Suara keras alarm dari handphone membangunkanku tengah malam itu. Sengaja kusetel tepat jam 24.00 karena kami sudah janjian untuk berkumpul dengan beberapa kawan pada jam 2 dini hari di pelataran parkir yang biasa disebut Pos Paltuding.
Istri dan anak-anak (Salma, Zulfan dan Fikar) aku bangunin. "Gimana Mi, kuat naik?" tanyaku pada istri karena sebelum tidur mengeluhkan badannya yang agak meriang dan perut terasa mual.Â
"Agak mendingan, Insya Allah kuat. Nanti coba sekuatnya aja", jawab istriku meyakinkanku. Setelah aku merasa yakin dengan kondisinya, aku berganti memastikan kesiapan anak-anak.
Segala persiapan dan perlengkapan untuk naik gunung sudah kami lakukan siang sebelumnya. Persiapan tidak terlalu ribet sebetulnya karena pendakian awal Januari 2021 ini merupakan pendakian yang ketiga bagi kami sekeluarga ke gunung dengan ketinggian 2.386 mdpl ini.Â
Masing-masing telah kami siapkan jaket, penutup kepala, masker, sarung tangan, sepatu/sandal gunung dan senter kepala. Air mineral dan makanan ringan juga sudah masuk dalam tas ransel. Rasanya persiapan sudah seratus persen.Â
Tiket untuk bisa masuk ke Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Ijen telah kami urus jauh-jauh hari dengan menghubungi pengelola. Sejak awal dibuka pada musim pandemi Covid-19, pengunjung tidak bisa lagi membeli tiket langsung di lokasi, hanya bisa dilakukan secara daring (online).
Pengunjung yang biasanya bisa mencapai 500-an semalam, bahkan ribuan orang saat week end, pada masa pandemi dibatasi maksimal 250 orang. Jam buka juga diatur berbeda. Jika sebelum pandemi, pintu masuk mulai dibuka jam 01.00, saat pandemi, pengunjung baru diperbolehkan masuk mulai jam 03.00.
Sekitar jam 01.15-an aku keluarkan mobil dari garasi. Tak lama kemudian, kami berlima berangkat dari rumah di Banyuwangi. Dengan berjalan santai, waktu tempuh kota Banyuwangi ke Pos Paltuding dengan mobil sekitar 1 jam. Aku nyetir tidak terlalu kencang, nyamperin Mas Slamet, driver kantor yang sudah janjian menunggu di Desa Licin dekat rumahnya.Â
Perjalanan dari kota ke puncak Ijen memang pasti melalui Desa Licin. Setiap kami naik ke Gunung Ijen, Mas Slamet inilah yang setia menemani. Setelah kulihat Mas Slamet berdiri menunggu di depan kantor BRI Licin, segera aku menepikan mobil. Kendali kemudi berganti ke Mas Slamet. Aku bisa sedikit santai.
Meski beraspal mulus, jalan menuju ke Pos Paltuding tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk mobil saling berpapasan. Harus hati-hati memang, karena berliku dan banyak tanjakan tajam.
Jam 2.00-an kita sudah sampai di parkiran Paltuding. Sambil menunggu teman lain berkumpul, kami menyempatkan untuk nongkrong di warung. Beberapa gelas jahe dan teh panas di lapak sekitar area parkir, kami pesan untuk sekedar menghangatkan tubuh.Â
Satu persatu kawan berdatangan dan tak lama kemudian lengkap hadir rombongan kami 20 orang. Menjelang jam 03.00, kami bersiap di depan pintu pos pendakian, briefing sebentar, pemanasan ringan untuk menguatkan tekad dan menyiapkan fisik serta berdoa bersama.Â
Tepat jam jam 03.00 pintu pos dibuka, kami serombongan segera memulai perjalanan. Tak banyak rombongan lain yang mendaki karena memang sedang musim pandemi.
Perjalanan kaki dari Pos Paltuding sampai ke puncak Ijen sekitar 3,4 km umumnya dilalui dengan durasi tempuh rata-rata 2 jam tergantung kemampuan fisik masing-masing. Awal pendakian relatif datar, kaki terasa ringan.Â
Ujian fisik dimulai ketika perjalanan sudah menempuh 200 meter dari pintu pos. Medan jalan tanah berpasir dengan track menanjak baru dimulai. Pendakian berkelok dengan beberapa sudut tanjakan mencapai 45 derajat menjadi tantangan bagi pendaki terutama para pemula.Â
Hampir tidak ada lagi jalur yang datar. Kami saling menguatkan untuk tetap semangat menuju puncak. Pada beberapa tempat terdapat shelter untuk beristirahat. Kami sudah sepakat untuk tidak terlalu memaksakan diri bagi yang tidak kuat dan tidak harus bersamaan waktu sampai di puncak.Â
Kami terbagi dalam beberapa rombongan kecil sehingga tidak ada seorangpun yang boleh berjalan sendirian. Sengaja kami tidak menggunakan jasa tour guide karena sebagian besar dari kami telah berulang kali mendaki ke puncak Gunung Ijen ini.
Sepanjang perjalanan pendakian, ada banyak penjual jasa gerobak dorong yang selalu menawarkan kepada pendaki yang tidak kuat. Tarif berkisar Rp 700 sd 800 ribu naik-turun dari Pos Paltuding-Puncak dan kembali lagi ke Pos Paltuding. Aku selalu memotivasi si bungsu, Fikar untuk memecahkan rekor agar kuat naik dan turun tanpa jasa ojek dorong ini.
Pada dua pendakian sebelumya Fikar inilah yang selalu memanfaatkan ojek off line ini. Dua tahun sebelumnya, saat awal kami bertugas di Banyuwangi, Fikar yang saat itu masih kelas 5 SD dari awal pendakian sampai kembali turun sudah merasakan nikmatnya kereta dorong ini karena tidak kuat dengan beratnya medan dan dinginnya malam Gunung Ijen.Â
Bahkan saat di puncak, seakan dia mengalami hipotermia. Badannya menggigil kedinginan, hanya berdiam diri meringkuk tiduran di atas kereta dorong. Untuk diajak bercakap-cakap saja dia enggan bereaksi. Itu yang membuat pendakian pertama kami di Gunung Ijen terasa tidak nyaman.Â
Gairah untuk menuruni kawah dan melihat blue fire yang kata orang fenomenal, hilang, disamping karena memang harus menunggu antrian banyak orang dengan medan terjal menantang. Meski sebetunya kala itu kami sampai di bibir kawah pada saat yang tepat, sebelum masuk waktu subuh.Â
Akhirnya kuputuskan, tanpa menunggu terbitnya sang fajar, kami turun menyusul Fikar yang sudah duluan turun bersama bapak-bapak penarik kereta dorong. Kami hanya bisa mengabadikan moment sepanjang perjalanan turun.
Pada pendakian kedua di akhir Desember 2019, suasana lebih mengasyikkan. Suhu udara yang dingin, kantuk dan lelah tidak kami rasakan. Yang terbayang hanya indahnya pemandangan danau di kawah Ijen.Â
Kami sekeluarga sukses sampai di puncak melewati tantangan jalur pendakian tanpa bantuan jasa ojek kereta dorong. Namun demikian, kita tidak ada niat untuk melihat blue fire.Â
Di sekeliling bibir kawah sudah banyak para pendaki berjubel. Untuk melihat danau di kawah Ijen juga sulit karena berkabut. Kami hanya puas dengan melihat pemandangan puncak dan mengabadikan panorama dengan kamera. Lumayan, banyak jepretan yang layak tayang di instagram kami dapat.Â
Saat turun, Fikar merengek minta naik ojek kereta. Aku berusaha memotivasi agar dia kuat hati sekaigus kuat kaki tak tergoda tawaran jasa transportasi dorong itu. Tapi dia tetap tegar pendirian untuk turun dengan jasa kereta ini.Â
Fikar merayuku agar diperbolehkan menggunaka jasa ojek dorong. Dan yang menohok di hati, adalah ucapannya,"Dah, pakai uangku wis lah Bi". Sambil tersenyum kecut, dalam hati aku berkata, "Emang ayahmu gak kuat bayarin ojek dorong". Akhirnya kubolehkan dia turun dengan bantuan jasa kereta dorong ini.
Pendakian ketiga kali ini terasa istimewa. Pertama, seolah kami berpamitan sebagai pengakhiran masa tugas setelah dua tahun berdinas di Kabupaten pada ujung Timur Pulau Jawa ini. Seperti awal pada saat kedatangan saya sowan berkunjung ke Gunung Ijen, di akhir pun saya kembali mengunjungi puncak gunung ini. Datang nampak muka, pergi nampak punggung. Keistimewaan kedua, kami puas dengan eksotisme pemandangan danau kawah dan puncak Gunung Ijen meski lagi-lagi tidak bisa melihat fenomenalnya si api biru, blue fire.Â
Dengan durasi pendakian dua jam, jika mulai pendakian jam 03.00, sampai puncak Ijen, pasti fajar sudah mendahului. Sedangkan api biru hanya bisa terlihat jika suasana masih gelap.Â
Di samping itu, sejak masa pandemi, para pendaki tidak diperbolehkan menuruni kawah. Tapi kami cukup puas, berlama-lama kami berada di puncak. Banyak spot lokasi yang sungguh indah, memanjakan mata dan instragamable. Sayang kalau dilewatkan.Â
Kunjungan pamitan dengan Puncak Ijen ini benar-benar kunikmati. Setiap jengkal tempat, hampir tak tersisa kami jadikan latar jepretan kamera. Cuaca cerah, hembusan angin yang stabil dan hirupan nafas yang segar menambah nikmatnya kurnia Sang Maha Kuasa.Â
Kopi dan nyamilan terasa lezat tak terkira. Sesekali hembusan udara yag membawa bau belerang justru menjadi bumbu perasa. Keistimewaan ketiga, dalam pendakian  ini, kami sekeluarga sukses dalam pendakian tanpa bantuan ojek kereta dorong.
Keceriaan terlihat dari semua teman pada saat turun sampai kembali di pos Paltuding. Lelahku tuntas terbayarkan. Tak bosan rasanya jika kelak bisa mengulang sowan ke Mbah Ijen, untuk memanjakan mata menjelajah panorama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI