Mohon tunggu...
Nurcahyo AJ
Nurcahyo AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembaca setia kompas

Things Left Unsaid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Nikah dan Kawin

1 April 2016   12:31 Diperbarui: 1 April 2016   15:14 5033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya suka tergelitik bila mendengar gurauan dari kawan-kawan saya tentang kata NIKAH dan KAWIN. Berikut daftar gurauan yang saya ingat:

  • Nikah pakai SURAT, kawin pakai URAT. 
  • Nikah pakai RESEPSI, kawin pakai KONTRASEPSI
  • Nikah niatnya untuk saling MENYAYANGI, kawin niatnya itu SALING MENGGERAYANGI.
  • Nikah itu ANUGERAH, kawin itu bikin ANUnya GERAH
  • Nikah hanya butuh TEKAD BULAT, kawin tinggal TELANJANG BULAT
  • Nikah butuh RESEPSI, kawin butuh EREKSI
  • Nikah butuh KETEGASAN, kawin butuhnya KETEGANGAN
  • Nikah artinya komitmen untuk hidup BERSAMA, kawin artinya komitmen untuk BERSENGGAMA
  • Nikah pakai ROTI BUAYA, kawin pakai TANGKUR BUAYA
  • Nikah itu NEKEN (“e”nya dibaca seperti “e” pada kata “ledeng”), kawin itu NEKEN (“e”nya dibaca seperti “e” pada kata “merem”).

 —  Pertanyaan sekarang, benarkah gurauan diatas menjabarkan artinya? bahwa KAWIN lebih mempunyai arti negatif dari NIKAH? atau sebaliknya? 

 — Seorang kawan yang “berusaha” bijak mengatakan “Ah kalian ini gag penting banget sih bahasannya, sesungguhnya NIKAH dan KAWIN itu hal yang sama, tak ada bedanya. Bedanya adalah jika NIKAH itu serapan dari bahasa ARAB, sedangkan KAWIN dari bahasa SANSEKERTA”. benarkah NIKAH dan KAWIN adalah merupakan hal yang sama?

Sebelum saya lebih jauh lagi, ada baiknya saya mengutip kalimat ijab qobul dalam bahasa arab, ayah seorang mempelai perempuan akan memulai akadnya dengan ucapan, 

اَنْکَحْتُكَ وَ زَوَّجْتُكَ مَخْطُوْبَتَكَ بِنْتِيْ .... عَلَی الْمَهْرِ ....

dibaca: ANKAHTUKA wa ZAWWAJTUKA Makhtubataka Binti .... alal Mahri ….

diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “Aku NIKAHKAN engkau, dan aku KAWINKAN engkau dengan pinanganmu puteriku ..... dengan mahar …..”

lalu dijawab oleh mempelai pria

قَبِلْتُ نِکَاحَهَا وَ تَزْوِيْجَهَا عَلَي الْمَهْرِ الْمَذْکُوْرِ وَ رَِضِْیتُ بِهِ وَ اللهُ وَلِيُّ التَّوْفِیْقِ

dibaca: Qobiltu NIKAHAHA wa TAZWIJAHA alal Mahril Madzkuur wa Radhiitu bihi, Wallahu Waliyut Taufiq.

diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “Aku terima NIKAHNYA dan KAWINNYA dengan mahar yang telah disebutkan, dan aku rela dengan hal itu. Dan semoga Allah selalu memberikan anugerah”

Dari dua kalimat diatas, jelaslah bahwa NIKAH dan KAWIN tidak mempunyai arti yang sama. Kata NIKAH tetap diartikan nikah sedangkan kata ZAWWAJ/TAZWIJAHA diartikan dengan kata KAWIN. Andaikata artinya sama kenapa diulang dua kali dalam satu kalimat? bukankah menjadi sebuah kalimat yang sia-sia? Jika anda masih menganggap ini kalimat yang mempunyai arti yang sama, maka saya akan beri contoh kalimat lainnya. “Ibu meminta tolong kepada saya untuk membeli PISANG dan BANANA dari supermarket”. Jadi lucu tokh

Akhirnya, buat saya menjadi MUSTAHIL kata yang “sama artinya” disematkan ke dalam satu kalimat yang utuh. Jika anda masih menganggap NIKAH dan KAWIN adalah kata dengan arti yang sama, maka sudahilah membaca tulisan saya ini, namun jika anda ingin mengetahui lebih jauh, silahkan lanjutkan membacanya.

BAGAIMANA WIKIPEDIA MELIHAT DARI SUDUT ETIMOLOGI?

PERNIKAHAN adalah bentukan kata benda dari kata dasar nikah; kata itu berasal dari bahasa Arab yaitu kata nikkah (bahasa Arab: النكاح ) yang berarti perjanjian perkawinan; berikutnya kata itu berasal dari kata lain dalam bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa Arab: نكاح) yang berarti persetubuhan. — https://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan

PERKAWINAN adalah kata benda turunan dari kata kerja dasar kawin; kata itu berasal dari kata jawa kuno ka-awin atau ka-ahwin yang berarti dibawa, dipikul, dan diboyong; kata ini adalah bentuk pasif dari kata jawa kuno awin atau ahwin; selanjutnya kata itu berasal dari kata vini dalam Bahasa Sanskerta. — https://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan

Kalau anda tidak percaya Wikipedia, coba ambil buku Syarh Shahih karya Imam Nawawi, didalamnya seorang ahli bahasa Arab bernama Al-Fara’ mengatakan “An Nukh” merupakan sebutan yang digunakan untuk KEMALUAN. Al-Fara’ juga menyebutkan jika orang Arab mengatakan “nukah al Mar’atu” itu artinya ORGAN KEWANITAAN dan bila mereka mengatakan “nakaha al mar’ata” itu artinya menggauli organ kewanitaan. Selain Al-Fara’, hal senada dikatakan pula oleh Al Imam Abul Hasan An Naisaburi, Abu ‘Ali al Farisi, dan ahli ahli bahasa arab lainnya, silahkan anda cari sendiri jika anda masih belum percaya.

Supaya lebih singkat maka saya akan mempercepat pembahasan dengan mengambil intisari dari setiap katanya. 

Kata Nikah (serapan dari Bahasa Arab) (kata benda) yang berasal dari kata An Nukh dan mempunyai kata kerja Nakaha berarti, (1) berkumpul/berhimpun (2) berhubungan seksual/sexual intercouse, bersetubuh, menyetubuhi, “dipake” (bahasa gaul anak sekarang).

Di lain sisi kata Zawwaj (ingat tulisan diatas tentang kalimat ijab qobul dalam bahasa arab yang diartikan sebagai kawin/perkawinan) sama artinya dengan berpasangan, menjadi pasangan, menyatu dalam sebuah ikatan resmi. Mempunyai beberapa perubahan bentuk, misalnya Zauj yang artinya pasangan hidup, Zauja artinya istri, Zija yang artinya upacara perkawinan. Dan kalau anda orang Indonesia keturunan Arab, mungkin anda pernah melontarkan pertanyaan seperti, “si fulan sudah zuwaj ya sama si fulana?”. yang dipakai kata adalah kata zuwaj bukan kata nikah. Bisa disimpulkan Zawwaj sama dengan Kawin.

Dari uraian diatas tadi jelas sudah bahwasanya terdapat dua fakta utama, fakta yang pertama — nikah TIDAK SAMA dengan kawin dan fakta yang kedua — nikah ternyata lebih bermakna NEGATIF dibandingkan dengan kawin. Jadi tidak salah jika kita mendikotomikan nikah dan kawin. Hanya saja dikotomi itu justru terbalik dengan jalur mainstream.

Lalu darimana kesalahpahaman ini berasal? Saya rasa tidak pernah ada yang tau pastinya. Dugaan saya, mungkin sama dengan dugaan anda, kita menambatkan kata kawin pada aktivitas seksual yang dilakukan hewan, maka kata kawin kemudian dikonotasikan dengan perbuatan hewani, perbuatan penuh hawa nafsu.

BAGAIMANA PRAKTEKNYA DALAM KESEHARIAN KITA?

Dalam hukum positif kita dikenal adanya UU No. 1 tahun 1974 yakni UU Perkawinan. Awalnya memang UU ini bernama UU Pernikahan, hanya ketika diplenokan sepakat dirubah menjadi UU Perkawinan supaya tidak timbul kesan bahwa UU ini khusus untuk umat islam.

Tapi kenyataannya, karena salah kaprah tadi bahwa kata kawin, kita konotasikan dengan aktivitas seksual hewan maka penerapannya seringkali tidak konsisten. Payung hukumnya sudah dikatakan diatas, memakai nama UU Perkawinan, tapi dalam catatan KUA memakai istilah Buku Nikah, sedangkan di kantor catatan sipil tertulis Akta Perkawinan

Bahkan dalam Kitab Suci Al Qur’an Al Karim, terjemahan Departemen Agama-pun seringkali terlihat tidak konsisten. Contohnya berikut ini:

— Dan kawinkanlah (ankihu) orang-orang yang sendirian di antara kamu, dstnya. (QS. An Nur, ayat 32)

— Maka kawinilah (fankihu) wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, empat, dstnya.. (QS. An Nisa, ayat 3)

— Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, dstnya (alnikaha) (QS. An Nisa, ayat 6)

— Dan janganlah kamu nikahi (tankihu) wanita-wanita musyrik, dstnya.. (Al Baqoroh, ayat 221)

Memang banyak cendikiawan muslim yang mengatakan bahwa nikah itu bisa diartikan dengan kata “kawin” dan kata “nikah” itu sendiri, tergantung situasi dalam ayat di Qur’an. NAMUN tetap saja mereka gagal menjelaskan, kenapa dalam kalimat ijab qobul terdapat dua kata yang sama artinya dalam satu kalimat utuh.

Suatu saat teman saya berkelakar, “kalau begitu kita harusnya membenarkan semua yang salah menjadi kembali seperti semula, artikan nikah dengan ya tetap kata nikah beserta konotasi negatifnya, dan kata kawin harus kita angkat derajatnya karena merupakan perkataan warisan leluhur yang dalam maknanya, kita bisa rubah itu KUA menjadi Buku Kawin instead of Buku Nikah”.

Saya membalasnya dengan menerangkan bahwa ada hal-hal diluar yang semestinya tapi sudah menjadi kebiasaan lebih bijak jika kita biarkan apa adanya, boleh jadi itu sebuah kesalahan, mungkin sekali menjadi sebuah kecacatan, yang jelas kita sudah tau apa arti sebenarnya kan? Coba anda bayangkan betapa repotnya jika kita harus membenarkan semua yang salah. 

Saya beri contoh lain, asal kata Indonesia itu dulunya disebut Hindia Belakang, sementara Hindia Muka adalah Negara India sendiri. Alkisah, orang Eropa terlampau bingung ada dua India, maka disebutlah kita Hindia Belanda karena dijajah Belanda. Tapi itupun masih membingungkan, maka dicarikan nama spesifik yakni Kepulauan Hindia/India (Indian Archipleago) yang kemudian disematkan istilah yunaninya menjadi Hindunesia atau Indunesia, berasal dari Hindus (India) dan Nesos (kepulauan). Kemudian hari seorang ahli etnologi kebangsaan Inggris, George Samuel Windsor Earl, dengan tujuan agar pengucapannya lebih baik maka huruf “e” diganti dengan “o” jadilah INDONESIA seperti nama yang kita kenal.

Padahal dalam berbagai naskah kuno kita, wilayah yang sekarang menjadi NKRI ini lebih dikenal dengan istilah NUSANTARA, kurang lebih artinya sama (tentunya dengan menepikan kata India) – Nusa itu artinya kepulauan sedangkan Antara bermakna rangkaian, jadi Nusantara berarti pula rangkaian pulau-pulau.

Sekarang anda bayangkan kembali, jika inginkan kebenaran semata tentunya kita ingin merubah nama dari INDONESIA menjadi NUSANTARA. Tapi betapa banyak hal yang harus direvisi, minimal lagu kebangsaan kita sudah berubah, kita pun mesti ulang kembali pembacaan Sumpah Pemuda, naskah proklamasi juga tak ketinggalan harus disesuaikan dan seribu problema lainnya.

Kesimpulan dari tulisan saya ini, setidaknya anda bisa menjelaskan apa itu nikah, apa itu kawin dan bagaimana penggunaan yang seharusnya. Lalu pentingkah penjelasan saya ini? jawabnya anda sendiri yang menentukan. (NAJ)

Jakarta, 30 Maret 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun