Mohon tunggu...
Nuraziz Widayanto
Nuraziz Widayanto Mohon Tunggu... lainnya -

belajar menulis apa saja sambil minum kopi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kerikil

21 Oktober 2010   07:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:14 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Serangkai mimpi telah terjadi dalam hidup Gina. Semua rangkaian mimpi yang semula dia harapkan akan membahagiakannya. Dimulai dari mimpi untuk hidup bersama seorang Dayan. Kemudian mempunyai dua putra putri yang lucu. Lulus dengan jaminan pekerjaan yang membuatnya mendapatkan eksistensi. Hubungan harmonis keluarga. Semua serba membahagiakan. Namun ada gangguan kecil dalam kebahagiaannya yaitu ketika dia bertemu seorang bernama Tahta. Orang yang sangat dingin, sendirian seumur hidup dan selalu penuh bau rokok.

“Tak bisakah kau bersikap baik pada semua orang? Tak bisakah kau memberikan senyum pada semua orang? Aku lelah dengan sikapmu.”

Gina tampak gusar ketika setengah jam ini dia tidak perhatikan. Tahta, seorang partner dalam bekerja yang hampir tidak pernah bicara dan selalu, Tahta menjawabnya dengan hembusan panjang asap rokok. Gina tidak habis pikir, kenapa orang ini bisa diterima bekerja.

“Orang-orang seperti kalian selalu memasang senyum tak berarti. Aku bekerja tidak dengan hati.”

Kali ini Tahta berbicara. Gina mencoba mendengarkan dan memberi kesempatan pada Tahta untuk kembali bicara namun sia-sia, Tahta kembali bekerja. Gina hanya bengong melihat itu. Kembali tidak habis pikir apa yang membuat Tahta di terima di kantor ini. Dan beberapa saat kemudian Tahta sudah menyerahkan setumpuk kertas pekerjaannya.

“semua sudah selesai termasuk pekerjaanmu. Semua catatan ada disitu. Email aku jika ada apa apa”

Gina mencoba memeriksa, dalam hati dia memuji pekerjaannya. Rapi dan sangat detail. Konsep dan client brief benar-benar sinkron. Ketika Gina ingin mengucapkan terima kasih, Tahta sudah menghilang.

***

“Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Semuanya saling mengisi. Semua prinsip hidupmu mengherankan aku.”

“Mesin tidak butuh saling mengisi. Ketika kita bekerja, ya sudahlah, nggak usah cerewet.”

Gina benar-benar tidak mengerti. Tahta telah menghabiskan energinya. Walau semua pekerjaannya benar-benar terbantu namun Gina sudah terlanjur tidak simpati. Rasa yang benar-benar menghabiskan hatinya.

“Sudahlah, nggak usah terlalu difikirkan orang-orang menyebalkan seperti itu.”

Dayan mengecup kening istrinya. Gina hanya tersenyum, suaminya memang selalu bisa menenangkannya. Namun kepalanya sudah terlanjur penuh dengan sikap negatif Tahta.

***

“Ada dua hal kenapa manusia selalu ingat pada manusia lainnya, satu kebaikan dan yang kedua keburukan. Kebaikan selalu tidak lama dalam ingatan, tetapi hal-hal yang tidak baik selalu lama tertanam dalam jiwa. Aku ingin selalu diingat oleh teman-temanku walau kebanyakan hal-hal yang menyebalkan. Semua bonus pekerjaan ini telah aku transfer ke rekeningmu. Aku akan ke Tibet, tempat yang selama ini aku inginkan. sampai jumpa lagi. Tahta.”

Satu note yang benar-benar membuat Gina terguncang. Benarkah kebaikan tidak lama dalam ingatan? Sore ini Gina mencoba mengingat kembali perjalanan hidupnya yang bahagia. Dia masih ingat semua kebaikan seluruh keluarganya. Dan ketika dia melihat teman-teman kantornya, dia mencoba mengingat satu demi satu wajah ini dan benar wajah Tahta adalah wajah yang paling diingatnya. Gina mencoba membanding-bandingkan, memang bekerja dengan Tahta sangatlah ringan. Semua selesai di tangan Tahta. Ringan tangan tanpa bicara dan tidak pernah tersenyum, benarkah? Ah Tahta pernah tersenyum, iya Tahta pernah tersenyum.

“Sudahlah, nggak usah terlalu difikirkan orang-orang menyebalkan seperti itu.”

Gina tiba-tiba tidak tenang ketika ingat kata-kata suaminya. Gina merasa kata-kata suaminya terlalu kasar untuk Tahta. Namun Gina segera menepisnya, “Ah dia sekedar menenangkanku”. dari tempat duduknya Gina memperhatikan mertuanya. Sore ini mertuanya berkunjung.

“Si inah itu selalu teledor ya. Tidak sembuh-sembuh penyakitnya”

Gina mencoba tersenyum mendengar omelannya. Senyum yang masam. Inah adalah pembantu terbaiknya selama ini. Kebahagiaan sore ini seperti berubah semu. Gina memilih untuk pamit ke kamarnya.

“Terima kasih atas gangguan kecilmu, hati-hati sahabat. kerikil kecilmu akan selalu ku simpan. Semoga damai di Tibet. terima kasih.”

SMS Gina terkirim. Dipandangi foto suaminya. “aku akan selalu mengenang kebaikanmu.” Ucapnya lirih. kerikil kecil ini tidak akan mengganggunya lagi.

*sekedar cerpen lawas. membaca kembali tulisan sendiri kadang bisa menenangkan hati. mari ngopi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun