Entah untuk kebahagian atau pembelajaran berharga.” Ucap Gia memberiku semangat. “Sering kali Ben mengatakan bahwa dirinya sibuk, aku pun melihatnya sendiri melalui panggilan video bagaimana lelahnya karena dia masih merintis kedai kopi.
Saat Ben tidak bisa datang ke wisudaku waktu itu aku selalu mencoba berpikir positif mungkin saja pekerjaannya disana memang tidak bisa ditinggalkan.” Kataku.
“Tapi raut wajah resahmu saat wisuda itu tidak bisa membongi Ran.” “Memang benar Gi saat itu aku resah, aku menunggu Ben untuk menepati janjinya.” Kataku.
Aku masih mengingat bagaimana detail-detail kejadian itu, saat mendekati hari wisudaku. Pagi hari jam dinding menunjukkan pukul 09.00, sampai malam hari belum ada kabar dari Ben sudah sampai Jogja atau belum. Dari sore aku menghubungi ponselnya tidak aktif.
Aku menunggunya sampai larut malam dan ketiduran di sofa, terbangun pukul 04.30 pagi dan belum ada kabar juga dari Ben. Matahari telah terbit dengan sinarnya menghampiri jendela, ponsel Ben masih belum aktif. Aku memutuskan untuk ke rumah Ben yang di Jogja.
Aku terus mencoba berpikir positif, berharap Ben telah sampai di rumahnya dan hanya lupa charger ponselnya. Setiba di depan rumah Ben, ada seorang ibu-ibu menghampiriku.
“Cari siapa mbak?” Tanya ibu itu kepadaku. “Ini saya cari Ben, bu.” Jawabku. “Rumahnya udah lama sepi mbak tidak ada orang paling cuma petugas kebersihan yang dimintai tolong Mas Ben untuk bersih-bersih halaman, Mas Ben masih di Bandung kayanya.” Aku semakin resah memikirkan Ben.
Aku berpikir bisa jadi Ben di Kedai kopi, akhirnya aku coba untuk mencari Ben ke Kedai kopi. “Tumben pagi-pagi udah kesini, coffee latte seperti biasa?” Tanya Dito. “Enggak Dit, bukan itu.” Jawabku dengan panik dan mata memandang ke segala penjuru mencari keberadaan Ben.
“Terus mau ngapain kesini, nyariin apa sih?.” Tanya Dito. “Aku cari Ben.” Jawabku. “Cari Mas Ben kok disini, kan masih di Bandung.” “Jadi Ben enggak disini?” Tanyaku lagi.
“Enggak ada Ran, enggak ada ngabarin juga Mas Ben kalau mau kesini.” Jawab Dito. Aku kembali ke rumah, dan terus menghubungi Ben tetapi lagi lagi ponsel Ben masih belum aktif. “Dito tidak tahu kalau Ben mau ke Jogja, Apa Ben tidak jadi kesini.” Gumamku dalam hati.
Aku terus menunggu hingga siang berganti sore, dan sampai bulan menggantikan matahari. Berulang kali aku melihat ponsel tidak ada satu pun pesan atau panggilan dari Ben, sudah menunjukkan pukul 11.30 malam belum juga mendapat kabar dari Ben.