Di Purwokerto sedang musim pancaroba yang entah kapan hujan dan panas yang sulit diprediksi, kemudian ada lelaki cara berjalannya bak seorang penagih hutang, ia menyusuri koridor depan kamar, ia berkelok kedalam kamar bintang yang penuh akan tembakau dan kopi, ia memperkenalkan diri sambil mengais bako dan paper tanpa pamit denganku, ia adalah Saputro salah satu senior disini, konon katanya ia disegani karena perawakannya bagaikan rentenir, ia bercengkerama dengan secangkir kopi hitam nan pahit tanpa permisi terlebih dahulu ia memulai topik pembicaraan.
"hallo, siapa namamu" menggunakan bahasa jawa yang tak bintang mengerti.
"Gua, bintang dari Jakarta" bintang menjawab dengan santai
"oh, salam kenal lo tahu tempat ini darimana?" sembari menghirup kopi yang panas itu.
"Gua direkomendasikan dari kampus bang"
"alasan lo kuliah disini apa?"dengan nada yang tinggi ia bertanya bak wartawan yang meliput berita di depan gedung KPK.
"haha, sepertinya pertanyaanmu bagaikan wartawan" bintang berasumsi dengan tertawa.
"oh iya bang, lo semester berapa?" bintang mencari topik agar terlihat lebih rekat
"Gua, semester 5 prodi Ekonomi" lelaki dengan perawakan rentenir itu mengeluarkan nada santai seperti ingin berkenalan"
"Lo sendiri?"
"Gua prodi Teknik Informatika, kampus ini layaknya ladang bisnis ya?" sambil meminum kopi dan menghisap rokok, bintang menikmati dan mensyukuri nikmat saat berbincang-bincang tentang kampus sampai baksara mengeluh tentang rasa.
Bintang melanjutkan perjalanan menuju senja, saat ia ingin tiba, adzan Maghrib berkumandang menandakan bahwa siang akan digantikan malam, baskara bersiap untuk berimajinasi dalam mimpi, Bintang melangkah menuju surau melaksanakan shalat maghrib kemudian ia terdiam sejenak yang membuatnya terpanah bukan karena senja yang begitu indah di pandang melainkan ada sesosok gadis yang memiliki wajah nan berseri bak lampu lentera di Dieng dan seanggun Rembulan jauh dikahyangan, bintang ingin berkenalan, namun sepertinya Masa tak ingin berhenti sedetikpun seketika bintang termenung dalam larutnya senja.
setelah sholat Bintang bersiap mengais ilmu agama, didalam aula bintang tak mafhum dengan bahasanya, tatkala suara adzan isya berkumandang, seraya terdiam, dan terpikirkan dikepala kemudian ia menanyakan hal yang enggan masuk kedalam kepalanya, seraya tertawa setelah kecanggungan itu, memang apa yang salah dengan pertanyaan itu?, Ibu nyai menjawab dan memberikan argumentasi tentang suatu permasalahan dalam ilmu fiqh tentang nikah.
Amarah dan emosi bintang bergejolak diatas cakrawala malam ketika bulan menyanyikan musik dimalam yang tenang ini, karena ia dirundung tentang pertanyaan tersebut. Tapi semua itu tak digubris olehnya, memang manusia disini memiliki pemikiran yang berbeda dengan imanjinasi dan konspirasi, kemudian air panas dan kopi tersedia sebagai peneman tak lupa tembakau yang selalu ia bawa, cakrawala malam yang ditemani oleh rembulan yang bersinar seakan ingin menunjukkan parasnya, bintang membaca buku dan menikmati suasana yang syahdunya bukan main yang membuatnya berbaring lemas di selimuti terpal yang luas.
Esoknya Purwokerto di terpa hujan badai matahari sepertinya tidak ingin menyinari, keberangkatan menuju kampus dikala hujan deras disertai angin kencang. Bintang memesan taksi online menuju kampus agar ia secepatnya sampai disana, saat dikelas seperti halnya dengan awal masuk SMA, pada diam dan tidak ada yang mengobrol padahal di grup Whatsapp sangat bersemangat untuk pertemuan pagi hari ini. Bintang memulai hari dengan sebuah perbincangan tentang suatu pengalamannya saat pertama kali menginjakkan kaki disini dan riuk kelas seperti halnya pesta dimalam yang penuh dengan tarian dari mulut temannya, kemudian dari kejauhan terlihat gadis yang sempat ia lihat dan di jumpai saat melangkah menuju masjid dijalan setapak saat senja tiba. Lalu bintang memberanikan diri melawan ego yang merasakan insecure, lalu ia menyapanya dan bermutualan di kursi belakang.
"hallo, siapa namamu?"
"aku, Indriana kamu bisa mengambil potongan antara Indri atau ana" jawab dengan santai dan penuh candaan.
"kamu sendiri siapa namamu?" ia berbalik bertanya kepadaku.
"Bintang Pratama, biasa di panggil bintang atau tama"
"salam kenal, Tama, sepertinya kita pernah bertemu ya?" ia bertanya perihal kemarin, aku senang dengan ia mengatakan itu.
"iya, aku tinggal di pondok pesantren, rumahmu disana? Jawabku sambil bertanya.
"Nggak kok, aku juga Tinggal disana, di pondok itu, kamu sepertinya bukan orang asli sini ya?"
"aku dari jakarta, kota dengan keanekaragaman manusianya"
"wah, adoh tenan" terkejut dengan jawabanku.
"hehe iya ana, omong omong kamu suka baca novel?"
"iya, kamu suka baca juga?"
"ya bisa dikatakan aku salah satu orang yang mencintai puisi dalam buku karya Galang Permana"
"wah aku juga suka loh, salah satu penulis dan puitis yang terkenal itu" ia terkagum - kagum dengan asumsiku.
"oh iya besok kegiatanmu padat tidak?, aku ingin mengajakmu menonton film"
"film apa?" bingung sambil menggaruk kepala belakang.
"film tentang Dia hapuskan memori ku, adaptasi bukunya Galang Permana"
"mau" sambil menganggukkan kepala.
"oke, besok jam berapa?" tanyaku sambil menulis puisi.
"setelah mata kuliah yang kedua bagaimana?" jawab ia sambil tersipu malu.
"sampai ketemu esok ana" sambil melambaikan tangan.
Setelah mata kuliah yang hanya perkenalan saja bintang pulang ke pondok dengan menaiki bus, ia menunggu dan dikejutkan oleh gadis yang tadi berkenalan dengannya.
"kamu, mau pulang ke pondok langsung ya tama?"
Sepertinya ada sesuatu yang ingin di tunjukan.
"iya, na mengapa?" terlihat lesuh karena candaan dan obrolan yang tadi.
"aku ingin ke perpustakaan katanya ada novel yang limited edition" saut ana sambil merangkul buku yang ia bawa.
"wah boleh, ayo cepat" bintang bergegas dengan harapan bisa lebih rekat dengan ana.
Mereka berdua pergi ke perpustakaan daerah kemudian hubungan mereka bak eskrim coklat yang sesuai dengan pesanan, indriana dan bintang tak hanya pergi ke perpustakaan mereka juga sempat pergi ke pameran seni yang ada dikampus terdekat darisana, universe mereka tak bisa dipisahkan layaknya air dan api melainkan gula dan air yang menyatu larut dalam teh.
Sampai mentaripun iri melihat mereka hingga membenamkan dirinya kedalam ufuk barat poros bumi hingga senja pun tiba mereka berdua berpisah di persimpangan jalan arah gunung slamet beruntung ketika ia sampai kumandang adzan belum menyuarakan ke penjuru kota Purwokerto, ia bersyukur dan tak menyesali suatu keputusannya untuk mengukir kisah piluh dan resah di tuang oleh tinta hitam kedalam buku catatannya.
"baskara memang sedang merasa sakit, karena melihat sesosok dirimu yang anggun hingga Seorang Nagita slavina pun tak bisa menandingi parasmu, kau bak rembulan yang selalu menemaniku diwaktu malam tiba, mungkin ini jalan menuju roma, tapi aku tak ingin pergi kesana sendiri tanpamu ku harap cintaku padamu tak hanya sebuah lipatan pertemanan saja memang kita baru mengenal tadi pagi, rasa ini bagaikan kita pernah bertemu sebelumnya diantara lautan manusia yang ada di muka bumi, semoga esok hari adalah hari dimana kita pergi berdua tanpa ada orang yang mengganggu kedalam jiwa aku ingin kita berdua tenggelam diantara sebuah hubungan yang lebih dari teman semoga"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H