Belum lama ini Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Bapak Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Perhubungan Bapak Budi Karya Sumadi meninjau lokasi calon pelabuhan baru yang dicanangkan untuk dijadikan International Hub Port (IHP) yang terletak di Batam, tepatnya di kawasan Tanjung Pinggir, Provinsi Kepulauan Riau. Keinginan pemerintah untuk mewujudkan IHP perlu kita apresiasi dan dukung sepenuhnya, mengingat saat ini kondisi logistik (laut) Indonesia masih tertinggal jauh dari negara-negara tetangga kita.
Berdasarkan pemeringkatan Linear Shipping Conectivity Index (LSCI) tahun 2022 yang dikeluarkan oleh UNCTAD, Indonesia berada pada posisi 58 (Q1-2022), merosot sebanyak 18 peringkat dalam satu dekade terakhir ini, dimana tahun 2012 kita pernah menduduki posisi 40, bahkan posisi LSCI Indonesia kalah dengan Singapura, Malaysia, hal ini menjadi memprihatinkan dikarenakan kedua negara tersebut  berada sama dengan Indonesia yaitu di jalur Selat Malaka.
Tak hanya itu saja, rangking Logistic Performa Index (LPI) Indonesia berada pada urutan ke 46, masih tertinggal dari beberapa negara tetangga kita yaitu Singapura (7), Thailand (32), Vietnam (39) dan Malaysia (41). Peringkat LPI ini bisa menunjukan bahwa daya saing ekonomi kita rendah (logsitik), dimana investor yang akan masuk ke Indonesia dipastikan akan mempertimbangkan peringkat LPI dan biaya logistik kita, dimana biaya logistik kita masih cukup tinggi yaitu sebesar 24% dari PDB.
Disisi yang lainnya Indonesia secara nyata memiliki potensi geostrategis dan geopolitik berupa Selat Malaka, yang saat ini menjadi chocke point terpenting nomer tiga didunia dimana 25% perdagangan dunia yang melalui laut (seaborne trade) melintas di selat ini, akan tetapi sampai saat ini secara ekonomi sebagian besar manfaatnya diambil oleh negara tetangga kita (Singapura dan Malaysia). Indonesia diperkirakan baru memperoleh kurang dari 5% manfaat ekonomi di Selat Malaka, padahal Indonesia merupakan negara terpanjang di Selat Malaka.
Ide dan semangat poros maritim dunia yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi pada awal pemerintahaan beliau perlu terus dikawal dan diwujudkan. Semangat ini diwujudkan dengan ditandatanganinya Perpres Nomer 34 Tahun 2022 oleh Presiden Jokowi tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia, namun sayangnya isu transportasi laut tidak menjadi bagian tersendiri sebagai isu strategis, namun masuk dalam isu strategis terkait ekonomi dan infrastruktur kelautan dan peningkatan kesejahteran yang didalamnya hanya menyoroti biaya logistik yang tinggi dan konektivitas/toll laut.Â
Kita berharap banyak bahwa isu transportasi laut (maritim) ini menjadi isu utama strategis dalam mewujudkan poros maritim dunia, kita perlu belajar dari Jepang dan Yunani soal penguasaan secara ekonomi terkait dengan kepemilikan kapal didunia, kita juga perlu belajar dari Malaysia terkait pembangunan pelabuhan transhipment hub-nya yaitu pelabuhan Tanjung Pelapas dan Port Klang (masuk dalam 20 top leading container port, 2020) yang membuat Singapura khawatir pasar transhipment mereka tersedot.
Berdasarkan peluang, potensi, tantangan, permasalahan konektivitas, biaya logistik yang tinggi, dan khususnya merosotnya posisi pelayaran nasional dikancah global sudah selayaknya Indonesia melakukan berbagai langkah-langkah strategis dibidang kemaritiman.
Pertama, Indonesia harus memiliki IHP dimana lokasinya harus di choke point Selat Malaka, hal ini dilakukan selain untuk menangkap internasional transhipment seaborne trade yang melalui Selat Malaka, IHP yang dikembangkan juga akan berfungsi sebagai pintu hub internasional Indonesia dan tempat konsolidasi muatan ekspor-impor Indonesia yang selama ini melalui pelabuhan Singapura dan Malaysia.
Kedua, untuk mewujudkan IHP tersebut perlu dukungan penuh dari seluruh kementerian dan lembaga, swasta dan akademisi. IHP yang dikembangkan dan dibangun harus menjadi sebuah proyek yang ambisius namun tetap terukur/presisi.Â
Belajar dari pembangunan pelabuhan tanjung Pelepas Malaysia yang didukung penuh oleh pemerintah (Perdana Menteri) dan lembaga perbankan di Malaysia yang memberikan fasilitas pinjaman pada awal pembangunan pelabuhan Tanjung Pelapas dengan nilai yang cukup besar serta peran swasta yang diberikan keleluasaan konsesi sekitar 60 tahun untuk mengelola Tanjung Pelepas.