Menurut legenda itu pula, kapal besar Sawerivadi (dalam aksen Kaili), dikisahkan juga terdampar di sebuah wilayah bernama Sambo (sekarang Kecamatan Dolo), sehingga di desa tersebut terdapat sebuah gunung yang bila dipandang dari kejauhan, akan terlihat menyerupai sebuah perahu, masyarakat setempat menyebutnya Bulu Sakaya (gunung perahu). Konon gunung itu merupakan sisa dari kapal kolosal Sawerigading, sementara layarnya konon terlempar ke sebelah timur lembah Palu, yang kini disebut sebagai Bulu Masomba yang berarti gunung yang menyerupai layar.
Sehubungan dengan pementasan Lentera Silolangi, layer-layer lain juga kontras terasa adalah sebuah pengalaman menonton yang reflektif - perasaan mengalami eksistensi diri sebagai manusia secara internal, sebuah siklus hidup yang dimulai dari proses kelahiran hingga kematian. Meskipun terkesan agak sureal, pendekatan dramaturgi dari pertunjukkan teater tersebut terletak pada durasi pertengahan, dengan memuculkan dialog-dialog dari sejumlah tokoh yang dimanifestasikan ke dalam sebuah potret percakapan anggota keluarga di atas sebuah meja makan.
Jika dicermati lebih kritis, kejadian demi kejadian yang dimunculkan di atas panggung pada bagian ini, memang marak terjadi di dalam lingkungan keluarga yang memiliki pola asuh yang buruk, toxic, dan penuh kemunafikan. Seolah  semua anggota keluarga di dalam setting cerita itu secara sengaja enggan memunculkan sisi buruk mereka antara satu sama lain demi menjaga sebuah keharmonisan semu yang hanya terlihat kokoh di permukaan, namun sebenarnya amat rapuh dari dalam.
Menurut pandangan saya, sebagai penonton, kami seolah dituntun untuk menyaksikan cerita pada bagian itu menggunakan sudut pandang orang ketiga. Saya menduga, ide dan gagasan penulis yang diejawantahkan oleh sutradara kemungkinan besar adalah bagian dari respon mereka terhadap kehidupan anggota keluarga zaman sekarang yang terasa kurang intim dengan relasi yang tertutup antara satu sama lain. Â Serba individualis, bahkan terjadi pada yang ranah paling dekat dengan kita, yakni di dalam lingkungan keluarga.
Sementara pada bagian akhir pertunjukkan, penyaji juga mengadopsi sebuah potongan koreo dari gerakan-gerakan ritual Balia, oleh para aktor yang terlihat menutup mata mereka dengan menggunakan kain putih. Mereka kemudian terus menerus menari tanpa henti, diibaratkan sebagai cara mereka untuk menyucikan diri dari dosa-dosa duniawi sebelum akhirnya mereka semua berlayar dalam kematian yang kekal.
Kalian bisa menikmati pertunjukkan Sakaya dengan utuh, melalui :
PRODUKSI SAKAYAÂ