BAGAIMANA PRAKTEKNYA DALAM KESEHARIAN KITA?
Dalam hukum positif kita dikenal adanya UU No. 1 tahun 1974 yakni UU Perkawinan. Awalnya memang UU ini bernama UU Pernikahan, hanya ketika diplenokan sepakat dirubah menjadi UU Perkawinan supaya tidak timbul kesan bahwa UU ini khusus untuk umat islam.
Tapi kenyataannya, karena salah kaprah tadi bahwa kata kawin, kita konotasikan dengan aktivitas seksual hewan maka penerapannya seringkali tidak konsisten. Payung hukumnya sudah dikatakan diatas, memakai nama UU Perkawinan, tapi dalam catatan KUA memakai istilah Buku Nikah, sedangkan di kantor catatan sipil tertulis Akta Perkawinan.
Bahkan dalam Kitab Suci Al Qur’an Al Karim, terjemahan Departemen Agama-pun seringkali terlihat tidak konsisten. Contohnya berikut ini:
— Dan kawinkanlah (ankihu) orang-orang yang sendirian di antara kamu, dstnya. (QS. An Nur, ayat 32)
— Maka kawinilah (fankihu) wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, empat, dstnya.. (QS. An Nisa, ayat 3)
— Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, dstnya (alnikaha) (QS. An Nisa, ayat 6)
— Dan janganlah kamu nikahi (tankihu) wanita-wanita musyrik, dstnya.. (Al Baqoroh, ayat 221)
Memang banyak cendikiawan muslim yang mengatakan bahwa nikah itu bisa diartikan dengan kata “kawin” dan kata “nikah” itu sendiri, tergantung situasi dalam ayat di Qur’an. NAMUN tetap saja mereka gagal menjelaskan, kenapa dalam kalimat ijab qobul terdapat dua kata yang sama artinya dalam satu kalimat utuh.
Suatu saat teman saya berkelakar, “kalau begitu kita harusnya membenarkan semua yang salah menjadi kembali seperti semula, artikan nikah dengan ya tetap kata nikah beserta konotasi negatifnya, dan kata kawin harus kita angkat derajatnya karena merupakan perkataan warisan leluhur yang dalam maknanya, kita bisa rubah itu KUA menjadi Buku Kawin instead of Buku Nikah”.
Saya membalasnya dengan menerangkan bahwa ada hal-hal diluar yang semestinya tapi sudah menjadi kebiasaan lebih bijak jika kita biarkan apa adanya, boleh jadi itu sebuah kesalahan, mungkin sekali menjadi sebuah kecacatan, yang jelas kita sudah tau apa arti sebenarnya kan? Coba anda bayangkan betapa repotnya jika kita harus membenarkan semua yang salah.