Mohon tunggu...
Nurfaza Aula
Nurfaza Aula Mohon Tunggu... Guru - Be a Good Person, menjadi pribadi yang lebih baik

Seorang pembelajar yang berusaha untuk terus dapat belajar

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Milenial: Golput bukan Pilihan Cerdas dalam Berdemokrasi

16 April 2019   23:22 Diperbarui: 16 April 2019   23:24 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihn Umum (Pemilu) sudah dalam hitungan jam lagi. Sebuah pesta demokrasi yang berlangsung dalam kurun waktu Lima tahun sekali ini tentunya memerlukan energi besar dalam mensukseskannya. Pemilu sudah berlangsung di Indonesia sejak tahun 1955, tepatnya pada tanggal 29 September 1955. Saat itu Pemilu masih berkonsentrasi pada pemilihan anggota DPR RI yang masih diikuti oleh 29 Partai Politik dan Individu.

Disusul kemudian pada Pemilu tahap kedua untuk memilih anggota Konstituante, peristiwa ini terjadi pada tanggal 15 Desember 1955. 

Pada awalnya Pemilu di Indonesia bertujuan untuk memilih anggota DPRD Kab/Kota, DPRD Provinsi, dan anggota Perwakilan. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada tahun 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang awalnya dipilih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) diambil kesepatan untuk dipilih langsung oleh Rakyat, sehingga Pilpres dimasukkan kedalam rangkaian Pemilu di Indonesia.

Indonesia telah beberapa kali mengalami Pemilu, yaitu sudah 12 kali terhitung sejak tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009,2014, dan 2019. Sehingga tidak heran masyarakat Indonesia semakin cerdas menjadi pemilih. Sehingga masyarakat tidak lagi ketakutan apalagi bingung dalam menentukan siapa yang layak untuk menjadi wakil-wakil mereka di parlemen, maupun yang kelak menjadi pemimpin bangsa ini.

Tahun demi tahun jumlah partai politik peserta Pemilu pun pernah mengalami pasang surut. Pada Pemilu 1955 diikuti oleh 10 parpol, terdiri dari Partai Nadhalatul Ulama, Partai Muslim Indonesia, Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiiah (PERTI), Partai Nasionalis Indonesia(PNI), Partai Kristen Indonesia, Partai Katholik, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia(Partai IPKI), Partai Murba dan Sekber Golongan Karya.

Kemudian tahun 1977 hingga tahun 1997 parpol peserta Pemilu mengalami Fusi (Peleburan) menjadi 3 Parpol peserta Pemilu, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari partai NU, Parmusi, Perti, dan PSII,  Partai Golongan Karya (GOLKAR), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI dan Partai Murba.

Pada tahun 1999, menandai Pemilu awal di Masa Reformasi, setelah sebelumnya berada pada kendali rezim Orde Baru. Pemilu 1999 ini merupakan kebangkitan Demokrasi di Indonesia, terbukti dengan banyaknya antusias masyarakat Indonesia dalam berpolitik, sehingga saat itu Pemilu tahun 1999 diikuti oleh 48 Parpol peserta Pemilu.

Berlanjut hingga tahun Pemilu 2004, masyarakat dapat secara langsung memilih DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden. Peserta pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2009 diikuti oleh 44 Partai Politik (Parpol), yang terdiri dari 38 partai nasional dan 6 partai lokal Aceh. Terdapat sepuluh Partai Politik yang mengikuti Pemilu 2014, yaitu : Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (Nasdem) serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Di tahun 2019 ini, Indonesia akan kembali menyelenggarakan Pemilu. Diikuti oleh 16 Parpol Nasional Peserta Pemilu, diantaranya; Partai Kebangkitan Bangsa (PKB); Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra); PDI Perjuangan (PDIP); Partai Golkar; Partai Nasdem; Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda); Partai Beringin Karya (Berkarya); Partai Keadilan Sejahtera (PKS); Partai Persatuan Indonesia (Perindo); Partai Persatuan Pembangunan (PPP); Partai Solidaritas Indonesia (PSI); Partai Amanat Nasional (PAN); Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura); Partai Demokrat; Partai Bulan Bintang (PBB); dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI); ditambah 4 Parpol Lokal di Aceh yaitu Partai Aceh, Partai Sira, Partai Daerah Aceh, dan Partai Nangroe Aceh, yang menjadi peserta Pemilu 2019.   

Namun rasa-rasanya, dari Pemilu yang pertama kali kami ikuti, sepertinya Pemilu kali cukup menaikkan sumbu politik di Republik ini meningkat. Bagaimana tidak, dilansir pada akun Intagram @okezonecom dituliskan bahwa sebuah Lembaga Kajian Australia, Lowy Institute, menyebut bahwa pemilu 2019 di Indonesia termasuk paling rumit dan paling menakjubkan di dunia karena skalanya yang besar dan dilaksanakan dalam satu hari saja.

Bumbu-bumbu politik hampir memenuhi ruang publik setiap hari, baik melalui media elektronik, media cetak, dan media sosial. Dulu kami memang pernah memiliki berbagai pandangan politik yang berbeda, tapi "gak gampang baperan". Tapi, kini pilihan politik mulai menyeruak ke permukaan karena adanya fragmentasi pandangan. Hal ini merebak dari adanya polarisasi pilihan. Mulai dari urusan kesukuan, ras, sampai pendapat agama.

Bukti adanya polarisasi ialah pada tingginya nilai sentimen di ruang publik. Salah satunya ada di internet. Alhasil, media sosial makin diwarnai dengan berita bohong (Hoax), saling nyinyir diantara parpol peserta Pemilu. Sehingga ketika ada ide kebijakan baru justru dibenturkan oleh lawannya dengan mengatasnamakan kepentingan politik.

Akibatnya, masyarakat bukannya bertambah cerdas melihat suatu gejala sosial. Alih-alih memberikan kritik membangun hingga saran solutif, kini malah diisi dengan sentimen dan nyinyiran.

Adanya pergeseran fungsi di ruang publik. Fungsi ruang publik, yang semestinya menjadi media atau wadah bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat, atau pandangan politiknya mengalami pergeseran menjadi wadah untuk mengeluarkan sikap sentimen mereka. Instrumen bergesernya ruang publik ialah adanya framing informasi melalui opini partisan di media digital, terutama peran pendukung fanatik kelompok tertentu.

Keadaan Pemilu saat ini cenderung ekstrem, menjelang Pilpres 2019, framing informasi justru ramai-ramai dilakukan oleh semua partisipan. Gak mau kalah, istilahnya. Baik pendukung Paslon Nomor Satu (Jokowi-Amin) maupun Paslon Nomor Dua (Prabowo-Sandi). Dari yang seharusnya perbedaan pilihan mengembangkan diskusi politik yang rasional, apapun topik perbincangannya, kini yang didapat hanyalah sentimen belaka dan sikap saling menjatuhkan.

Hal tersebut tentunya berpengaruh pada timbulnya sikap sentimen dari mereka yang dikatakan Milenial. Mereka jenuh melihat situasi politik saat ini, sehingga dapat menimbulkan pesimisme dari para Milenial untuk ikut serta menjadi bagian dari Pemilih Cerdas.

Kejenuhan tersebut bukan tanpa alasan, karena yang mereka perhatian di hampir semua kanal media membahas tentang sikap saling sentimen antar pendukung paslon. Seakan-akan mereka tidak pernah menampilkan sikap dewasa dan saling menghargai atas prestasi-prestasi lawan politiknya.

Namun, perlu disadari bersama bahwa generasi Milenial dianggap menjadi penentu kesuksesan pesta demokrasi terbesar di Republik ini.

Deputi Pengembangan Pemuda Kemenpora, Asrorun Niam Soleh di Hotel Maxe One, Jakarta, Selasa (16/04/19) menegaskan bahwapemilu merupakan rutinitas lima tahun sekali dan harus disambut dengan penuh kegembiraan sekaligus untuk memperkuat persaudaraan meski beda pilihan. (@okezonecom)

Golput bukanlah solusi terbaik dalam Demokrasi kita. Dengan kita melakukan Golput berarti membuat arah demokrasi kita mundur dan tertinggal.

Pada pemilu legislatif kali ini, terdapat 575 orang anggota yang akan dipilih dari 16 partai peserta pemilu,sedangkan jumlag total Caleg yang bersaing sebanyak 245.000 orang yang memperebutkan sekitar 20.500 kursi yang ada di 34 Provinsi dan sekitar 500 Kabupaten/Kota.

Ketika kita melakukan Golput, maka jangan marah ketika kelak suara kita tidak diakomodir oleh pemangku kebijakan. Jangan tersinggung ketika nanti banyak pejabat-pejabat yang membuat kebijakan tidak sesuai dengan asas Ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan sosial.

Seperti dilansir dalam Investigasi Tempo, (15/04/19) adanya kader-kader Partai peserta Pemilu di DPR yang masuk dalam pusaran korupsi, seperti PDIP:19, Partai Golkar:16 orang, Partai PPP:6 orang, Partai Demokrat:5 orang, PAN : 4 orang, Hanura, PKS,PKB: masing-masing 2 orang, dan Nasdem : 1 orang.Hal tersebut menambah sentimen masyarakat terhadap proses pemilu 2019, karena diperbolehkannya pencalonan eks-koruptor ikut serta dalam pemilu.

Menurut data KPK, yang pernah dirilis pada 16 Agustus 2018 lalu, sepanjang 2004 - Agustus 2018 terdapat 867 pejabat negara/pegawai swasta yang melakukan tindak pidana korupsi.

Dari jumlah tersebut, 311 orang di antaranya berprofesi sebagai anggota DPR dan DPRD, gubernur, dan bupati atau walikota yang notabene hampir keseluruhan berlatar belakang dari partai politik .

Jika masyarakat banyak yang Golput dan salah memilih, maka kondisi bangsa kita dapat menuju pada kehancuran.

Dengan demikian, besar harapan kami kepada seluruh lapisan masyarakat yang telah memiliki hak pilih, untuk menyalurkan hak pilihnya di TPS masing-masing agar terpilih puta-putra bangsa terbaik yang kelak menjadi Wakil Rakyat dan Presiden yang akan memimpin bangsa ini menjadi lebih baik.

Jangan sampai orang yang berkepentingan jahat terhadap Republik ini menduduki kursi parlemen maupun kursi pemerintahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun