orang pasti punya nama sebagai identitas. Nama adalah pemberian orang tua yang berisikan harapan ataupun doa untuk anak mereka. Ketika berinteraksi dalam suatu komunitas, seringkali orang dipanggil bukan dengan nama aslinya. Beberapa orang disapa dengan 'plesetan' dari nama asli ataupun menggantinya dengan nama-nama yang aneh. Hal ini bagi sebagian besar orang dipandang sebagai sebuah keakraban, seperti yang terjadi di kalangan orang Jawa. Sapaan itu pula dapat menjadi cerminan dari fase hidup orang Jawa.
SetiapFase Balita
Dulu sewaktu balita, kita memanggil teman kita dengan nama aslinya. Atas ajaran orang tua lah kita mengetahui nama teman kita. Balita dengan pikiran yang polos sepertinya belum mengenal nama 'plesetan'. Selain penggunaan nama asli, kata ganti orang mulai digunakan, namun penggunaannya tidak terlalu sering.
Fase Anak-Anak
Pada fase ini, kita mulai mengerti penggunaan kata ganti orang sesuai kaidah yang umumnya berlaku. Secara umum, sapaan atau dalam hal ini kata ganti orang dalam Bahasa Jawa ada tiga, yaitu: Kowe, Sampeyan, dan Panjenengan.
Ketiga kata itu memiliki tingkatan yang berbeda, tergantung kepada siapa kita berbicara. Kowe untuk orang yang seumuran atau umurnya di bawah kita, Sampeyan untuk orang yang lebih tua namun tidak terpaut jauh, sedangkan Panjenengan untuk orang yang usianya terpaut jauh. Namun penggunaannya seringkali diabaikan karena sifat seorang anak yang umumnya belum terlalu mengerti 'unggah-ungguh' atau tata krama.
Fase ini pergaulan kita lebih luas, dan mulai mengenal 'ejekan' hingga 'plesetan' dari nama seseorang yang tak jarang berkonotasi negatif. Bahkan seringkali terlihat anak memanggil temannya dengan nama orang tua. Hal ini bisa dikatakan sebagai bagian dari 'bullying' memang.
Fase Remaja
Fase remaja yang dialami sebagian besar orang Jawa sudah memahami dan mempraktikan kata ganti orang dengan benar. Namun penggunan nama ejekan atau plesetan untuk memanggil teman masih digunakan, bahkan bisa dikatakan lebih massif. Hal ini bisa dikarenakan pergaulan remaja yang semakin luas sehingga lebih banyak mengenal orang juga.
Nama sapaan yang pada fase anak-anak dipandang sebagai 'bullying', dipandang berbeda pada fase remaja ini. Hal itu justru oleh sebagian besar remaja Jawa dianggap sebagai bentuk keakraban. Oleh karena itu, pada fase remaja ini penggunaan nama sapaan yang bisa dibilang 'aneh' semakin melekat. Bahkan tak jarang kita lebih tahu nama sapaan 'aneh' seseorang, dibanding nama aslinya
Fase Dewasa
Ketika seorang Jawa memasuki fase dewasa, penyebutan nama-nama 'aneh' tersebut menjadi tak lazim didengar. Pada fase ini orang lebih sering menyapa dengan nama asli. Dalam 'unggah-ungguh' pun lebih banyak menggunakan penyebutan 'sampeyan' dan penambahan 'mas' di depan nama asli ketika menyapa teman sebaya. Bahkan tak jarang yang menggunakan penyebutan 'panjenengan' kepada teman sebaya, terutama yang lama tak bertegur sapa.
Bagi yang tau 'unggah-ungguh' Bahasa Jawa, tentu ini terdengar aneh dan kaku. Tapi ini bisa dipandang sebagai sebuah bentuk pendewasaan. Keakraban yang tadinya tercermin dari nama ejekan, telah bertransformasi menjadi keakraban yang lebih 'dewasa' dengan penyebutan 'sampeyan', 'panjenengan', 'mas', dan 'mba'. Dengan pembawaan yang lebih tenang, tidak asal bicara, dan dibumbui 'ngapunten' (mohon maaf) dan 'matur nuwun' (terima kasih) ketika mengawali ataupun mengakhiri pembicaraan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H