Mohon tunggu...
Nur Puji Astiwi
Nur Puji Astiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - 🦋

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Hujan yang Berbeda

21 Januari 2022   12:43 Diperbarui: 21 Januari 2022   12:55 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga Hujan yang Berbeda

Sore hari dengan suasana yang sejuk ditemani rintikan kecil sisa hujan di siang hari. Aku memasuki sebuah Kedai kopi yang tidak terlalu ramai tetapi kenyamanan selalu ada. 

Sengaja aku datang sebelum malam hari menghindari bising keramaian sesekali memaksimalkan waktu menikmati novel dengan segelas kopi. 

“Mas, seperti biasa ya.” Pesanku. “Siap.” Salah satu Barista menjawab dengan senyum dan mengacungkan jempol. Perpaduan antara warna putih dan coklat pada kedai kopi, dengan lantai kayu yang mengkilap serta harumnya aroma kopi-kopian seakan menghampiri ke tempat dimana aku duduk, lalu-lalang kendaraan diantara pohon-pohon yang bediri pada tepian jalan, dan pemandangan asri itu memang pantas aku nikmati dari jendela kaca yang berada tepat di sampingku. 

Barista berbadan tinggi ideal, berambut gondrong yang tidak melebihi bahu, biasanya rambut itu dibiarkan terurai sekarang tampil berbeda, rambunya diikat dan mengenakan celana jeans dengan atasan kaos hitam di balik apron coklat dari kulit yang menempel di badannya, melangkahkan kaki menuju mejaku dan semakin dekat, benar dia yang mengantarkan pesananku. 

“Coffee latte?” Tanya Barista itu dengan menyodorkan kepadaku satu gelas coffe latte yang dilengkapi piring cawan kecil. “Ya, tepat sekali.” Jawabku. Bukan pertama kalinya aku mengunjungi Kedai kopi ini, tetapi pertama kalinya dia yang mengantarkan pesanan ke mejaku. 

Dan pertama kalinya aku melihat dia mengantarkan pesananan ke meja pembeli, yang biasanya itu adalah pekerjaan temannya yang tengah berdiri di meja kerja dengan senyum tipis dan mengarahkan pandangan menuju pada Barista berambut gondrong ini. Barista berambut gondrong yang diikat ini menatap dengan senyum sembari menarik kursi untuk dia duduk. 

“Masih kuliah?” Tanya dia, dengan menyingkirkan hiasan kecil vas beserta bunganya yang tepat berada di depanku. “Iya.” Aku kembali membaca novelku. “Semester?” Dia bertanya lagi sembari menutup buku novel yang aku baca. “Empat.” Jawabku dengan menatap heran karena tingkah anehnya. 

“Ben.” Dia tersenyum dan mengulurkan tangan kearahku mengajak bersalaman. Aku semakin kebingungan dengan tingkahnya dan pelan mengulurkan tanganku untuk bersalaman dengannya. Belum sampai aku mengatakan siapa namaku, dia kembali berbicara. 

“Ohh kita selisih satu tahun, aku semester enam. Aku lihat, kamu sering kesini, oh iya, siapa namamu?”. “Rania.” Jawabku singkat.

Gia yang sedari tadi fokus mendengarkan ceritaku saat pertama mengenal Ben tanpa bersuara, seketika dia bertanya “Kamu merindukannya?

Aku terdiam beberapa saat sembari melangkah ke arah jendela melihat hujan, aku menjawab sembari bercerita lagi “sangat bohong jika aku menjawab tidak Gi. Dua tahun lebih kita bersama. 

Saat itu, di ruang tamu ini aku duduk di sofa tempatmu duduk, dengan ditemani buku novel yang tegeletak di meja dan secangkir teh hangat serta suara rintikan hujan di luar rumah yang menyertai keheningan, persis seperti ini suasana waktu itu yang kemudian tidak lama aku mendengar suara ketukan pintu. 

Tok..tok.. (suara ketukan pintu). “Ben, ku kira kamu gak jadi kesini karena hujan.” Tanyaku . 

“Cuma gerimis kok, nih sekarang udah gak hujan.” Kata Ben. “Udah siap? Tanya Ben. “Sebentar aku ambil tas.” Jawabku. Aku ikut Ben ke Toko perlengkapan kedai kopi. 

Di atas motor dengan jalanan masih basah karena hujan, suasana sejuk sore itu sama dengan suasana pertama kali aku berbincang dengan Ben dan sama seperti suasana saat ini. 

Saat diperjalanan Ben menyampaikan kepada ku untuk bagaimana selanjutnya setelah dia wisuda nanti. “Ran.” Panggil Ben. “Iya?. Jawabku. “Bulan depan kan aku udah wisuda.” 

