Mohon tunggu...
nurediyanto
nurediyanto Mohon Tunggu... Peneliti -

Mengaku sebagai keturunan nabi. Aktivitasnya menghapal Alquran terganggu oleh aktivitas menghapal password social medianya yang banyak -klosetide.wordpress.com-

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Balada Penambang Belerang

13 Januari 2014   20:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Jo, panggil saja demikian, memang bukan satu-satunya penambang belerang di ketinggian Welirang. Tapi, setidaknya ia mewakili para penambang yang telah sekian lama kesepian bekerja di ketinggian. Tak seperti orang pada umumnya yang mencari sesuap nasi di daratan atau tanah datar, ia malah mengorek isi bumi di atas ketinggian. Semuanya itu dilakukan demi sebuah penghidupan yang layak bagi keluarganya. Saya belajar banyak hal soal kesejahteraan masyarakat di sisi bumi yang lebih tinggi.

Bicara Kesejahteraan Di Welirang

Perjalanan ke gunung Welirang tahun 2010 lalu bukan tanpa sebab. Dari Bandung menuju Pasuruan, Jawa Timur, adalah sebuah perjalanan panjang nun berliku demi sebuah selebrasi. Saya lulus kuliah juga akhirnya. Dan, mendaki gunung Welirang boleh dibilang sebagai rasa syukur saya atas kelulusan itu. Welirang kali itu adalah puncak kesepuluh gunung berketinggian diatas 3000 mdpl yang bakal saya daki. Dan inilah jelajah Indonesia alias Indonesia Travel saya bertema Gunung Indonesia.

Kata Gie salah satu cara mencintai tanah air adalah dengan menyusuri lekuk tubuh Ibu Pertiwi. Mendaki barangkali masuk kedalam kategori mencintai Ibu Pertiwi itu. Ah, itu mungkin terlalu muluk-muluk. Bagi saya pribadi, niat mendaki kali itu adalah untuk sebuah selebrasi semata. Jadi, terlalu naif jika dikatakan saya mendaki atas nama nasionalisme. Nasionalisme itu sungguh punya makna yang agung. Masa iya naik gunung saja dikatakan sebagai bentuk nasionalisme?

Ini sudah era globalisasi, tapi toh saya dan teman-teman masih saja setia naik kereta kelas ekonomi. Dan kereta ekonomi di Indonesia ternyata bukan hanya berisi manusia tok, melainkan ada sayuran dan binatang ternaknya juga di dalamnya. Di samping saya duduk ada ibu-ibu yang membawa sayur mayur. Dan di seberangnya lagi ada seorang bapak yang membawa beberapa ayam dalam kardus bekas mie instan yang telah diberi lubang untuk si ayam bernafas. Uh, sungguh kereta ekonomi dengan ragam muka asli Indonesia.

Kami turun di stasiun kereta Gubeng, Surabaya. Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke Tretes, Pasuruan. Kami mulai pendakian dari sana tepat jam lima pagi. Jalanan langsung menanjak tajam. Peluh bercucuran meski udara masih terasa dingin. Dan setelah hampir dua jam jalan kami beristirahat di sebuah tempat bernama Pet Bocor. Di sana ada sebuah warung kecil. Ada kopi, gorengan, mie rebus, nasi, dan jajanan, dijajakan. Sepasang suami istri dan seorang anak saya duga sebagai pemiliknya. Kami pun sarapan pagi di sana.

Sementara yang lain melakukan aktivitas pagi masing-masing saya menyempatkan diri ngobrol dengan bapak pemilik warung itu. Pendaki adalah wisatawan juga yang bukan hanya menikmati tempat yang disinggahi, melainkan juga mengenali kehidupan sekitarnya termasuk mengakrabi warganya. Dan perbincangan pagi ini adalah seputar kehidupannya dan keluarganya. Menurutnya, kehidupannya dan keluarganya di sini adalah sebuah pilihan satu-satunya. ‘Kami cuma bisa hidup disini, Mas. Kami gak punya tempat dibawah sana’. Begitu katanya.

Seorang warga asli yang harus tersisih dan memilih hidup di ketinggian. Tersisih oleh orang-orang kota yang berkuasa karena punya modal berlebih. Oh, malangnya mereka yang terusir sebab tak punya modal itu. Ah, sudahlah. Perjalanan harus dilanjutkan kembali. Tujuan kami bukanlah sampai di Pet Bocor, melainkan puncak Welirang. Kami berjalan lagi meninggalkan sepotong cerita kebersahajaan si bapak dan keluarganya serta juga penghidupannya.

