Hal ini penulis mulai dengan kisah Cak Durasim yang merupakan seniman ludruk asal Surabaya. Saat pendudukan Jepang, ia merupakan sosok yang diburu oleh tentara Jepang, karena kidungnya yang membuat resah tentara Jepang. Kidung tersebut berisi 'Pagupon omahe doro, dijajah Nippon tambah soro' yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti 'Rumahnya burung dara, ikut Jepang tambah sengsara' yang dimaksudkan bahwa Indonesia seperti rumah burung dara yang dalam hal ini berarti penjajah datang dan pergi, namun lebih sengsara lagi ketika dijajah oleh Jepang. Gara-gara guyonan inilah Cak Durasim dibunuh oleh tentara Jepang ketika ia sedang pentas di atas panggung dengan sebilah katana (Utomo, 2018).
Komedi sebagai media kritik semakin relevan ketika Warkop DKI yang mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru. Bahkan, lagu 'Ngobrol di Warung Kopi' yang sering terdengar di sela-sela film Warkop DKI secara tersirat mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru melalui warung kopi yang merupakan tempat rakyat kecil biasa 'nongkrong'. Berikut petikan liriknya:
              Nongkrong di warung kopi
              Nyentil sana dan sini
              Sekedar suara rakyat kecil
              Bukannya mau usil
              Sambil minum kopi ngobrol sane-sini
              Sambil ngaduk-ngaduk kopi
              Eh jangan bawa ke hati (ke jantung bolehlah)
              Boleh kita berbeda pilih pemimpin (asal yang bener)
              Tapi kalau NKRI sudah harga mati (gak bisa ditawar)