“Terus?” Tanyaku. “Dua atau tiga hari setelah wisuda nanti rencananya aku mau ke Bandung, merintis kedai kopi yang disana dengan kakakku.” “Kedai kopi yang di Jogja gimana? Tanyaku lagi.      

Dalam pikiran Ben, mungkin dia tahu bukan kedai kopi yang ku maksud tetapi bagaimana dengan hubungan ini jika harus terpisah antara Jogja dan Bandung. 

“Aku udah percaya sama Dito, kedai kopi yang di Jogja biar diurus Dito. Ran, setelah kamu wisuda nanti aku harap kamu mau ke Bandung bersamaku. Aku pasti bantu kamu cari pekerjaan disana.” Jelas Ben. 

“Untuk tempat tinggal kamu bisa tinggal bersama sepupuku Nivi sampai kamu mendapat pekerjaan dan sampai..” Ben belum selesai berbicara. 

“Satu tahun lagi?” Tanyaku. “Yaa, kalau wisudamu bisa tepat waktu.” Jawab Ben sambil tertawa mencoba memecahkan ketegangan. 

“Aku ataupun kamu bisa saling mengunjungi kan Ran?” sambung Ben. “Iya, cuma waktu liburan semester dan kalau kamu enggak sibuk.” Jawabku waktu itu.

“Kesan pertamaku bertemu Ben dia laki-laki yang baik Ran, bahkan setelah aku mendengar ceritamu ini dia berusaha ingin membuatmu tenang, kelihatannya dia juga mempersiapkan yang akan kamu butuhkan.” Ucap Gia. “Aku mengenalnya sebagai laki-laki yang baik, ceria, aku selalu merasa aman bersamanya. Aku pun masih mengingat jelas bagaimana saat aku mengantarnya ke Bandara.” Ucapku melanjutkan perkataan Gia

Saat itu Bandara sedikit ramai, orang-orang dari penjuru arah dengan koper ataupun tas gendongnya masing-masing. Ben menarik koper dengan tangan kanan dan tangan kiri menggandeng tanganku dengan berbincang-bincang. “Motor kamu gimana Ben?”. 

“Nanti gampang lah, biar dipaketin Dito ke Bandung. Kalau kamu gak kuliah, kamu yang aku paketin Ran.”         Kata Ben, dengan tertawa. “Jahat banget, kenapa gak dibeliin tiket pesawat?”. 

“Mau? Ayo aku beliin sekarang Ran.” “Enak aja.” Kita saling tertawa. Kemudian Ben menghentikan langkah dan melepas tangannya dari pegangan koper. Tangan kiri yang awalnya menggandengku, lalu berpindah tangan keduanya memegang pundakku. 

“Ran, jaga diri baik-baik ya. Nanti kalau udah ada waktu senggang aku main-main ke Jogja.” Kata Ben. “Iya Ben, semoga sukses ya Kedai kopi kamu yang di Bandung.” Kataku. 

“Tetap fokus kuliah ya Ran, biar cepat wisuda. Nanti di wisuda kamu aku pasti datang dan kita berangkat ke Bandung sama-sama.” 

“Iya Ben, kalau sudah sampai Bandung kabarin ya”. “Pasti Ran, aku berangkat dulu ya.” Pamit Ben dengan melepas tangannya dari pundakku. 

“Hati-hati Ben.” Ucapku dengan tersenyum. Setelah itu, aku dan Ben menjalani hubungan ldr. “Terus bagaimana keadaan kalian saat ldr?” Tanya Gia. 

“Ben selalu memberiku kabar, hanya saja firasatku selalu mengatakan yang berbeda.” Jawabku. “Terkadang kita memang tidak bisa menembak hati dan pikiran seseorang Ran, seringkali kita dibuat bingung antara sikap dan keadaan.” Ucap Gia. 

“Iya, benar Gi. Bahkan dengan seseorang yang sudah kita kenal lama hitungan tahun pun tidak menjamin kita benar-benar mengenalnya.” Jawabku. “Percaya saja Ran, setiap apapun yang terjadi semesta selalu memiliki caranya sendiri untuk menciptakan hal-hal tak terduga. 

Entah untuk kebahagian atau pembelajaran berharga.” Ucap Gia memberiku semangat. “Sering kali Ben mengatakan bahwa dirinya sibuk, aku pun melihatnya sendiri melalui panggilan video bagaimana lelahnya karena dia masih merintis kedai kopi. 

Saat Ben tidak bisa datang ke wisudaku waktu itu aku selalu mencoba berpikir positif mungkin saja pekerjaannya disana memang tidak bisa ditinggalkan.” Kataku. 

“Tapi raut wajah resahmu saat wisuda itu tidak bisa membongi Ran.” “Memang benar Gi saat itu aku resah, aku menunggu Ben untuk menepati janjinya.” Kataku.

Aku masih mengingat bagaimana detail-detail kejadian itu, saat mendekati hari wisudaku. Pagi hari jam dinding menunjukkan pukul 09.00, sampai malam hari belum ada kabar dari Ben sudah sampai Jogja atau belum. Dari sore aku menghubungi ponselnya tidak aktif. 

Aku menunggunya sampai larut malam dan ketiduran di sofa, terbangun pukul 04.30 pagi dan belum ada kabar juga dari Ben. Matahari telah terbit dengan sinarnya menghampiri jendela, ponsel Ben masih belum aktif. Aku memutuskan untuk ke rumah Ben yang di Jogja. 

Aku terus mencoba berpikir positif, berharap Ben telah sampai di rumahnya dan hanya lupa charger ponselnya. Setiba di depan rumah Ben, ada seorang ibu-ibu menghampiriku. 

“Cari siapa mbak?” Tanya ibu itu kepadaku. “Ini saya cari Ben, bu.” Jawabku. “Rumahnya udah lama sepi mbak tidak ada orang paling cuma petugas kebersihan yang dimintai tolong Mas Ben untuk bersih-bersih halaman, Mas Ben masih di Bandung kayanya.” Aku semakin resah memikirkan Ben. 

Aku berpikir bisa jadi Ben di Kedai kopi, akhirnya aku coba untuk mencari Ben ke Kedai kopi. “Tumben pagi-pagi udah kesini, coffee latte seperti biasa?” Tanya Dito. “Enggak Dit, bukan itu.” Jawabku dengan panik dan mata memandang ke segala penjuru mencari keberadaan Ben. 

“Terus mau ngapain kesini, nyariin apa sih?.” Tanya Dito. “Aku cari Ben.” Jawabku. “Cari Mas Ben kok disini, kan masih di Bandung.” “Jadi Ben enggak disini?” Tanyaku lagi. 

“Enggak ada Ran, enggak ada ngabarin juga Mas Ben kalau mau kesini.” Jawab Dito. Aku kembali ke rumah, dan terus menghubungi Ben tetapi lagi lagi ponsel Ben masih belum aktif. “Dito tidak tahu kalau Ben mau ke Jogja, Apa Ben tidak jadi kesini.” Gumamku dalam hati. 

Aku terus menunggu hingga siang berganti sore, dan sampai bulan menggantikan matahari. Berulang kali aku melihat ponsel tidak ada satu pun pesan atau panggilan dari Ben, sudah menunjukkan pukul 11.30 malam belum juga mendapat kabar dari Ben. 

Aku yang baru saja terlelap tidur dengan ponsel masih ditangannya, tiba-tiba ponsel berbunyi ada panggilan masuk aku pun terbangun. Sampai di hari wisudaku Ben pun belum juga datang atau pun memberi kabar kepadaku. 

Hari itu dimana aku diwisuda tanpa kehadiran Ben, momen yang sudahku tunggu selama satu tahun semenjak Ben memutuskan pergi ke Bandung. 

Sudah dipertengahan acara tidak ada tanda-tanda kedatangan Ben. Aku memandang ke segala sudut gedung wisuda, namun tidak ada sosok Ben disana. Sampai Wisudaku telah selesai, Ben benar-benar tidak datang. 

Aku terus bertanya-tanya ada apa dengan Ben, dalam angan-anganku hari ini akan menjadi hari yang sangat bahagia karena selama 4 tahun perjuangan akhirnya di wisuda dan sekaligus bertemu dengan Ben yang sudah tidak bertemu selama satu tahun. Dalam hatiku “Apa maksut semua ini Ben, kamu tidak menepati janjimu. 

Aku kira hari ini akan menjadi hari bahagiaku, sama halnya saat aku datang di wisuda mu, aku kira kamu sungguh-sungguh akan datang ke wisuda ku, menyaksikan aku di wisuda, lalu kita berangkat ke Bandung bersama-sama dan menikmati keseruan diperjalanan seperti yang kamu janjikan kemarin.” 

Entah apa yang membuatku seperti ini aku selalu berpikir Ben tetap menjadi seseorang yang baik di kehidupanku, hingga malam hari dengan sinar bulannya yang tampak pada jendela kamarku. Yang kemudian aku menghampiri jendela itu, menatap kebawah teringat hal yang biasa dilakukan oleh Ben ketika tiba-tiba ada suara motor di depan rumah tampak Ben sudah melambaikan tangan dari bawah kearah dimana aku berdiri tepat di depan jendela. Dan keesokan harinya dengan cuaca pagi hari yang cerah, tapi tidak denganku. 

Raut wajahku tidak bisa secerah biasanya, hatiku bergemuruh, pikiranku tak menentu, dan kebimbanganku antara menunggu Ben di Jogja atau pulang ke rumah orang tuaku di Jakarta. Ponsel Ben masih tidak aktif, kemudian aku memutuskan untuk ikut orangtuaku ke Jakarta. Berganti hari, Aku telah tiba di Jakarta. Kedua orangtuaku kembali ke aktivitasnya untuk bekerja sementara aku tetap berada di rumah berdiam diri.

“Kamu bisa melewatinya Ran.” Kata Gia. “Aku melewati perjalanan yang panjang, seperti ada tanda tanya besar di hadapanku.” Jawabku. “Tapi lihat, kamu sudah mendapatkan jawabannya.” Ucap Gia lagi. 

“Aku mendapatkan tiga hujan yang berbeda, saat pertama mengenal Ben hujan sangat mendamaikan, tetapi hujan kembali datang cukup deras saat Ben memutuskan pergi ke Bandung, dan saat ini kamu melihatnya sendiri Gi seperti hujan badai.” Kataku. “Saat itu, kamu tidak mencoba menemuinya di kedai kopi Bandung?” tanya Gia. 

“Aku kesana Gi, beberapa bulan kemudian setelah aku di Jakarta. Yang awalnya aku sudah tidak ingin lagi mencari tahu tentang Ben, saat aku tiba kedai kopi itu sudah dijual ke orang lain dan orang itu tidak tahu keberadaan Ben dimana” jawabku. “Aku tidak habis pikir kenapa Ben memilih untuk menghilang begitu saja. Tapi Rania, kamu perlu tahu semua yang terjadi pasti yang terbaik untukmu, terkadang memang harus melewati duka untuk kemudian menemukan kebahagiaan” Ucap Gia. 

“Aku berhasil menyembuhkan luka itu selama tahun sejak menghilangnya Ben dari hidupku, dan akhirnya aku siap kembali ke kota ini berbincang denganmu dengan keadaan yang sudah tegar, meskipun rasa itu belum bisa aku tolak untuk pergi, aku pun tak mengerti dengan diriku sendiri dimana aku masih merindukannya tapi aku juga membencinya.” Kataku. Gia menepuk pundakku dan berkata “Ikhlaskan dan maafkan Ran, bukan untuk Ben atau pun dia. Tapi untuk dirimu sendiri. Kamu pasti bisa menciptakan kebahagiaanmu sendiri, bukan karena orang lain.”

 “Aku selalu mencobanya Gi, apalagi dengan keadaan saat ini yang tidak ada lagi kesempata untuk bersama Ben. Benar pendapat sebagaian orang, bahwa mencinta itu takdir sedangkan menikah adalah pilihan” Ucapku. “Tepat sekali Ran, kita bisa memilih menikah dengan siapa pun tetapi kita tidak bisa memilih perihal hati untuk mencintai siapa.” Sambung Gia. 

“Ben yang aku kenal teguh dengan pendirian, bagaimana bisa menerima perjodohan itu, sedangkan dia tahu hatinya masih untukku, tapi aku tidak begitu peduli lagi permasalahan dalam keluarganya yang membuat Ben menerima perjodohan itu.” Kataku. 

Gia pun bertanya lagi kepadaku “Lalu apa kamu akan datang ke pernikahannya Ran?” “Ben sudah mengundangku, keputusan kembali ke Jogja sudah otomatis aku pun siap untuk datang ke pernikahan Ben. 

Seperti yang dikatakan oleh Ben melalui pesan kemarin semua ini hanya perlu waktu untuk menerima keadaan ini, Ben yang perlahan akan menghilangkan rasa nya terhadapku, begitu pun aku yang harus menerima jika jalan ku memang seperti ini.” Jawabku masih dengan airmata yang terus mengalir. 

Gia yang sedari tadi berulang kali selalu menyodorkan tisu untukku dan beberapa kali menepuk pundakku atau merangkulku sebagai bentuk penguatan “Aku akan menemanimu ke pernikahan Ben, keadaan ini tidak hanya berat untukmu tetapi juga Ben.” Ucap Gia. 

Setelah Ben berpamitan untuk ke Bandung, setelah penantian itu akhirnya kita akan bertemu. Tapi aku tak pernah menyangka jika pertemuan yang saling kita tunggu harus sebagai mempelai dan tamu undangan. Tidak habis pikir aku dengan keadaan ini, mengapa dia memilih menghilang dan baru menghubungiku untuk datang ke pernikahannya.

 Terkadang manusia tidak bisa memperjuangkan kebahagiannya sendiri, dia jelas tahu takdir arah hatinya kemana tapi mengapa harus menolak takdir itu. Aku tak ingin menjadi manusia seperti itu, aku harus memperjuangkan kebahagianku untuk menguburnya dalam-dalam dan menghilangkan segala tentangnya.

*****Selesai*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun