Mohon tunggu...
Nuraziz Widayanto
Nuraziz Widayanto Mohon Tunggu... lainnya -

belajar menulis apa saja sambil minum kopi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Alangkah Lucunya Negeri Ini, Jangan Lupa Baca Bismillah

8 Desember 2010   01:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:55 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih mempertahankan membuat catatan-catatan film dalam keadaan terlambat. Selain karena saya terlambat menonton, saya seringkali ingin melihat 'gema' film tersebut. 'Gema' yang saya maksud adalah sebuah pengendapan dari sebuah karya yang bernama film dalam diskursus publik. Film sebagai sebuah karya intelektual mempunyai sebuah daya yang mendorong kebiasaan atau penciptaan diskursus baru atau sebuah garis bawah tebal terhadap hal-hal yang terjadi dalam masyarakat. Tiga hal tadi bertolak pada 'kecenderungan' berkarya dalam dunia film, impulsif (hanya sebagai reaksi atas apa yang terjadi dan seringkali mudah basi), kontemplatif (perenungan mendalam dan biasanya melahirkan tawaran pemikiran baru) dan Afirmatif (peneguhan terhadap sebuah nilai atau sebagai corong sesuatu atau propaganda).

Semalam saya menonton Alangkah Lucunya Negeri Ini (ALNI) di TV. dan akhirnya saya tergerak untuk membuat sebuah review. Film ini diputar di SCTV dan head to head dengan the banquet di indosiar, king kong di trans TV dan Pangeran untuk bu guru, sebuah FTV di RCTI. mengapa head to head ini saya paparkan? ini hanya sekedar ilustrasi betapa saya bisa terdistraksi sedemikian mudah dan memilih untuk ganti chanel dibeberapa bagian film ALNI. Film ini sangat impulsif dan penilaian pertama saya adalah film ini salah judul. Mas Musfar Yasin seharusnya memberi judul Alangkah Lucunya Jakarta. Hampir semua setting adalah Jakarta dan fokus konflik adalah kemiskinan kota. Saya berpindah chanel di bagian Haji Slamet (diperankan Slamet Rahardjo), Makbul (diperankan oleh Dedy Mizwar) dan Haji Sarbini (diperankan oleh Jaja Miharja). Tiga trio senior ini menurut saya bermain ‘aman’ tanpa sebuah tawaran baru yang istimewa. Permainan aman ini mungkin karena dialog yang memang sengaja dibuat seperti khotbah. Jadi saat saya ketinggalan di bagian-bagian mereka bertiga, saya masih bisa menyimak cerita.

Antara Kritik dan Khotbah

ALNI sarat dengan kritik terhadap pendidikan dan korupsi. Keduanya diwakilkan pada kawanan copet dibawah perlindungan Jarot. Diawali dari pertemuan Muluk dan Komet. Muluk yang menangkap basah Komet saat menyopet. “orang kerja keras mendapatkan uang dan saya kerja keras untuk mendapatkan pekerjaan, dan kamu copet begitu saja. Ini melukai hati saya” begitu ucapan yang terlontar (tidak persis seperti itu, tapi kira-kira begitu) dari mulut Muluk pada Komet. Jawaban komet, “Saya pencopet bang!”. Dari sini cerita bergulir dengan rapi melalui diskusi Makbul dan Haji Sarbini tentang pendidikan yang tidak penting dan pendidikan itu penting. Mas Musfar Yasin, sang penulis skenario, mengawali kritik terhadap pendidikan yang direduksi menjadi problem sebuah buku. Hal ini tercermin dalam adegan Muluk yang dikritik habis-habisan sebagai sarjana manajemen oleh seorang boss yang menerapkan semua metode dari buku-buku manajemen tapi tidak bisa menyelamatkan perusahaannya. dan memang pendidikan tak hanya buku.

Film ALNI seterusnya bergerak membentangkan sebuah tesis : pendidikan tidak perlu lembaga yang penting adalah landasan moral. Pendidikan tanpa landasan moral hanya akan membuat para pencopet menjadi pintar dan bisa menyopet yang lebih besar, atau menjadi koruptor. Selanjutnya kritik demi kritik (mungkin lebih tepat dibaca sindiran) menjadi bumbu utama. Halal Haram, Enterprenership, Praktek sogokan, Nasionalisme, Agama, Ekonomi dan Bank Syariah bercampur menjadi menu yang seharusnya membuat neg tapi cara pemfilman Dedy Mizwar menjadikan menu yang neg ini bisa menjadi fresh.

ALNI khusunya Deddy Mizwar sepertinya ingin melanjutkan ‘tradisi’ copet menyopet. Dari film Naga Bonar, isu copet ini masih menjadi inspirasi. Sejenak saya bertanya-tanya dalam hati, ada apa dengan copet? Tapi segera saya tepiskan bagaimanapun juga mencuri adalah hal dasar dalam peradaban. Orang bisa mengatasnamakan apa saja untuk mencuri. Termasuk demi rakyat.

Begitu banyak yang ingin dikatakan (tepatnya mungkin dipertanyakan) oleh Mas Musfar Yasin dalam plot yang begitu cepat. Dan selanjutnya seperempat plot terakhir membahas halal dan haram. Muluk yang mengelola 10 persen uang pencopet dibantu Pipit (diperankan Tika Bravani) dan Syamsul (Asrul Dahlan) akhirnya harus berhadapan dengan Makbul dan Haji Slamet yang sangat menentang usaha Muluk dan melabelinya haram. Ini adalah antiklimaks.

Antiklimaks yang klimaks

ALNI sebenarnya sangat tepat saat menyasarkan kritik pada dunia pendidikan Indonesia. Tepatnya pada sistem lembaga pendidikan. Dalam sejarahnya, sistem pengajaran yang kemudian terlembagakan selalu mempunyai satu masalah, sistem yang berjarak. Dengan menjadi sebuah lembaga, pendidikan akan berjarak. Ada penguasa kebenaran dan siswa adalah ‘penerima’ kebenaran. Jika laskar pelangi sangat peduli dengan lembaga, ALNI sangat berbeda dan memperluas pemikiran bahwa pendidikan itu penting dan tak hanya tentang keformalan sebuah lembaga. ALNI dengan sangat menyentuh melalui visual-visualnya memberikan sebuah gambaran kedekatan antara guru dan murid. Namun sayang, kesuksesan hasil pendidikan itu hanya tergambar dalam Pendidikan Pancasila dan Agama. Tapi tak apa menurut saya, ALNI dengan tepat menggambarkan persoalan pokok dari nasionalisme, bentuk negara dalam kepala warga negaranya. Tentang agama yang dijamin oleh undang-undang dan tidak perlu pake ribut, “ini negara bebas men” begitu kata Komet. Juga tentang lagu Indonesia Raya yang kemudian diakhiri dengan “amiiiiin”. Semua identifikasi yang sangat tepat sasaran bahwa Indonesia Raya masih dalam perjalanan. Dan ini adalah klimaks.

Namun klimaks menjadi antiklimaks saat kemudian semua dibenturkan pada halal dan haram. Proyek Muluk tentang pendidikan ini telah membuat Pipit dan Syamsul mempunyai eksistensi dan merasa bermanfaat bagi masyarakat tapi eksistensi ini menjadi nothing dihadapan halal dan haram. Jakarta juga pernah dibangun dengan perjudian. Pembelaan Syamsul “hanya uang transport, dosanya kecil, tak apalah”. Kata Pipit, “Saya sudah dewasa pak, jadi semua tindakan saya akan menjadi tanggung jawab saya”. Haram adalah harga mati buat Haji Slamet dan Makbul. Label haram membuat semua usaha terhenti.

Komet dan kawan-kawan akhirnya mengasong, Pipit kembali pada kegiatannya menonton kuis dan ikut kuis, Syamsul kembali bermain gaple dan Muluk belajar nyetir mobil untuk menjadi TKI. Komet yang mengasong pun masih dikejar-kejar pamong praja, “kan koruptor tidak mengganggu jalan”. Ah antiklimaks inipun menjadi klimaks.

Dan terakhir, di segala riuh sindiran, dialog dan khotbah, ALNI penuh visual cantik yang berbicara banyak tentang kemiskinan kota. Riuh modernitas dengan semangat rasionalitas kembali berbenturan dengan segala tingkah yang sangat tidak rasional. Semua visual di pasar, ramal, obat dan copet adalah sebuah potret modernitas di Indonesia yang sangat miris. Segala hormat pada Mas Musfar Yasin, Pak Deddy Mizwar dan Mas Yudi Datau yang merencanakan semua visual cantik nan satire ini.

Sebagai penutup tulisan ini, satu adegan yang sangat saya ingat adalah bapak tua penjual kopi yang selalu bilang, “jangan lupa baca bismillah” saat menyuguhkan kopi pada pembelinya. Mungkin saja kopinya tidak dari air yang sehat hingga sangat ber-resiko jika meminumnya atau mungkin saja dengan membaca Bismillah semua yang haram menjadi halal kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun