Mohon tunggu...
Andi Nur Fitri
Andi Nur Fitri Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan swasta

Ibu dua orang anak, bekerja di sekretariat Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia Komisariat Wilayah VI (APEKSI Komwil VI)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kolom Kosong dan Pembangunan Daerah

10 Juli 2018   14:20 Diperbarui: 11 Juli 2018   09:20 2655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (kompas/didie sw)

Luar biasa. Kata-kata inilah yang mungkin dapat mewakili keterkejutan akan kemenangan kolom kosong di Pilkada Kota Makassar, 27 Juni 2018 lalu. Pada pilkada serentak kemarin, dari 15 daerah yang mencalonkan paslon tunggal melawan kolom kosong, hanya di Makassar yang memenangkannya. Kota ini mengukir sejarah, kemenangan pilkada diraih oleh sebuah "entitas" yang justru tak berwujud. 

Tak diketahui siapa orangnya, darimana rimbanya, bagaimana latar belakangnya dan yang lebih menggelikan bagaimana cara meminta pertanggungjawabannya.

Riwayat tentang kolom kosong bermula ketika pada pilkada langsung dan serentak tahun 2015. Pilkada serentak sendiri berawal dari sejarah panjang pemilihan kepala daerah dan wakil rakyat di Negara ini. 

Pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 terdapat 269 Daerah yang akan mengikuti Pilkada serentak. KPU kemudian membuka pendaftaran dan hingga batas akhir terdapat tiga daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah yaitu Kabupaten Blitar, Tasikmalaya, dan Timur Tengah Utara. 

Seingat sayapun, kota Surabaya pada tahun 2015 juga nyaris memiliki satu paslon yaitu Risma Tri Harini dan wakilnya sekarang yang ditengarai karena prestasinya memimpin kota Pahlawan ini pada periode sebelumnya,menyebabkan beberapa pihak tidak berani mengajukan calon lain.

Realitas kemunculan calon tunggal di pilkada menuai pertanyaan dari berbagai pihak apakah pilkada akan dilanjutkan atau tidak mengingat belum ada peraturan undang-undang yang membahas tentang masalah tersebut. 

Akhirnya setelah Mahkamah Konstitusi melakukan pengujiian, keluarlah Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 yang didalamnya menyatakan bahwa daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah dapat mengikuti Pilkada serentak.

Terkait dengan hal tersebut KPU RI kemudian mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016. Di dalam Pasal 11A disebutkan bahwa surat suara pada pemilihan satu pasangan calon memuat dua kolom yang terdiri atas satu kolom yang memuat foto dan nama pasangan calon dan kolom kosong yang tidak bergambar. Jadilah pilkada hari-hari terakhir ini ramai dengan hanya satu paslon yang melawan kolom kosong.

keuangan.co
keuangan.co
Pembangunan Daerah 

Sebagai salah satu daerah yang berkontestasi pada Pilkada Juni lalu, rakyat Makassar kini hampir mendapat kepastian bahwa pemenang pilkada adalah Kolom Kosong. Dalam sebuah pesan berantai di media sosial yang tidak diketahui sumbernya, konon kabarnya tingkat pemilih kemarin hanya mencapai 54%. Ini berarti ada 46% tidak menggunakan hak suaranya. 

Entah dengan alasan apa. Jika ingin menduga, maka diskualifikasi salah satu paslon (Danny Pomanto dan Indira Mulyasari disingkat DIAMI) yang kemudian menyebabkan paslon tunggal (APPI CICU) melawan kolom kosong patut dicurigai menyebabkan kekecewaan mendalam bagi para pendukungnya.

Setelah diskualifikasi tersebut, sebenarnya masyarakat Makassar diletakkan pada posisi vis a vis, apakah  akan memilih paslon tunggal APPI-CICU yang nyata sosoknya, ataukah meletakkan harapan pada kolom kosong, yang merepresentase ketiadaan. Ini karena kolom kosong sebenarnya  adalah sosok imajiner yang diciptakan oleh kerangka hukum sistem demokrasi kita, karena dalam sistem pilkada tidak ada calon tunggal.

Sebagai orang yang bekerja mendampingi sektor pemerintahan selama kurang lebih 15 tahun terakhir, saya berpikir bahwa memilih kolom kosong bukanlah hal yang bijak. Ini karena ada sisi rasionalitas yang mungkin saja tidak dipahamkan kepada masyarakat. Bagi saya ada beberapa faktor yang harus ditelaah ketika kolom kosong selalu diberi posisi dalam sistem demokrasi kita. 

Pertama, kosongnya pemerintahan dalam beberapa tahun ke depan akan digantikan oleh Pelaksana Tugas dari Pemerintah Pusat. Dalam skala ini masyarakat Makassar akan dipimpin oleh orang dari Pusat yang mungkin saja baru belajar mengenal medan atau daerah yang akan dipimpinnya, baru akan memahami karakter orang-orang Bugis Makassar serta baru akan menjalin kekerabatan dengan penduduk kota Makassar. 

Terlebih lagi dengan status PLT yang memiliki kewenangan terbatas, inovasi-inovasi itu sulit muncul. Padahal sebagai kota terdepan dan pintu gerbang kota metropolitan di KTI, gerak dinamis pemerintahan sangat dibutuhkan untuk mengakselerasi perkembangan masyarakat.

Kedua, pilkada juni 2018 kali ini yang menghasilkan kolom kosong mengamanahkan pilkada ulang di tahun 2020. Nah, ini juga yang menarik. Bukan tidak mungkin kesempatan tersebut masih akan digunakan oleh kontestan terdiskualifikasi kemarin, dan memunculkan figur lain yang akan bertarung. Tetapi hati saya tetap berat untuk menghadapi pilkada ulang. 

Bayangkan saja misalnya berapa besar dana yang digunakan untuk menyeleggarakan lagi pemilihan kepala daerah. Operasional KPU, biaya sosialisasi, biaya pencetakan surat suara, dan seabrek kegiatan pra dan pasca pilkada lainnya yang bersumber dari APBD. Bukankah kita selalu menuntut agar pemerintah menjadi efektif dan efisien termasuk dalam persoalan anggaran?  

Jika saja anggaran-anggaran tersebut dialihkan untuk infrastuktur atau belanja konkret pemerintah lainnya seperti membangun sekolah di kawasan pinggiran kota atau kegiatan kemanusiaan, maka akan menyelamatkan banyak jiwa dari kemiskinan misalnya. Ah...ini mungkin pikiran idealis saya saja, tapi setidaknya saya paham bahwa pilkada harus dihadapi serasional mungkin dalam keadaan se complicated apapun.  

Setidaknya pendapat Dr. Teguh Yuwono, M.Pol. Adminberikut dapat menjadi renungan. Ia menyatakan tidak perlu memberi fasilitasi regulasi terhadap kolom kosong agar tak selalu hadir di dalam sistem politik di Tanah Air. 

Jika bicara mengenai teori demokrasi dan teori kompetisi, tidak dikenal kolom kosong di dalam ilmu demokrasi atau ilmu politik. Kolom kosong itu bukan kandidat yang bisa dipertandingkan di dalam sebuah program kompetisi politik sehingga tidak perlu diberi ruang. Ia menekankan, demokrasi choices atau pilihan itu adalah demokrasi yang memililih a atau b, bukan pilih a atau kolom kosong.

 Dari fenomena pilkada di Makassar khususnya, dan daerah lain yang sempat melawan kolom kosong pada umumnya muncul sebuah pelajaran berharga, bahwa partai politik sebaiknya memainkan peran yang elegan untuk memunculkan calon-calon potensial berlaga di pilkada. 

Bukannya ramai-ramai mendukung paslon tertentu hanya karena ketenaran atau survey yang tinggi. Ini akan terlihat sangat oportunis tentunya. Pembelajaran politik oleh partai sebaiknya dimulai dari internal mereka dengan melahirkan kader-kader yang mumpuni, militan bagi kepentingan masyarakat dan pembangunan daerah. Akhirnya, Makassar memang beda ya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun