Mohon tunggu...
Nuraziz Ummu Hanifah
Nuraziz Ummu Hanifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

make things happen

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Aplikasi Kaidah Fiqiyyah Al Masaqoh Tajlibu Al Taisir dalam Fatwa DSN MUI

17 November 2023   14:27 Diperbarui: 22 November 2023   22:59 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aplikasi Kaidah Fiqhiyyah Al Masaqoh Tajlibu Al Taisir Dalam Fatwa DSN MUI

Kaidah Fiqhiyyah Al Masaqoh Tajlibu Al Taisir menunjukkan bahwa agama Islam memberikan kelonggaran dalam situasi-situasi sulit atau keadaan yang memerlukan penyesuaian terhadap hukum-hukumnya. Fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) seringkali menggunakan prinsip-prinsip kaidah fiqhiyah, termasuk "Al-Mashaqoh Tajlibu al-Taysir", dalam menyusun fatwa-fatwa mereka. Fatwa-fatwa ini biasanya mempertimbangkan kondisi nyata yang dihadapi oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari, seperti masalah ekonomi, keuangan, kesehatan, dan lain sebagainya. Prinsip kelonggaran dalam agama Islam ini diterapkan dengan mempertimbangkan keadaan yang dihadapi individu atau masyarakat. Misalnya, dalam masalah keuangan, terdapat kelonggaran dalam hal riba ketika seseorang menghadapi kesulitan finansial yang signifikan atau dalam hal pengobatan, ketika terapi medis yang diperlukan bertentangan dengan aturan tertentu, kelonggaran bisa diberikan. Namun demikian, dalam penerapan kaidah ini, para ulama juga memperhatikan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Tidak semua kesulitan dapat menjadi alasan untuk melanggar hukum agama.

Kaidah fiqhiyyah "Al-Mashaqoh Tajlibu al-Taysir" adalah prinsip dalam hukum Islam yang menekankan pada kemudahan, keringanan, dan upaya untuk mempermudah dalam menjalankan aturan atau hukum Islam ketika individu menghadapi kesulitan atau kesulitan dalam melaksanakannya. Secara harfiah, "Al-Mashaqoh" berarti kesulitan atau kesusahan, sementara "Tajlibu" berarti mendatangkan atau menyebabkan, dan "Taysir" berarti kemudahan. Jadi, kaidah ini mencerminkan prinsip bahwa dalam syariat Islam, kesusahan atau kesulitan itu dapat menjadi dasar untuk mendatangkan atau menyebabkan kemudahan.

Prinsip ini diterapkan dalam situasi-situasi di mana individu atau umat Islam menghadapi kesulitan yang dapat menghambat atau membuat sulit untuk melaksanakan kewajiban agama. Namun, penerapan kaidah ini tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok agama atau menimbulkan kerusakan pada prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Oleh karena itu, kelonggaran atau kemudahan yang diberikan dalam penerapan kaidah ini haruslah sesuai dengan tujuan syariat dan tidak melanggar prinsip-prinsip dasar dalam agama Islam. Dalam fatwa Islam, kaidah "Al-Mashaqoh Tajlibu al-Taysir" dapat digunakan sebagai landasan untuk memberikan panduan yang lebih fleksibel atau kelonggaran dalam situasi-situasi di mana individu menghadapi kesulitan dalam menjalankan aturan-aturan agama, tetapi tetap dalam koridor syariat yang telah ditetapkan. Kaidah Al Masaqoh Tajlibu Al Taisir terdapat dalam beberapa fatwa DSN MUI, antara lain :

Aplikasi Kaidah Al Masaqoh Tajlibu Al Taisir dalam Fatwa DSN MUI No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang KONVERSI AKAD MURABAHAH

Fatwa DSN MUI No. 49/DSN-MUI/II/2005 adalah fatwa yang mengatur mengenai konversi akad murabahah. Dalam fatwa tersebut, terdapat penerapan kaidah al-Masaqoh tajlibu al-Taisir yang menjadi dasar penetapan hukum. Prinsip ini menekankan bahwa dalam situasi tertentu, hukum Islam akan memperbolehkan kemudahan atau keringanan bagi umat. Hal ini sejalan dengan tujuan syariat Islam yang memberikan kesejahteraan bagi umat.

Aplikasi Kaidah Al Masaqoh Tajlibu Al Taisir dalam Fatwa DSN MUI Nomor: 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang PENGALIHAN UTANG

Fatwa DSN MUI Nomor 31/DSN-MUI/VI/2002 mengenai pengalihan utang membahas mekanisme dan ketentuan-ketentuan terkait transfer atau pengalihan utang. Dalam hal ini, kaidah al-Masaqoh tajlibu al-Taisir dapat diartikan sebagai landasan untuk memberikan kemudahan atau solusi dalam pengalihan utang, terutama dalam situasi-situasi yang memerlukan fleksibilitas dan penyelesaian yang efisien asalkan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.

Aplikasi Kaidah Al Masaqoh Tajlibu Al Taisir dalam  Fatwa DSN MUI NO: 61/DSN-MUI/V/2007 tentang PENYELESAIAN UTANG DALAM IMPOR

Fatwa DSN MUI No. 61/DSN-MUI/V/2007 membahas penyelesaian utang dalam konteks impor. Dalam hal ini, kaidah al-Masaqoh tajlibu al-Taisir dapat menjadi pertimbangan penting dalam memberikan kemudahan atau solusi dalam penyelesaian utang, terutama dalam transaksi impor yang melibatkan utang dengan mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan yang dihadapi dalam transaksi impor.

Aplikasi Kaidah Al Masaqoh Tajlibu Al Taisir dalam   Fatwa DSN MUI NO: 79/DSN-MUI/III/2011 tentang QARDH DENGAN MENGGUNAKAN DANA NASABAH

Fatwa DSN MUI No. 79/DSN-MUI/III/2011 membahas penggunaan dana nasabah untuk pemberian qardh (pinjaman tanpa bunga). Dalam konteks ini, kaidah al-Masaqoh tajlibu al-Taisir dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk memberikan kemudahan kepada nasabah atau masyarakat dalam mendapatkan pinjaman yang dibutuhkan tanpa adanya bunga. Dalam konteks pemberian qardh menggunakan dana nasabah, prinsip ini bisa diaplikasikan dengan memberikan kemudahan akses kepada nasabah untuk mendapatkan pinjaman tanpa adanya bunga atau tambahan biaya yang tidak seharusnya dengan syarat tertentu.

Penerapan kaidah fiqih "Al-Mashaqoh Tajlibu al-Taysir" dalam fatwa DSN mengenai berbagai aspek keuangan, seperti konversi akad murabahah, pengalihan utang, penyelesaian utang dalam impor, qardh dengan menggunakan dana nasabah, menunjukkan upaya untuk memberikan kelonggaran atau kemudahan kepada individu atau entitas yang menghadapi kesulitan keuangan. Upaya untuk memberikan kelonggaran atau kemudahan bagi individu atau entitas yang menghadapi kesulitan keuangan, sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang berlaku. Namun, penting untuk memastikan bahwa kelonggaran yang diberikan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip utama agama dan tidak menimbulkan kerugian atau ketidakadilan bagi pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.

Nuraziz Ummu Hanifah

Akuntansi Syariah

STEI SEBI

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun