyeluruh menemukan fakta, keduanya diracun dengan novichok, yang kemungkinan memiliki julukan racun paling mematikan di dunia.

Racun itu datang bukan tanpa alasan. Sergei adalah mantan pejabat Rusia yang mengirim kabar rahasia ke Inggris. Dan di mata Putin, Sergei wajar masuk daftar penerima novichok.

BMW hitam itu, yang mengikuti perjalanan Sergei dan Ross, diduga berisi dua agen Rusia. Mereka masuk ke Inggris sebagai turis, yang membawa oleh-oleh novichok. Racun itu kemungkinan disemprotkan di gagang pintu rumah Sergei.

Ini bukan pengalaman pertama. Tahun 2006, Alexander Litvinenko juga diracun di Inggris. Nama Putin berbebaran dalam investigasi kasus ini. Juga dalam kasus Sergei.

Lalu muncullah Alexei Navalny, tokoh oposisi Rusia yang juga kritikus besar bagi Putin. Dia juga terpapar novichok dan dirawat di Jerman. Seolah ingin menggeser jari-jari yang menunjuk ke hidungnya, Putin ingin mengatakan bahwa dia tak terlibat dan tak ingin membunuh Navalny. Buktinya, dia memberi ijin khusus agar tokoh oposisi itu bisa terbang ke Jerman di tengah berbagai batasan akibat pandemi.        

Peracunan Navalny dilakukan di tengah Pemilu lokal Rusia. Barangkali ada kekhawatiran suara sumbang Navalny akan mengurangi pengaruh Rusia Bersatu, yang sekaligus akan berdampak pada Putin dalam jangka panjang.

Anehnya, Navalny yang jelas ada dalam pengawasan Putin, justru memutuskan pulang setelah sembuh. Dia kini dipenjara. 

Demokrasi di Rusia memang menarik, terutama pasca Putin ada di puncak. Upayanya untuk terus bertahan, dari Presiden ke Perdana Menteri dan balik lagi menjadi Presiden, membuktikan bahwa dia berambisi, dan bahwa rakyat Rusia menyokongnya.

Putin terpilih kembali menjadi presiden hanya beberapa hari setelah peracunan Sergei dan Yulia. Dia meraih 77 persen suara. Tahun 2000, ketika dia mencalonkan diri pertama kali, kantongnya terisi 52 persen dukungan. Empat tahun kemudian, dukungan itu naik 72 persen. Karena konstitusi tak memungkinkan Putin duduk tiga kali berturut-turut, dia mengatur supaya Medvedev bisa menggantikannya. Dia maju lagi pada 2012 dengan 64 persen suara.

Dengan 77 persen suara dalam Pemilu terakhir, Putin adalah politisi populer dengan dukungan politik tinggi. Tidak banyak pemimpin negara yang mampu mengumpulkan 3/4 suara pemilih. Meski, pertanyaan besar bisa digaungkan soal bagaimana Pemilu itu berjalan.

Yang aneh justru soal racun meracun ini. Apalagi karena yang diracun manusia, bukan tikus atau ikan.

Dengan dukungan pemilih demikian besar, Putin mestinya tidak perlu mengambil tindakan tak populer, yang merugikan kredibilitasnya di luar negeri. Cukup sim salabim di tingkat lokal dia bisa mengambil posisi manapun, presiden atau perdana menteri, sejauh tidak melanggar konstitusi. Apalagi, gaung soal nama besar Rusia yang dianggap bisa mewarisi raksasa Uni Soviet di masa lalu, menjadi romantisme bagi nasionalis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun