Jam 2.00-an kita sudah sampai di parkiran Paltuding. Sambil menunggu teman lain berkumpul, kami menyempatkan untuk nongkrong di warung. Beberapa gelas jahe dan teh panas di lapak sekitar area parkir, kami pesan untuk sekedar menghangatkan tubuh.Â
Satu persatu kawan berdatangan dan tak lama kemudian lengkap hadir rombongan kami 20 orang. Menjelang jam 03.00, kami bersiap di depan pintu pos pendakian, briefing sebentar, pemanasan ringan untuk menguatkan tekad dan menyiapkan fisik serta berdoa bersama.Â
Tepat jam jam 03.00 pintu pos dibuka, kami serombongan segera memulai perjalanan. Tak banyak rombongan lain yang mendaki karena memang sedang musim pandemi.
Perjalanan kaki dari Pos Paltuding sampai ke puncak Ijen sekitar 3,4 km umumnya dilalui dengan durasi tempuh rata-rata 2 jam tergantung kemampuan fisik masing-masing. Awal pendakian relatif datar, kaki terasa ringan.Â
Ujian fisik dimulai ketika perjalanan sudah menempuh 200 meter dari pintu pos. Medan jalan tanah berpasir dengan track menanjak baru dimulai. Pendakian berkelok dengan beberapa sudut tanjakan mencapai 45 derajat menjadi tantangan bagi pendaki terutama para pemula.Â
Hampir tidak ada lagi jalur yang datar. Kami saling menguatkan untuk tetap semangat menuju puncak. Pada beberapa tempat terdapat shelter untuk beristirahat. Kami sudah sepakat untuk tidak terlalu memaksakan diri bagi yang tidak kuat dan tidak harus bersamaan waktu sampai di puncak.Â
Kami terbagi dalam beberapa rombongan kecil sehingga tidak ada seorangpun yang boleh berjalan sendirian. Sengaja kami tidak menggunakan jasa tour guide karena sebagian besar dari kami telah berulang kali mendaki ke puncak Gunung Ijen ini.
Sepanjang perjalanan pendakian, ada banyak penjual jasa gerobak dorong yang selalu menawarkan kepada pendaki yang tidak kuat. Tarif berkisar Rp 700 sd 800 ribu naik-turun dari Pos Paltuding-Puncak dan kembali lagi ke Pos Paltuding. Aku selalu memotivasi si bungsu, Fikar untuk memecahkan rekor agar kuat naik dan turun tanpa jasa ojek dorong ini.
Pada dua pendakian sebelumya Fikar inilah yang selalu memanfaatkan ojek off line ini. Dua tahun sebelumnya, saat awal kami bertugas di Banyuwangi, Fikar yang saat itu masih kelas 5 SD dari awal pendakian sampai kembali turun sudah merasakan nikmatnya kereta dorong ini karena tidak kuat dengan beratnya medan dan dinginnya malam Gunung Ijen.Â
Bahkan saat di puncak, seakan dia mengalami hipotermia. Badannya menggigil kedinginan, hanya berdiam diri meringkuk tiduran di atas kereta dorong. Untuk diajak bercakap-cakap saja dia enggan bereaksi. Itu yang membuat pendakian pertama kami di Gunung Ijen terasa tidak nyaman.Â
Gairah untuk menuruni kawah dan melihat blue fire yang kata orang fenomenal, hilang, disamping karena memang harus menunggu antrian banyak orang dengan medan terjal menantang. Meski sebetunya kala itu kami sampai di bibir kawah pada saat yang tepat, sebelum masuk waktu subuh.Â