Hutan di Welirang masih terjaga. Tentu saja jika dibandingkan dengan hutan di gunung semisal Sumbing atau Sindoro di Jawa Tengah sana, yang begitu tandus. Jalanan berbatu yang telah tertata rapi dan agak luas itu kami lewati. Saking rapi dan luasnya sehingga bisa dilewati oleh mobil berkategori dobel gardan. Dan benar saja, barusan mobil Jeep melintas melewati kami. Mobil itu membawa dua orang penambang belerang. Entah kemana tujuan mereka itu.

Terus saja kami susuri jalanan berliku nun menanjak itu. Hingga tiba pada sebuah tempat yang di sana banyak berdiri gubuk-gubuk. Tempat itu bernama Pondokan. Penamaan tersebut muncul oleh sebab banyaknya pondok-pondok penambang belerang yang berdiri di sini. Ada kehidupan kecil di hampir ketinggian 3000 mdpl. Sebuah entitas sosial yang hanya berisi beberapa pondok dan orang teronggok di pucuk Welirang.

Puncak sebentar lagi digapai. Tapi, tenaga kami sudah terkuras habis, sehingga kami harus rehat sejenak sebelum memulai lagi pendakian ke puncak. Menunggu beberapa menit lagi untuk makan dan mengumpulkan tenaga kembali. Kami beristirahat dan mendirikan tenda di Pondokan. Berdempetan dengan gubuk-gubuk sederhana. Berderet dengan para penambang kehidupan.

Tenda kami berdiri di sebuah shelter yang di sana berserakan sampah kemasan makanan dan minuman. Sisa-sisa pembakaran juga belum sepenuhnya padam di sana. Mungkin baru ditinggalkan beberapa jam oleh penghuni sebelumnya. Di belakang tenda kami, tepatnya di bawah pohon pinus besar, juga berserakan beling-beling berwarna hijau. Ah, itu bekas botol minuman beralkohol pasti, sudah bisa diduga.

Sampah kemasan, pecahan botol kaca, dan sisa pembakaran yang belum sepenuhnya padam, adalah komposisi menarik yang tersaji. Menarik kami untuk membersihkan hunian sementara yang kami diami ini. Siapa yang tenang hatinya jika harus bermalam di tempat kotor dan berbahaya macam ini. Bisa-bisa tenda kami terbakar. Atau bisa-bisa badan kami tertusuk oleh beling yang berserakan itu jika tak dibersihkan terlebih dulu. Perjalanan ke puncak pun harus sedikit tertunda oleh kegiatan bersih-bersih tersebut.

Bagaimanapun juga sampah yang berserakan itu adalah pemandangan yang sungguh tak sedap dipandang. Keasrian alam terenggut olehnya. Bagaimanapun juga sisa pembakaran yang belum padam sepenuhnya dapat berakibat pada kebakaran hutan. Dan bagaimanapun juga beling-beling itu dapat menjadi media penyulut api jika terkena sinar matahari. Beling kaca yang terpapar oleh matahari dapat menjadi mediator yang menyulut kemasan plastik, kertas, atau rumput dan dedaunan kering, menjadi api yang siap membakar seisi hutan. Jika setiap pendaki menyumbang sampah yang demikian, maka setiap pendaki juga punya kontribusi atas terbakarnya hutan. Dan, setiap pendaki memang tak serta merta dikatakan sebagai pencinta alam, sebagaian mereka juga toh hanya sebagai penikmat alam.

Hari sudah sore sebelum akhirnya kami memutuskan untuk ke puncak. Perjalanan ke puncak yang sedianya dilakukan jam tiga sore itupun molor. Baru sekira jam empat sore kami selesai bersih-bersih shelter dan siap untuk ke puncak. Dan pada jam itu kami memulai perjalanan.

Sepanjang perjalanan ke puncak kami berpapasan dengan para penambang belerang. Mereka berlalu lalang turun naik membawa muatan berupa belerang yang dibawa dari puncak menuju ke Pondokan. Dengan hanya bermodalkan gerobak kecil mereka berjibaku menggondol bongkahan belerang dari puncak. Uh, sungguh sebuah pekerjaan penuh resiko jika dibandingkan dengan upah rupiah yang bakal mereka terima.

Awan hitam mulai berarak cepat membawa butiran hujan. Langkah kami segerakan takut-takut hujan segera menerjang. Puncak belum juga dijelang dan hujan benar-benar turun. Langkah kami tercegat oleh hujan yang kencang menerjang. Lima puluh meter lagi puncak, tapi hujan badai ini tak dapat kami kuasai. Sehingga memaksa kami untuk turun ke Pondokan lagi. Puncak urung dijelang. Dan kami pun benar-benar menyurutkan niat ke puncak dan dipaksa kembali ke Pondokan.

Menjelang dini hari hujan reda. Saya pun menyempatkan untuk membuat perapian dan memasak air. Secangkir kopi hangat yang diteguk di depan sebuah api unggun mini adalah sebuah kehangatan tersendiri. Teman-teman yang lain sudah berselimut mimpi dan saya masih sendiri berteman api dan secangkir kopi. Dan beberapa meter di depan tenda kami ada secercah kehidupan. Sebuah gubuk milik penambang terlihat hidup dengan asap yang mengepul dan keluar dari sela-sela bilik beratapkan ijuk.

Saya beranjak menuju ke gubuk itu. Dan di sana ada seorang bapak lebih dari setengah baya yang tengah duduk di depan perapiannya. Si bapak tengah menikmati secangkir kopi item nampaknya. Setelah kulonuwun saya pun dipersilakannya untuk masuk dan duduk di sampingnya. Kami duduk bareng dengan menikmati secangkir kopi hangat masing-masing. Berteman secercah api unggun kita berbincang.

Siapa sangka jika si bapak itu telah berusia lebih dari enam puluh tahun. Dan ia masih segar bugar turun naik membawa puluhan atau bahkan ratusan kilogram belerang dalam gerobak reotnya. Katanya, semuanya itu dilakukan demi nafkah untuk keluarga. Dari obrolan itu terlihat jelas sorot mata penuh tanggung jawab. Tak terlihat secuilpun sorot mata keluhan atas aktivitasnya itu. Saya mendadak malu dibuatnya. Di usia yang semuda ini saya kadang masih suka mengeluh membopong tas ransel yang hanya beberapa kilogram saja. Sedangkan si bapak yang tiap harinya membawa beban berat belerang dan beban berat kehidupan sama sekali tak pernah mengeluh. Uh, generasi muda macam apa saya ini!

Lalu, saya memulai obrolan baru, yakni soal kesejahteraan. Dan Pak Jo, ia lantas dipanggil demikian, mendadak mengernyitkan dahinya yang tak lagi kencang. Buatnya, kesejahteraan hanya ada di kota-kota saja. Bagi ia sendiri kehidupan sebagai penambang belerang adalah sebuah pilihan sulit satu-satunya yang memang harus ia ambil dan jalani—seperti halnya bapak pemilik warung di Pet Bocor. Jika ada sisi kesejahteraan yang lain yang ia bisa jalani, barangkali ia bakal memilih yang demikian itu daripada harus berjibaku dengan tingginya resiko sebagai penambang belerang. Sekeping rupiah, yang buat kita adalah receh, yang mereka terima tentu saja tak sebanding dengan semua resiko itu.

Pekerjaan yang ia jalani sungguh besar resikonya. Asap belerang yang beracun harus ia hirup setiap harinya. Belum lagi jika harus berhadapan dengan medan distribusi yang berliku panjang, menanjak, dan kadang curam. Jika saya harus ditantang demikian tentu saja saya bakal tidak sanggup. Tapi, buat Pak Jo tak ada pilihan lain selain manut pada suratan nasib. ‘Mau kerja apa lagi, wong saya mampunya kayak gini toh, Mas’. Begitu Pak Jo berujar.

Banyak nasib-nasib yang tidak terperhatikan oleh bangsa ini memang. Kadang pula kita terlalu angkuh mengonsumsi barang-barang yang bahan dasarnya mereka gali dengan susah payah dan penuh resiko itu. Ah, siapa yang mau berpikir ke arah itu. Nyatanya memang kita terlalu sejahtera diatas bukit kemiskinan masyarakat di pelosok ketinggian sana. Lalu, apa makna kesejahteraan yang hakiki di negeri gemah ripah loh jinawi ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun