Mohon tunggu...
Nurcholis Darmawan
Nurcholis Darmawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis, Filmmaker, Pegiat Seni dan Literasi

Nurcholis Darmawan, aktif menulis dan berjejaring dalam giat-giat literasi melalui Nemu Buku Palu, aktifitas lainnya dengan mengajar adik-adik Sikola Pomore (Sekolah Alam Berbasis Pengetahuan Lokal) di Kabupaten Donggala dan Kota Palu, terlibat sebagai sutradara dalam film dokumenter Hidup Dengan Bencana, "Timbul Tenggelam" produksi In-docs dan Sinekoci berkolaborasi dengan Sikola Pomore, saat ini rutin juga menulis sebagai jurnalis untuk topik-topik kebudayaan daerah melalui Yayasan Tadulakota.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Seni Menjahit Fragmen-Fragmen Tadulako

15 September 2023   20:39 Diperbarui: 15 September 2023   20:46 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fragmen 1

(Pertunjukkan)

“Secara gramatikal Kaili, “Tadu” artinya tumit atau pijakan. Sementara “Lako” bermakna pelaku atau langkah. Maka secara lengkap “Tadulako” kemudian dimaknai sebagai langkah kaki seorang pemimpin. Oleh karena itu, masyarakat sudah semestinya mengikuti setiap langkah dan aturan yang ditentukan oleh pemimpinnya...”

 

                Gelaran Karya Komunitas Seni Tadulako yang berlangsung di Auditorium Universitas Tadulako pada Sabtu, 12 Agustus 2023, melalui besutan sutradara Edi Subianto yang kemudian berhasil membawa penonton untuk tenggelam ke dalam suasana gamang sekaligus magis. Dengan representasi teater tubuh dan gerak yang secara komposisi keaktoran banyak diperankan oleh orang-orang muda, naskah bertajuk “Tadulako Neolitikum Voice” tersebut ketika diterjemahkan secara harfiah sebagai “Suara Tadulako Periode Batu Muda”, tentu tidak serta dapat terburu-buru disimpulkan begitu saja, minimal silahkan bayangkan dirimu terlempar jauh menuju ruang dan waktu yang amat terasing dari kehidupan modern yang serba praktis seperti yang terjadi saat ini.

Fragmen 2

Ilustrasi zaman neolitikum (libcom)
Ilustrasi zaman neolitikum (libcom)

(Neolitikum)

Kemudian imajinasikan dirimu secara eksistensial hidup se-zaman dengan moyangmu pada periode awal Homo Sapiens, sebagai pelopor terjadinya revolusi kebudayaan manusia beserta lakuan-lakuan khas budaya agrarisnya, meskipun masih dalam level yang sederhana; sebuah peralihan kebiasaan paling mendasar, yakni ketika manusia yang masih dalam tahap meramu (food gathering) lalu kemudian beralih menuju (food producing) atau masa di mana mereka telah mampu memproduksi bahan makanannya sendiri.

Berdasarkan studi dalam berbagai literatur ilmiah, periode neolitikum dapat diidentifikasi melalui penggunaan alat-alat yang berfungsi dalam membantu manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; pada umumnya, material dari berbagai alat manusia, seperti tombak, tungku, dan semcamnya pada zaman itu masih terbuat dari bebatuan yang telah dihaluskan. Sementara dari segi penggunaan pakaian, mereka mengenakan kain kulit kayu dalam melakukan aktivitas keseharian. Lalu pada ciri sosiologis, dapat ditandai melalui kehidupan masyarakatnya yang mulai mengembangkan budaya gotong-royong, membuat aturan hidup bersama, serta memiliki kepercayaan terhadap arwah-arwah.

Membayangkan saja memang butuh bekal referensi yang cukup, selain itu dalam setiap karya seni terdapat pendekatan yang sangat beragam untuk menginterpretasikannya, sehingga riskan untuk menarik sebuah kesimpulan sebelum terlebih dahulu mencermati dengan detail setiap simbolisme yang coba ditawarkan oleh penyaji kepada para penonton. Demi menghindari penafsiran secara tunggal, hadirnya tulisan ini tidak bertendesi untuk menganulir penafsiran penonton lain dalam menikmati sebuah karya seni berdasarkan pengalaman dan imajinasi  yang tentu bisa terasa berbeda antara satu individu, dengan individu yang lainnya.

Tulisan ini justru memberi semacam informasi awal yang sekiranya dibutuhkan untuk menuntun dalam menelaah lebih jauh; buka sekadar teks, melainkan konteks, kesan, sekaligus juga pesan yang justru datang dari sudut pandang penonton itu sendiri. Misalnya informasi ihwal penulis naskah teater tubuh; yang bertajuk “Tadulako Neolitikum Voice” tersebut berasal dari gagasan seorang akademisi, sosiolog, serta budayawan yang akrab dikenal dengan nama Hapri Ika Poigi. Ia merupakan pendiri Komunitas Seni Tadulako yang juga sejak lama terlibat aktif dalam penelitian yang berhubungan dengan masyarakat adat atau giat-giat kesenian. Berangkat dari latar belakang  itulah paradigma dari pendekatan sosiologis-antropolgi akan sangat terasa dari tiap karyanya yang syarat dengan lokalitas.

Informasi semacam ini sekiranya dibutuhkan untuk menuntun penonton dalam memahami kerangka berpikir penulis dalam membangun ide pokok dan narasinya. Terlepas dari itu semua, disebabkan oleh banyaknya paradigma dalam menelaah karya, maka sebaiknya kita berfokus pada suatu nilai dasar yang menjadi tulang punggung pertunjukkan, yakni entitas Tadulako yang eksis di dalam kebudayaan pada hampir seluruh rumpun suku bangsa Austronesia di Sulawesi Tengah, termasuk suku Kaili yang mendiami lembah Palu, Sigi, Donggala, hingga Parigi. Sebab kemampuan menelaah secara kiritis, apalagi menyangkut sebuah peristiwa kebudayaan, merupakan satu dari enam jenis kemampuan literasi dasar lainnya yang kurang begitu populer; literasi kebudayaan dan kewargaan.

 Kembali kita telaah tajuk naskah “Tadulako Neolitikum Voice”, yang menurut hemat saya, selain menandakan konteks zaman, frasa “batu muda” yang dimaksud juga merujuk sebagai metafora. Yang memang, dalam menguraikan sebuah metafora, memiliki tantangan tersendiri, bagi saya yang juga berstatus sebagai penonton, tajuk naskah tersebut tidak hanya mencoba menggambarkan konteks ruang dan waktu pada zaman neolitikum, yang memang justru tidak dijelaskan secara gamblang melalui pendekatan artistik, selain adanya simbol-simbol dari kebudayaan agraris; Vunja (sebuah arsitektur bangunan adat yang berdiri megah, sekitar lima sampai tujuh meter vertikal di tengah-tengah penonton).

Alhasil, terdapat pendekatan alternatif yang juga terasa lebih kontras dalam memahami metafora tersebut, misalnya pada sisi koreografi; menyoal bagaimana para aktor-aktor muda memanifestasi-kan bentuk dan gerak mereka terhadap situasi dan kondisi faktual yang mereka alami di masa sekarang, sejurus dengan semakin berjaraknya generasi muda dengan nilai kearifan lokal yang menjadi kebiasaan leluhur mereka; ritus, upacara adat, tarian tradisional dan semacamnya yang semakin terbelakang oleh produk budaya luar.

Para aktor diperhadapkan dengan relitas sosial dan kebiasaan turun temurun yang kian luntur, namun malah harus memperagakan sikap tubuh yang familiar dengan refleksi ketubuhan leluhurnya. Maka sebenaranya para aktor juga terkesan tidak begitu berbeda dengan kondisi penonton, yang mencoba menerka, sekiranya siapa sebenarnya tokoh sureal yang “datang” dari masa lalu itu, dan lantas diperankan oleh para aktor yang berkelindan di hadapan mereka. Seolah aktor dan penonton diberi ruang yang setara dalam upaya mengimajinasikan tokoh yang sedang dipentaskan.

Berbekal referensi yang menyangkut isi naskah, informasi ketokohan, interpretasi, bedah naskah, proses olah tubuh, dan olah rasa, para aktor terlihat membiarkan tubuh mereka bergerak mengikuti alam bawah sadarnya untuk menemukan sendiri siapa tokoh yang seolah hendak mereka perankan. Sebagaimana muasal kata dari suku “Kaili” yang juga berpangkal dari ungkapan “Noili” yang bermakna “mengalir”, selayaknya air, para aktor kemudian juga bertugas menjadi wadah bagi para tokoh-tokoh imajiner yang berasal dari masa lalu itu agar menyatu dengan hati dan badan mereka.

Fragmen 3

(Dokumentasi Gelar Karya Komunitas Seni Tadulako 2023)
(Dokumentasi Gelar Karya Komunitas Seni Tadulako 2023)

(Tadulako)

Beberapa bentuk kesenian tradisional seperti Raego dan Movunja yang kemudian dikombinasikan dengan bentuk-bentuk lain; eksperimentasi atas perkawinan multidisipliner dari berbagai macam koreo yang eksis pada masa lalu, membentuk pola gerakan yang saling bertaut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh, lalu dipresentasikan secara ritmik sesuai dengan alunan musik, syair, dan alur cerita rupanya adalah simbolisasi dari masyarakat Sulawesi Tengah yang majemuk. Para aktor-aktor muda yang mengeja ketubuhannya sendiri itu lalu merespon situasi yang mereka alami sekaligus napak tilas terhadap perjalanan panjang dari kebudayaan masa lalunya; dalam artian neolitikum sebagai penanda lahirnya budaya ketika para pemipin atau Tadulako yang menjadi pelopor utama dalam proses pembentukan, pertumbuhan, sekaligus penyebaran kebudayaan itu secara masif.

Sehingga penonton yang cermat tentu akan menemukan semacam umpan balik, khususnya pada bentuk dan pola gerak yang terlihat pada bagian-bagian yang terdapat pada durasi awal pertunjukkan. Agaknya sutradara, aktor, dan penulis telah bersepaham untuk menginterpretasikan sebuah “permulaan” yang dimaksud dengan sesuatu yang berhubungan erat dengan simbol-simbol kelahiran; Tadulako.

Fragmen 4

(Dokumentasi Gelar Karya Komunitas Seni Tadulako 2023)
(Dokumentasi Gelar Karya Komunitas Seni Tadulako 2023)

(Mata, Telinga, dan Mulut)


Dimulai dari lahirnya kebudayaan yang mengakar kemudian terus menyebar luas hingga saat ini, tentu tidak lepas dari perjalanan panjang kehidupan yang dialami oleh orang Kaili. Setidaknya konsepsi kepemimpinan dalam Kaili, secara umum dibagi ke dalam tiga periodeisasi; yaitu periode To Malanggai (periode kehidupan yang dipimpin oleh laki-laki yang kuat dan berani), To Manuru (periode kehidupan yang dipengaruhi oleh ruh – ruh leluhur), dan Tadulako (periode kehidupan di bawah kepemimpinan raja – raja). Dalam perkembangannya, ketiga periode ini menginspirasi mereka dalam mengimajinasikan lagi sosok seorang pemimpin.

Menurut sebuah ungkapan Kaili, Tadulako haruslah dapat menjaga mata, telinga, dan mulutnya; “Pakanoto Mata Mangantoaka” (membaca keadaan dengan penglihatan mata kepala, mana yang baik dan yang buruk, semuanya demi perbaikan kehidupan masyarakat), “Pakanasa Talinga Mongepe” (segala sesuatu yang didengar oleh telinga, harus dicermati dengan jelas secara nyata, agar tidak menimbulkan fitnah dan konflik), “Pakabelo Sumba Mojarita” (jangan berkata yang dapat menyinggung perasaan orang lain, menghina, menghujat, dan memfitnah), keseluruhannya merupakan sebuah perangkat nilai yang senantiasa relevan dengan perkembangan zaman, ia serupa bom waktu yang terus menjadi pengingat dalam setiap kondisi, terlebih pada saat berlangsungnya sebuah kontestasi politik.

Fragmen 5

(Dokumentasi Gelar Karya Komunitas Seni Tadulako 2023)
(Dokumentasi Gelar Karya Komunitas Seni Tadulako 2023)

(Syair Kepemimpinan)

“Naratamo Tadulako, Tadulakota...”

(Telah datang seorang pemimpin, pemimpin kita...)

“Heiheee... Manggeni Rara, Mosintomu Mosisani Tona Dea, Kana Mosarara, Mosasampesuvu...” 

(Membawa pesan, untuk saling bertemu dan saling mengenal satu sama lain dengan orang banyak, tetap dengan satu hati dan menjadi satu keluarga).

 

Sebagaimana kata “Tadu” dan “Lako” yang bermakna langkah kaki, melalui pertunjukkan tersebut, terlihat pula para aktor yang menghentak-hentakkan kakinya ke lantai, gerak ketubuhan yang berupaya untuk meresonansikan suara langkah seorang pemimpin yang dirindukan banyak orang, pemimpin yang tegas, adil, dan mengayomi. Kerinduan itu pula yang kemudian diartikulasikan lagi menjadi sebuah syair kepemimpinan. Oleh Komunitas Seni Tadulako, syair itu terus ditradisikan dalam berbagai berbagai peristiwa kebudayaan, seperti pentas-pentas, festival seni, dan pertunjukkan.

Sementara dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Sulawesi Tengah sangat lekat dengan budaya tutur atau tradisi lisan, beberapa bentuk produk budaya yang berkembang diantaranya; Gane, Ndate, Dadendate, Kayori, dan Vaino. Mereka juga sering melantunkan nyanyian-nyanyian sembari duduk-duduk santai di rumah, sawah, atau bersama keluarga, kerabat, dan tetangga bahkan di dalam upacara keadatan atau ritus. Syair kepemipinan yang termaktub di atas merupakan bagian dari ekspresi kerinduan mereka terhadap sosok Tadulako yang pernah mereka dengar dari cerita-cerita leluhur pada masa lampau.

Dalam pertunjukannya, syair kepemimpinan ini dilantunkan dengan diiringi Gimba (gendang), kacapi, dan lalove (seruling panjang Kaili), yang dimainkan oleh topo lalove dan topo kacapi dengan merdu atau dalam alunan yang terdengar menyayat. Bagi mereka yang memahami arti serta menyukai musik tradisi, suasana sakral dan spiritual secara organik dapat dengan mudah terasa. Iramanya beragam, dari yang semula pelan hingga berangsur rancak sesuai ritmenya. Semua itu memiliki simbol tersendiri sehubungan dengan pola kepemimpinan yang ingin disuarakan oleh sosok Tadulako.

Syair kepemimpinan yang dilantunkan dari dataran tinggi, lembah, hingga ke pesisir menjadi simbol bahwa sosok Tadulako memiliki kepekaan dan mau turun ke bawah menemui dan menanyakan kesulitan rakyatnya. Tadulako juga mengayomi rakyatnya yang majemuk dengan disimbolkan oleh beragam alunan musik. Tadulako juga pemimpin yang tegas, keras, serius, dan kuat pendirian dengan disimbolkan oleh teriakan-teriakan para topo (pemain) dan suara gimba yang rancak itu, keras dan menghentak. Meski demikian, Tadulako juga haruslah tetap rendah hati yang disimbolkan oleh suara-suara alunan lalove yang lembut.

Menurut cerita rakyat suku Kaili, dahulu syair-syair kepemimpinan ini dilantunkan dengan vokal raego, sebuah seni tradisi yang disuarakan dari atas dataran tinggi menuju lembah hingga ke pesisir, sambil diselingi teriakan-teriakan yang khas. Teriakan itu bertujuan untuk memanggil saudara-saudara mereka untuk berkumpul, bernyanyi dan menari bersama, salah satunya untuk mengagungkan pemimpin mereka. Ketika bangsa ini masih mengalami krisis kepemimpinan, maka tidak ada salahnya jika kita kembali belajar mengenai kepemimpinan tradisional Kaili; Tadulako.

Fragmen 6

(Dokumentasi Gelar Karya Komunitas Seni Tadulako 2023)
(Dokumentasi Gelar Karya Komunitas Seni Tadulako 2023)

(Vunja)

Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, gelaran ini lekat dengan nuansa kebudayaan agraris atau pertanian, hal itu tercermin melalui kehadiran Vunja yang ditempatkan di tengah, dikelilingi oleh para penonton. Berkaitan dengan kebudayaan masyarakat Lore, Napu, dan Bada yang juga merupakan bagian dari rumpun bangsa Austronesia yang bermukim di dataran tinggi, lokasi dimana sebuah permulaan dari kebudayaan agraris itu berkembang.  

Masyarakat di daerah tersebut memiliki dua nilai pokok yang sampai sekarang masih dipegang teguh, yakni Hintuvua dan Katuvua. Hintuvua merupakan nilai-nilai moral dalam membangun relasi antar sesama manusia dengan berlandaskan cinta kasih, penghargaan, solidaritas, dan musyawarah. Sedangkan, Katuvua adalah nilai-nilai ideal tentang pola hubungan antara manusia dengan lingkungannya yang didasari pada keselarasan pola hidup manusia dengan alam.

Dalam perhelatan Movunja, bangunan adat yang terbuat dari bambu itu, dibentuk sedemikian rupa sehingga bisa digunakan untuk meletakkan hasil panen sambil diiringi tarian Raego. Lalu para tetua adat akan menyanyikan syair-syair yang menggambarkan ucapan rasa syukur dan kegembiraan. Pada perhelatan Movunja, hasil panen diletakkan pada bangunan adat yang disebut dengan Lobo. Tetua adat lalu membacakan doa dan ucapan syukur dalam perayaan Movunja yang merupakan ritus panen yang merepresentasikan kearifan lokal masyarakat dalam mengungkapkan rasa syukur atas panen yang berlimpah tersebut.

Ritual Movunja diawali dengan pembicaraan antara para tetua dengan orang-orang yang berwenang merancang segala kegiatan seputar pertanian, dikenal dengan nama Ntina Ngata. Orang-orang yang tergabung dalam Ntina Ngata adalah mereka yang memiliki pengetahuan tentang ilmu perbintangan, sehingga bisa menjadi pedoman dalam memutuskan berbagai hal yang berkaitan dengan pertanian, pengolahan ladang, dan sawah. Hasil perbincangan para tetua adat dengan Ntina Ngata kemudian disebarkan kepada masyarakat desa. Setelah berita akan dilaksanakannya perayaan Movunja menyebar di masyarakat, kemudian para tetua adat dan Ntina Ngata bertemu kembali untuk menentukan hari dilaksanakannya perayaan tersebut.

Dalam gelaran karya Komunitas Seni Tadulako, ketubuhan entitas Tadulako tidak hanya disimbolkan melalui ketubuhan laki-laki perkasa yang maskulin, refleksi ketubuhan entitas Tadulako yang feminim sebagaimana ketokohan Ntina Ngata yang merupakan tokoh perempuan yang dipercaya oleh masyarakat sebagai pemimpin yang berperan sentral dalam pengatur jalannya Movunja sekaligus menetapkan waktu yang tepat untuk memulai proses menanam padi sesuai ramalan perbintangan.

Oleh karenanya pada gelaran ini refleksi ketubuhan Tadulako yang feminim adalah bagian penting dalam merespon sifat atau nilai ke-tadulako-an, yang terkesan melekat pada gender tertentu, namun Tadulako itu sendiri dapat disematkan bagi siapa saja yang dianggap mempuni, sifat keutamaan yang baik, serta memiliki kemampuan dalam memimpin.

Fragmen 7

(Dokumentasi Gelar Karya Komunitas Seni Tadulako 2023)
(Dokumentasi Gelar Karya Komunitas Seni Tadulako 2023)

(Seni Media Visual)

Gelar Karya Komunitas Seni Tadulako, secara ekstrinsik memiliki kemasan yang menarik, selain terdapat pentas musik dan pameran lukisan yang tersedia pada lokasi yang berbeda di sekitaran kawasan Auditoriom Universitas Tadulako, di dalam ruang pertunjukkan utama, sengaja dibuat agak gelap, dari sana terdapat permainan cahaya dari tembakan proyektor; seni media visual yang menjadi latar pertunjukkan. Hal tersebut kemudian membagi konsentrasi penonton menuju pengalaman menonton yang lain, sekalipun pertunjukkan ini mengangkat spirit tradisional, kesan kontemporer ternyata juga dapat dinikmati melalui desain visual art yang ditawarkan.

Dari segi pembagian ruang, pertunjukkan teater tubuh ini dipisahkan menjadi dua arena, yang pertama adalah panggung dengan letaknya yang lebih tinggi dari penonton, dibayangkan sebagai simbolisasi dari salah satu dari tiga tingkatan alam semesta yang menjadi pengetahuan kosmologi dalam kepercayaan masyarakat Kaili; alam atas (dunia tempat bersemayamnya dewa-dewa), alam tengah (dunia tempat manusia hidup) dan alam bawah (tempat bagi roh-roh halus berpenghuni). Karena letaknya yang agak tinggi, panggung tersebut direpresentasikan sebagai alam atas, sementara lokasi bangunan Vunja yang berdiri di tengah penonton terletak lebih rendah dari panggung, yang kemudian disimbolkan sebagai alam tengah, dunia di mana manusia hidup.

Sebagaimana permulaaan dari kelahiran Tadulako, arena pertunjukkan dimulai dari atas panggung yang dibayangkan sebagai alam atas tempat bersemayamnya dewa-dewa, dengan kata lain Tadulako juga diimajinasikan sebagai manusia langit yang turun ke bumi, sebab setelah beberapa bagian pertunjukkan selesai, para aktor kemudian berpindah tempat dengan gerakan akrobatik menuju lantah bawah panggung yang dibayangkan sebagai alam manusia, dengan mendemonstrasikan beberapa bentuk dan gerakan Raego, masing-masing aktor saat itu berada cukup dekat dengan penonton, memudahkan penonton untuk berinteraksi dengan mereka.

Sehingga secara detail, penonton dapat menyaksikan sepasang tokoh Tadulako dalam ketubuhan laki-laki dan perempuan, mereka mengenakan topeng kerbau. Dalam mitologi Kaili, kerbau seringkali dikaitkan dengan hewan suci yang lekat dengan simbol kekuatan dan kebesaran. Pada bagian akhir pertunjukkan, tokoh Tadulako kemudian memanjat bangunan Vunja hingga mencapai ujung paling atas dari bangunan itu, selanjutnya dari arah panggung sekelompok penyanyi kemudian melantunkan syair-syair kepemimpinan, sementara para aktor lain terus menari di bawah bangunan Vunja, seolah bersukacita untuk mengantarakan Tadulako menuju singgasananya.

Sambil menari mereka mengelilingi bangunan Vunja itu secara bersamaan, diakhiri dengan suara teriakan lantang dari sang aktor yang berperan sebagai Tadulako yang pada saat itu telah berada di puncak bangunan Vunja. Secara tidak sadar, ada perasaan lega di dalam hati saya, entah datang dari mana, olehnya saya merasa terbawa dengan alur cerita,  titik kulminasi. Sebab manusia paripurna telah berhasil mencapai puncak-puncak dari sebuah bangunan peradaban. 

(Penulis : Nurcholis Darmawan)

RIWAYAT CATATAN KAKI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun