Pada suatu desa daerah Bandung Timur hiduplah sepasang suami istri yang bernama Hadijah dan Uyu Wahyu. Mereka memiliki 6 orang anak.
Sepasang suami istri ini adalah seorang pengusaha perdagangan, peternakan dan pertanian. Usaha yang pertama adalah buruh tani, jika dalam bahasa Sunda "Sok nyambut taneuh anu kolot (Buruh tani milik orang tua sendiri namun hasil penennya di bagi dua Nyambut)." Disamping itu pekerjaan sehari-hari sang suami adalah jual beli (dagang). Dagang minyak tanah yang diolah menjadi bensin.
Beliau menjual minyak dari satu tempat ke tempat lain. Namun karena kurang begitu memahami tentang penjualan minyak sehingga beliau pindah profesi menjadi tukang mesin Huller karena beliau memilki mesin Huller sehingga munculah sebuah ide mengolah beras yang akhirnya bisa dijual.
Dengan membeli gabah dari para petani, dari berbagai macam pelosok seperti daerah Sumedang, Ujung Jaya, Kadipaten ataupun dari sekitar, membeli gabahnya yang pada akhirnya diolah sudah menjadi beras dan dijual ke pasar, kadang kala jika mendapat pesanan lebih dapat melakukan jual beli sampai ke Jakarta daerah Glodok namun hal itu hanya terjadi satu kali karena kurangnya memahami mengenai usaha ini. Maka ditinggalkanlah dan kembali menjadi pemasok ke pasar-pasar, kecil - kecilan dengan berat beras sekitar 500 kg/ton. Hal inilah yang menjadikan keluarga Hadijah dan Uyu Wahyu bergelut dengan sawah dan berdagang sebagai mata pencaharian pokok.
Sedikit demi sedikit usahanya itu bisa menjadi tumpuan, Uyu Wahyu terus berupaya agar penjualan berasnya semakin diminati konsumen. Untuk itu, ia menerapkan prinsip bahwa pembeli adalah seorang raja. Uyu Wahyu memilki partner bisnis yaitu Pa Ma'soem beliau berpendapat, kunci keberhasilan seorang pedagang adalah keramahan, tidak tungi (ketus) dan mahal senyum.
"Mun henteu bisa seuri mah tong hayang dagang, da seuri mah teu meuli ieuh (kalau tidak bisa tersenyum, janganlah menjadi pedagang, sebab senyum tak perlu membeli)". Kalimat itulah yang selalu Uyu Wahyu ingat dari salah satu temannya yang sekarang menjadi pegangan bagi Uyu Wahyu dalam setiap menghadapi pembeli. Maksudnya, berusahalah untuk tersenyum dan berbasa-basi, dengan memperlihatkan wajah ramah. Tokh kalau sebatas senyum tidaklah perlu kita mengeluarkan modal. Lagi pula, tersenyum merupakan bagian dari ibadah, karena bisa lebih mempererat silaturahmi.
Disamping semua itu sang istri Hadijah melakukan pekerjaannya sebagai petani dan sambil berternak. Dahulu sebelum terjun ke peternakan beliau ikut bermain bisnis menjual beras dengan sang suami Uyu Wahyu, namun mencari konsumen yang lebih real yaitu dengan cara memasukan ke warung-warung dan kerumah makan. Selain memasukan beras-beras ke rumah makan, untuk dapat mencukupi kebutuhan kuliah anak-anaknya.
Beliau selalu menitipkan bera-beras kepada anak-anaknya, sebelum mereka berangkat kuliah sehingga anak-anak beliau tidak pernah diberikan bekal uang saku. Untuk dapat mendapatkan uang saku, maka anak-anaknya harus menjual beras-beras dengan menitipkan ke warung-warung nasi, dengan berat beras kwintal. Hasil dari penjualan beras tersebut modalnya dikembalikan kepada Hadijah dan Uyu wahyu sedangkan keuntungannya dipakai untuk bekal makan anak-anaknya.
Dalam usaha pertenakan yang ditekuni oleh sang istri yaitu bertenak telur ayam. Namun usaha ini lagi-lagi gagal dan tidak dilanjut karena keterbatasan pemahaman ilmu-ilmu sang istri. Sehingga pindah profesi menjadi berternak ayam broiler (ayam potong). Sampai jangkauannya ke dareah Bandung. Distribusinya lebih cenderung ke wilayah Bandung kota.
Jaman semakin canggih dan waktu terus berlanjut sepasang suami istri ini berusaha mencari cara agar memiliki penghasilan lebih sehingga dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Tahun berganti tahun sebagai buruh tani dari sawah milik orang tuanya (nyambut) Uyu Wahyu dan Hadijah pada akhirnya sawah dan tanah itu menjadi milik Uyu wahyu dan Hadijah. Sehingga sawah dan tanahnya pun semakin berkembang. Hampir tanah dan sawah yang berada di daerah Cinunuk adalah tanah / pun sawah miliknya.