Mohon tunggu...
Nur Fajar Absor
Nur Fajar Absor Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Pemula

Dosen, Sejarawan, dan Penulis Artikel. Email: nurfajarabsor@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Komedi sebagai Media Kritik: Suatu Tinjauan Historis

4 Juli 2020   11:26 Diperbarui: 4 Juli 2020   11:16 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Judulnya sih ngeri, tapi sebenarnya di sini penulis ingin menulis sebuah opini mengenai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini (walaupun tidak terbaru juga).

Tulisan ini pernah disampaikan pada Diskusi Rumah Tjokro tanggal 30 Juni 2020, Rumah Tjokro sendiri merupakan suatu wadah diskusi yang mayoritas berisi mahasiswa FKIP UHAMKA. Diskusinya santai, tapi temanya berat-berat, salah satunya yang saya terima ketika berbicara tentang 'Penguasa Stand Up: Lelucon Serius Komedian'.

Pengantar

Bulan Juni 2020 bukanlah bulan 'romantis' seperti yang digambarkan dalam buku Sapardi Djoko Damono (2013). Pada bulan ini banyak kasus yang terjadi di Indonesia yang menjadi keprihatinan bersama sebagai sebuah bangsa. Penulis mencatat setidaknya ada dua kasus yang sebetulnya 'lucu' dari segi humor, namun menjadi serius ketika ada yang 'baper' dengan guyonan yang disampaikan oleh dua orang tersebut.

Kasus pertama terjadi pada komedian Bintang Emon yang mengunggah video guyonannya pada 12 Juni 2020 di akun media sosialnya, saat itu ia mengkritisi dengan gaya komedi satire terkait dengan sidang tuntutan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang notabene merupakan penyidik KPK. Bahkan, di akhir video tersebut Bintang Emon sempat mengucap 'Lho kok ada tukang bakso?' yang merupakan guyonan untuk pihak berwajib yang 'menjaring' pihak 'oposisi'. Meskipun tidak 'dijaring' oleh pihak berwajib, namun Bintang Emon harus menelan pil pahit dituding menggunakan narkoba oleh beberapa pihak (Bernie, 2020; Indonesia, 2020).

Kasus kedua menimpa Ismail Ahmad yang merupakan warga Kepulauan Sula, Maluku Utara yang mengunggah guyonannya Gus Dur mengenai 'Tiga Polisi Jujur' di akun media sosialnya. Waktu kasus ini berbarengan dengan kasus Bintang Emon, yakni 12 Juni 2020. Kasus ini menjadi menarik, karena Ismail Ahmad hanya mengutip guyonan Gus Dur, bukan memproduksi gagasannya mengenai guyonan tersebut. Namun, berbeda dengan Bintang Emon, ia harus berurusan dengan pihak berwajib. Jalan keluar dari kasus ini adalah Ismail Ahmad menyampaikan permohonan maaf ke media massa (D. Prabowo, 2020).

Kedua kasus tersebut memperlihatkan bahwa komedi yang seharusnya membuat pembaca, pendengar, dan penontonnya tertawa gembira, malah membuat takut masyarakat awam yang ingin menghibur. Bahkan, menurut Ellen Kusuma (dalam Indonesia, 2020) kasus Bintang Emon menunjukkan bahwa "situasi demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia yang sangat darurat".

Senada dengan Kusuma, Alissa Wahid (dalam H. Prabowo, 2020) mengatakan bahwa kasus Ismail Ahmad sebagai "intimidasi institusi negara terhadap warga". Apakah Indonesia darurat komedi? Apakah memang sebenarnya komedi bisa dijadikan sebagai media kritik yang membuat beberapa orang 'gerah' dengan komedi tersebut? Penulis mencoba membedah hal tersebut.

Sejarah Komedi sebagai Media Kritik di Indonesia

Komedi merupakan salah satu bentuk seni yang digunakan sebagai bentuk hiburan. Di Indonesia sendiri, komedi menjadi bagian dari kesenian rakyat dengan beraneka ragam jenisnya, yakni ludruk, ketoprak, lenong, dan wayang (Nastiti, 2014). Karena bersifat menghibur, komedi dapat juga menyelipkan pesan-pesan sosial atau moral dalam setiap pertunjukannya. Maka, komedi dapat juga dijadikan sebagai media kritik, baik itu sosial maupun politik dengan gaya khasnya yang menyindir sesuatu, tanpa harus membuat yang dikritik 'baper'. Karena, berbeda dengan demonstrasi yang bersifat mengundang massa banyak dan penyampaiannya yang lugas, komedi tidak perlu mengundang massa yang banyak dan dalam penyampaiannya bersifat 'santai'. Namun, dalam sejarahnya, komedi sebagai media kritik ini berujung pada 'baper'nya pihak-pihak yang tidak suka terhadap kritikan tersebut.

Hal ini penulis mulai dengan kisah Cak Durasim yang merupakan seniman ludruk asal Surabaya. Saat pendudukan Jepang, ia merupakan sosok yang diburu oleh tentara Jepang, karena kidungnya yang membuat resah tentara Jepang. Kidung tersebut berisi 'Pagupon omahe doro, dijajah Nippon tambah soro' yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti 'Rumahnya burung dara, ikut Jepang tambah sengsara' yang dimaksudkan bahwa Indonesia seperti rumah burung dara yang dalam hal ini berarti penjajah datang dan pergi, namun lebih sengsara lagi ketika dijajah oleh Jepang. Gara-gara guyonan inilah Cak Durasim dibunuh oleh tentara Jepang ketika ia sedang pentas di atas panggung dengan sebilah katana (Utomo, 2018).

Komedi sebagai media kritik semakin relevan ketika Warkop DKI yang mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru. Bahkan, lagu 'Ngobrol di Warung Kopi' yang sering terdengar di sela-sela film Warkop DKI secara tersirat mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru melalui warung kopi yang merupakan tempat rakyat kecil biasa 'nongkrong'. Berikut petikan liriknya:

                           Nongkrong di warung kopi

                           Nyentil sana dan sini

                           Sekedar suara rakyat kecil

                           Bukannya mau usil

                           Sambil minum kopi ngobrol sane-sini

                           Sambil ngaduk-ngaduk kopi

                           Eh jangan bawa ke hati (ke jantung bolehlah)

                           Boleh kita berbeda pilih pemimpin (asal yang bener)

                           Tapi kalau NKRI sudah harga mati (gak bisa ditawar)

                           Nongkrong di warung kopi

                           Nyentil sana dan sini

                           Sekedar suara rakyat kecil

                           Bukannya mau usil

                           Hai kau pemuda, ayo naik kuda (dari pada naik odong-odong)

                           Hai kau pemudi, boleh juga nyoba (ya nyoba...

Namun, terjadi perubahan gaya kritik Warkop DKI yang sebelumnya terkenal di radio dengan gayanya yang cenderung provokatif, berubah menjadi 'agak kalem' dalam film, karena kebijakan represif Orde Baru (Nastiti, 2014). Meskipun demikian, film-film Warkop DKI tetap menyelipkan kritikan-kritikannya dengan cara yang elegan, misalnya dalam adegan 'Depan Bisa Belakang Bisa' yang dirilis tahun 1987 sebagaimana dikutip dalam Nurhuda dan Liana (2014):

                          Damsyik: Numpang tanya tuan, kok sekretaris tuan orang asing?

                          Kasino: Kami memang memperkerjakan orang Barat supaya perusahaan kami lebih bonafide.

                          Damsyik: Memangnya kualitas orang asing itu lebih hebat?

                          Kasino: Oh, soal kualitas itu no. 2, yang paling penting gengsinya dulu tuan.

Adegan tersebut menggambarkan bahwa saat itu perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia lebih memilih orang asing dibandingkan orang Indonesia dalam hal pekerjaan, padahal belum tentu orang asing tersebut lebih hebat, karena gengsi, maka dari itu perusahaan-perusahaan di Indonesia lebih mempercayakan orang asing untuk bekerja di perusahaannya. Tidak aneh, saat itu dikenal istilah Asing, Aseng, dan Asong.

Memasuki periode 2010-an, format komedi secara grup mulai berganti dengan format tunggal atau biasa disebut stand up comedy. Hal ini penulis lihat tidak terlepas dari dialektika Hegel, karena sebelum periode 2010-an masyarakat Indonesia cenderung diberikan komedi-komedi berbau physical comedy yang meledek lawan bicara yang memiliki kekurangan fisik, semisal 'Gigi lu offside'. Jenuh dengan hal tersebut, ketika ada format baru, yakni stand up comedy yang menggunakan diksi-diksi dalam penyampaian humornya, membuat masyarakat Indonesia menggandrungi format baru tersebut.

Para komika -sebutan untuk pelawak tunggal- tersebut juga biasanya menyelipkan kritikannya melalui materi humor yang dibawanya. Kritikan tersebut lazimnya mengkritik kondisi sosial yang ada di Indonesia, semisal pembangunan di Indonesia Timur yang tidak merata. Namun, ketika yang dibicarakan adalah kritik politik, sepertinya elite-elite yang ada di Indonesia belum siap dengan hal tersebut. Hal ini ditandai dengan tudingan yang dituding berasal dari buzzer yang diarahkan kepada Bintang Emon dan tindakan represif pihak berwajib terhadap Ismail Ahmad. Meski demikian, ada kalanya humor tersebut malah tidak lucu dan menimbulkan 'kontroversi' ketika yang melawak adalah Mahfud MD yang pada medio Mei 2020 berkelakar mengenai 'Corona is Like Your Wife' yang penulis pandang berbau seksis dan misoginis, yakni kebencian terhadap perempuan.

Penutup

Tulisan yang ada di atas memperlihatkan bahwa komedi dapat dijadikan media kritik, baik itu dari segi sosial maupun politik. Namun, ketika berbicara politik, memang perlu pendewasaan dari berbagai pihak dalam menyikapinya, agar kasus seperti Bintang Emon maupun Ismail Ahmad tidak terulang kembali, supaya ruang kebebasan berekspresi di Indonesia terbuka lebar. Di akhir tulisan, penulis jadi teringat slogan khas Warkop DKI: 'Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang'.

Referensi

Bernie, M. (2020). Kasus Bintang Emon, Ketika Komedi Dibungkam Teror. Retrieved from tirto.id website: https://tirto.id/kasus-bintang-emon-ketika-komedi-dibungkam-teror-fH3V

Damono, S. D. (2013). Hujan Bulan Juni. Editum.

Indonesia, C. (2020). Kronologi Kritik Bintang Emon Berujung Serangan di Medsos. Retrieved from cnnindonesia.com website: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200616104226-20-513754/kronologi-kritik-bintang-emon-berujung-serangan-di-medsos

Nastiti, L. N. (2014). Kritik Sosial dalam Komedi (Studi Kasus Stand-Up Comedy di Kalangan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta). Universitas Negeri Jakarta.

Nurhuda, H. C., & Liana, C. (2014). Kritik Sosial Dalam Film Komedi Warkop DKI Tahun 1980-1994. Avatara, 2(3), 48--60.

Prabowo, D. (2020). Humor Gus Dur soal Polisi Jujur, antara Tito Karnavian dan Nasib Ismail Ahmad. Retrieved from kompas.com website: https://nasional.kompas.com/read/2020/06/19/17224151/humor-gus-dur-soal-polisi-jujur-antara-tito-karnavian-dan-nasib-ismail-ahmad?page=all

Prabowo, H. (2020). Gagal Paham & Arogansi Polisi: Tangkap Penyebar Guyonan Gus Dur. Retrieved from tirto.id website: https://tirto.id/gagal-paham-arogansi-polisi-tangkap-penyebar-guyonan-gus-dur-fJyo

Utomo, D. P. (2018). Ludruk Cak Durasim Lawan Penjajah Jepang akan Dipentaskan Lagi. Retrieved from detik.com website: https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4167405/ludruk-cak-durasim-lawan-penjajah-jepang-akan-dipentaskan-lagi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun