Mohon tunggu...
Andi Nur Fitri
Andi Nur Fitri Mohon Tunggu... Konsultan - Karyawan swasta

Ibu dua orang anak, bekerja di sekretariat Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia Komisariat Wilayah VI (APEKSI Komwil VI)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kolom Kosong dan Pembangunan Daerah

10 Juli 2018   14:20 Diperbarui: 11 Juli 2018   09:20 2655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (kompas/didie sw)

Setelah diskualifikasi tersebut, sebenarnya masyarakat Makassar diletakkan pada posisi vis a vis, apakah  akan memilih paslon tunggal APPI-CICU yang nyata sosoknya, ataukah meletakkan harapan pada kolom kosong, yang merepresentase ketiadaan. Ini karena kolom kosong sebenarnya  adalah sosok imajiner yang diciptakan oleh kerangka hukum sistem demokrasi kita, karena dalam sistem pilkada tidak ada calon tunggal.

Sebagai orang yang bekerja mendampingi sektor pemerintahan selama kurang lebih 15 tahun terakhir, saya berpikir bahwa memilih kolom kosong bukanlah hal yang bijak. Ini karena ada sisi rasionalitas yang mungkin saja tidak dipahamkan kepada masyarakat. Bagi saya ada beberapa faktor yang harus ditelaah ketika kolom kosong selalu diberi posisi dalam sistem demokrasi kita. 

Pertama, kosongnya pemerintahan dalam beberapa tahun ke depan akan digantikan oleh Pelaksana Tugas dari Pemerintah Pusat. Dalam skala ini masyarakat Makassar akan dipimpin oleh orang dari Pusat yang mungkin saja baru belajar mengenal medan atau daerah yang akan dipimpinnya, baru akan memahami karakter orang-orang Bugis Makassar serta baru akan menjalin kekerabatan dengan penduduk kota Makassar. 

Terlebih lagi dengan status PLT yang memiliki kewenangan terbatas, inovasi-inovasi itu sulit muncul. Padahal sebagai kota terdepan dan pintu gerbang kota metropolitan di KTI, gerak dinamis pemerintahan sangat dibutuhkan untuk mengakselerasi perkembangan masyarakat.

Kedua, pilkada juni 2018 kali ini yang menghasilkan kolom kosong mengamanahkan pilkada ulang di tahun 2020. Nah, ini juga yang menarik. Bukan tidak mungkin kesempatan tersebut masih akan digunakan oleh kontestan terdiskualifikasi kemarin, dan memunculkan figur lain yang akan bertarung. Tetapi hati saya tetap berat untuk menghadapi pilkada ulang. 

Bayangkan saja misalnya berapa besar dana yang digunakan untuk menyeleggarakan lagi pemilihan kepala daerah. Operasional KPU, biaya sosialisasi, biaya pencetakan surat suara, dan seabrek kegiatan pra dan pasca pilkada lainnya yang bersumber dari APBD. Bukankah kita selalu menuntut agar pemerintah menjadi efektif dan efisien termasuk dalam persoalan anggaran?  

Jika saja anggaran-anggaran tersebut dialihkan untuk infrastuktur atau belanja konkret pemerintah lainnya seperti membangun sekolah di kawasan pinggiran kota atau kegiatan kemanusiaan, maka akan menyelamatkan banyak jiwa dari kemiskinan misalnya. Ah...ini mungkin pikiran idealis saya saja, tapi setidaknya saya paham bahwa pilkada harus dihadapi serasional mungkin dalam keadaan se complicated apapun.  

Setidaknya pendapat Dr. Teguh Yuwono, M.Pol. Adminberikut dapat menjadi renungan. Ia menyatakan tidak perlu memberi fasilitasi regulasi terhadap kolom kosong agar tak selalu hadir di dalam sistem politik di Tanah Air. 

Jika bicara mengenai teori demokrasi dan teori kompetisi, tidak dikenal kolom kosong di dalam ilmu demokrasi atau ilmu politik. Kolom kosong itu bukan kandidat yang bisa dipertandingkan di dalam sebuah program kompetisi politik sehingga tidak perlu diberi ruang. Ia menekankan, demokrasi choices atau pilihan itu adalah demokrasi yang memililih a atau b, bukan pilih a atau kolom kosong.

 Dari fenomena pilkada di Makassar khususnya, dan daerah lain yang sempat melawan kolom kosong pada umumnya muncul sebuah pelajaran berharga, bahwa partai politik sebaiknya memainkan peran yang elegan untuk memunculkan calon-calon potensial berlaga di pilkada. 

Bukannya ramai-ramai mendukung paslon tertentu hanya karena ketenaran atau survey yang tinggi. Ini akan terlihat sangat oportunis tentunya. Pembelajaran politik oleh partai sebaiknya dimulai dari internal mereka dengan melahirkan kader-kader yang mumpuni, militan bagi kepentingan masyarakat dan pembangunan daerah. Akhirnya, Makassar memang beda ya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun