Tiga Hujan yang Berbeda
Sore hari dengan suasana yang sejuk ditemani rintikan kecil sisa hujan di siang hari. Aku memasuki sebuah Kedai kopi yang tidak terlalu ramai tetapi kenyamanan selalu ada.
Sengaja aku datang sebelum malam hari menghindari bising keramaian sesekali memaksimalkan waktu menikmati novel dengan segelas kopi.
“Mas, seperti biasa ya.” Pesanku. “Siap.” Salah satu Barista menjawab dengan senyum dan mengacungkan jempol. Perpaduan antara warna putih dan coklat pada kedai kopi, dengan lantai kayu yang mengkilap serta harumnya aroma kopi-kopian seakan menghampiri ke tempat dimana aku duduk, lalu-lalang kendaraan diantara pohon-pohon yang bediri pada tepian jalan, dan pemandangan asri itu memang pantas aku nikmati dari jendela kaca yang berada tepat di sampingku.
Barista berbadan tinggi ideal, berambut gondrong yang tidak melebihi bahu, biasanya rambut itu dibiarkan terurai sekarang tampil berbeda, rambunya diikat dan mengenakan celana jeans dengan atasan kaos hitam di balik apron coklat dari kulit yang menempel di badannya, melangkahkan kaki menuju mejaku dan semakin dekat, benar dia yang mengantarkan pesananku.
“Coffee latte?” Tanya Barista itu dengan menyodorkan kepadaku satu gelas coffe latte yang dilengkapi piring cawan kecil. “Ya, tepat sekali.” Jawabku. Bukan pertama kalinya aku mengunjungi Kedai kopi ini, tetapi pertama kalinya dia yang mengantarkan pesanan ke mejaku.
Dan pertama kalinya aku melihat dia mengantarkan pesananan ke meja pembeli, yang biasanya itu adalah pekerjaan temannya yang tengah berdiri di meja kerja dengan senyum tipis dan mengarahkan pandangan menuju pada Barista berambut gondrong ini. Barista berambut gondrong yang diikat ini menatap dengan senyum sembari menarik kursi untuk dia duduk.
“Masih kuliah?” Tanya dia, dengan menyingkirkan hiasan kecil vas beserta bunganya yang tepat berada di depanku. “Iya.” Aku kembali membaca novelku. “Semester?” Dia bertanya lagi sembari menutup buku novel yang aku baca. “Empat.” Jawabku dengan menatap heran karena tingkah anehnya.
“Ben.” Dia tersenyum dan mengulurkan tangan kearahku mengajak bersalaman. Aku semakin kebingungan dengan tingkahnya dan pelan mengulurkan tanganku untuk bersalaman dengannya. Belum sampai aku mengatakan siapa namaku, dia kembali berbicara.
“Ohh kita selisih satu tahun, aku semester enam. Aku lihat, kamu sering kesini, oh iya, siapa namamu?”. “Rania.” Jawabku singkat.
Gia yang sedari tadi fokus mendengarkan ceritaku saat pertama mengenal Ben tanpa bersuara, seketika dia bertanya “Kamu merindukannya?