Lagi-lagi bikin judul yang ngeri, tapi kembali lagi sebenarnya di sini penulis ingin berdiskusi dengan mengawali sebuah tulisan mengenai sejarah dan budaya yang lekat dengan perjuangan bangsa Indonesia. Tulisan ini sendiri disampaikan pada Diskusi Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP UHAMKA tanggal 19 Januari 2021. Jadi masih hangat, karena begitu diskusi sudah selesai, penulis langsung memasukkannya di Kompasiana.
Pengantar
Sejarah dan budaya memiliki keterkaitan dan keterikatan yang kuat, bisa dilihat di jenjang perguruan tinggi di Indonesia, sejarah masuk ke dalam ilmu humaniora, yakni ilmu yang mempelajari masalah kemanusiaan. Sejarah dan budaya juga bergumul dalam peradaban manusia dari waktu ke waktu. Khusus di Indonesia sendiri, terdapat periode yang menarik untuk dibahas, karena pada periode inilah masyarakat 'eks Nusantara' merasa bersatu sebagai sebuah bangsa dengan salah satu poinnya adalah menjunjung bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia. Bahasa menjadi salah satu unsur dalam budaya, sehingga menarik untuk dibahas keterkaitan perjuangan bangsa Indonesia saat itu memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Konsep dan Unsur Kebudayaan
Budaya merupakan suatu istilah yang longgar dan berganda, mulai dari yang sempit sampai yang sangat luas. Istilah budaya dan kebudayaan pun terdapat perbedaan pandangan mengenainya, namun setidaknya penulis melihat bahwa baik itu istilah budaya dan kebudayaan sama saja. Menurut Koentjaraningrat, budaya adalah "keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar". Hal ini bisa dipahami bahwa kebudayaan adalah suatu hal yang dimiliki manusia, yang berasal dari akalnya.
Adapun, Koentjaraningrat melihat adanya unsur-unsur kebudayaan universal, ketika ingin 'menguji' masyarakat tersebut memiliki kebudayaan tersendiri atau tidak. Unsur-unsur kebudayaan tersebut terdiri dari tujuh unsur, yakni: (1) Bahasa; (2) Sistem Pengetahuan; (3) Organisasi Sosial; (4) Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi; (5) Sistem Mata Pencaharian Hidup; (6) Sistem Religi; dan (7) Kesenian (Baca lebih lanjut di Koentjaraningrat: Pengantar Ilmu Antropologi serta Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan). Budaya dapat menjadi citra suatu bangsa, misalnya melihat Amerika Serikat dengan individualismenya, Tiongkok dengan kepatuhan kolektifnya, dan Indonesia dengan gotong royongnya.
Kongres Pemuda 1928 dan Budaya Nasional
Kongres Pemuda II yang diadakan pada 27-28 Oktober 1928 menjadi bukti konkret nasionalisme bangsa Indonesia pada awal abad ke 20. Dalam sejarah Indonesia, periode ini disebut sebagai pergerakan nasional, karena saat itu di kalangan bangsa 'eks Nusantara' atau lebih dikenal Hindia Belanda, berkembang kesadaran bahwa bangsa yang berada di bawah kolonialisme Belanda merupakan suatu bangsa yang telah terwujud melalui ikrar yang menyatakan adanya persatuan bangsa, tanah air, dan bahasa (Karyanti, 2010; Poesponegoro & Notosusanto, 2008). Maka, ada pendapat bahwa hasil kerapatan Kongres Pemuda II yang lebih dikenal sebagai Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 merupakan Hari Kelahiran Bangsa Indonesia. Tinggalkan dulu kontroversi mengenai ada tidaknya Sumpah Pemuda, karena penting untuk diketahui bahwa saat itu para pemuda-pemudi 'eks Nusantara' mengikrarkan diri sebagai sebuah bangsa.
Menurut penulis, ikrar pemuda-pemudi saat itu yang ingin menjadi sebuah bangsa merupakan langkah yang hebat, karena bisa diidentifikasi bahwa nasionalisme yang ada saat itu adalah nasionalisme sipil, bukan nasionalisme etnis. Nasionalisme sipil merupakan kebangsaan yang dibangun berdasarkan sejarah yang sama dan digunakannya bahasa yang sama oleh semua kelompok negara-bangsa. Persatuan bahasa inilah yang mempermudah perkembangan nasionalisme (Karyanti, 2010; Pureklolon, 2018).
Aspek bahasa dalam 'Sumpah Pemuda' menjadi menarik untuk dikaji, karena kalimat yang digunakan adalah "menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Hal ini dimaksudkan agar bangsa baru yang terdiri dari berbagai suku dan bahasa dapat berkomunikasi dengan baik (Pureklolon, 2018). Nantinya, bahasa Indonesia dipakai dalam teks proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Jangan lupa, saat itu yang merdeka adalah bangsa Indonesia, bukan negara Indonesia.
Peristiwa 'Sumpah Pemuda' menandakan bahwa 'pola pikir kedaerahan' yang saat itu ada di kalangan para pemuda, bergeser menjadi 'pola pikir nasional'. Saat itu, bahasa Indonesia mengalami kelahiran secara politis dan dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional. Sedangkan, secara yuridis bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 (Sudaryanto, 2019). Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa resmi bangsa ini juga harus bangga, karena tidak semua negara di dunia memiliki bahasa resmi, ambil contoh di India yang belum menyepakati bahasa resminya (Bahtiar, 2019).
Ditilik ke belakang, bahasa Melayu sempat dijadikan pertimbangan sebagai bahasa persatuan, namun gagasan dari M. Yamin ini ditolak oleh M. Tabrani dengan alasan kalau tanah air dan bangsanya saja bernama Indonesia, maka bahasanya pun demikian, bukan disebut sebagai bahasa Melayu. Sebelumnya, Yamin menyampaikan pendapatnya pada Kongres Pemuda I tahun 1926 bahwa hanya ada dua bahasa yang berpotensi diangkat sebagai bahasa persatuan, yakni bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Yamin pun memiliki keyakinan bahwa bahasa Melayu lebih berkembang sebagai bahasa persatuan, hal ini dikarenakan bahasa Melayu telah lama menjadi lingua franca di wilayah Nusantara. Di sisi lain, bahasa Jawa dinilai riskan memicu konflik dan disintegrasi, karena karakteristiknya yang memiliki tingkat tutur dalam ngoko-krama (Asmara, 2020).
Dengan perjalanan panjang tersebut, bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa nasional dan alat pemersatu bangsa, selain itu juga menjadi lambang jati diri bangsa. Bahasa Indonesia hingga kini menjadi perisai pemersatu yang belum pernah dijadikan sumber permasalahan oleh masyarakat pemakainya yang berasal dari berbagai macam suku. Jika tidak ada 'Sumpah Pemuda', mungkin bangsa ini tidak akan memperoleh kemerdekaannya, dikarenakan masing-masing suku memiliki fanatisme terhadap bahasanya sendiri. Dengan demikian, dengan adanya bahasa Indonesia, nasionalisme dapat terwujud sampai sekarang (Marsudi, 2008).
Hari ini, bahasa Indonesia tidak hanya dilihat sebagai bahasa milik bangsa Indonesia saja, akan tetapi milik dunia. Hal ini dikarenakan bahasa Indonesia dipelajari setidaknya di 52 negara. Bahkan, di Australia banyak sekolah dasar yang mempelajari bahasa Indonesia, sehingga anak-anak yang ada di sana sudah bisa dan fasih berbahasa Indonesia (Bahtiar, 2019; Donna, 2017).
Penutup
Tujuh tahun lagi, genap kita merayakan seabad 'Sumpah Pemuda'. Berdasarkan coretan-coretan yang ada di atas, mari merefleksikan bersama bahwa bahasa Indonesia merupakan identitas bersama sebagai bangsa Indonesia. Sebuah bahasa yang sama-sama dijunjung sebagai bahasa persatuan. Sesuai dengan judul, hal ini menunjukkan bahwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia lekat dengan budaya, salah satu unsurnya adalah bahasa yang dalam hal ini bangsa Indonesia berikrar bahwa bahasa persatuan yang dijunjungnya adalah bahasa Indonesia. Penulis berharap semoga bahasa Indonesia selalu eksis dalam perjalanan negara-bangsa ini ke depan. Aamiin.
Referensi
Asmara, R. (2020). Sumpah Pemuda dan Muruah Bahasa Indonesia. Retrieved from republika.co.id
Bahtiar, A. (2019). Bahasa Indonesia, (Menjadi) Bahasa Dunia. Retrieved from republika.co.id
Donna, N. (2017). 8 Negara Ini Pakai Bahasa Indonesia sebagai Program Studi. Retrieved from liputan6.com
Karyanti, T. (2010). Sumpah Pemuda dan Nasionalisme Indonesia. Majalah Ilmiah INFORMATIKA, 1(3), 89--99. Retrieved from http://www.unaki.ac.id
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. (2015). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Marsudi, M. (2008). Eksistensi Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Persatuan. Jurnal Sosial Humaniora, 1(2), 172--184. https://doi.org/10.12962/j24433527.v1i2.674
Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (2008). Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka.
Pureklolon, T. T. (2018). Nasionalisme, Supremasi Perpolitikan Negara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sudaryanto. (2019). Dari Sumpah Pemuda (1928) sampai Kongres Bahasa Indonesia I (1938): Kajian Linguistik Historis Sekitar Masa-Masa Prakemerdekaan. Kajian Linguistik Dan Sastra, 3(2), 100--108.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H