Mohon tunggu...
Nur Ansar
Nur Ansar Mohon Tunggu... Administrasi - Pekerja lepas

Sesekali jalan-jalan dan baca buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sapi Kami Tidak Makan Karet

30 Juni 2017   14:25 Diperbarui: 30 Juni 2017   14:32 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu kampung yang berkonflik dengan perkebunan karet. Bermula saat perkebunan karet itu mematok wilayahnya, yang dianggap juga oleh warga bahwa itu milik mereka. Karena kalah dari perkebunan, akhirnya banyak warga yang harus pindah dari tempat tinggalnya. Bukan hanya tempat tinggal, tapi juga tanah tempat mencari nafkahnya pun harus mereka tinggalkan, dan mencari pekerjaan lain.

Tak hanya kampung tersebut yang menjadi korban. Tapi juga kampung-kampung lain yang berada di sekitaran perkebunan tersebut. Selain perkebunan yang membuat mereka harus pindah, ada juga yang harus pindah dari kampung dan meninggalkan tanah garapannya karena di klaim sebagai hutan. Jadinya, banyak yang harus merantau ke negeri seberang.mencari  nafkah untuk menghidupi keluarganya. Mau bagaimana lagi, tidak ada lagi tanah yang digarap.

Selain merantau, ada juga yang manjadi buruh bangunan, dan serabutan lainnya. Ada juga yang beternak sapi. Nanti jika sapinya sudah besar akan dijual. Yaiyalah,kalau sapi yang baru lahir, kemudian dibeli dan di jual kembali, kan mereka tidak beternak. Tapi jadi pedagang sapi.

Sapi yang mereka pelihara, biasanya makan rumput di sekitar wilayah yang diakui pihak perkebunan sebagai wilayahnya. Awalnya berjalan biasa saja. Sampai tiba suatu masa ketika Madara menyerang dan ingin membangkitkan tzukoyomi yang ia impikanpihak perkebunan karet merasa produksi karetnya menurun gara-gara sapi yang makan rumput di wilayahnya. Selain dari mengaggap bahwa sapi membuat produksi karetnya menurun, pihak perkebenunan juga memecat seratusan buruhnya secara sepihak, dan terkesan memaksa dengan intimidasi.

Suatu siang, Ibrahim sedang membawa sapinya ke temapat dimana ia biasa mengikat tali sapinya saat diberi makan. Dengan memakai baju kotak-kotak yang lengan kanannya sudah sobek. Celananya panjang  berwarna coklat, tapi dulunya berwarna putih katanya. Karena sering dipakai mengambil rumput dan bekerja lainnya,akhirnya menjadi kecokelatan. Ketika saya bertanya kenapa bajunya sobek,Ibrahim menjawab, memang kenapa? Ada yang salah? Dasar kepo. Karena Ibrahim menjawab seperti itu, akhirnya saya berhenti bertanya, dan saling tatap-tatapan.

Dengan gaya seperti itu, berangkatlah ia membawa sapi-sapi nya. Sapinya ada enam ekor. Tiga ekor yang sudah besar dan siap untuk dijual, dan tiga lagi masih kecil. Baru satu minggu ia beli, katanya. Setelah ia mengikat sapinya di tempat biasa sapinya ia ikat, Ibrahim pun beranjak pulang, mengerjakan hal lain. Memang butuh kerjaan lain selain beternak. Karena jika hanya mengandalkan uang dari hasil menjual sapi, itu tidak cukup untuk makan sehari-hari.

Selain beternak sapi, Ibrahim juga mengerjakan sawah yang luasnya tidak seberapa. Itupun bukan miliknya. Sawah itu milik orang lain. Ibrahim hanya menggarap, jika panen tiba, hasil panen itu dibagi dengan pemilik sawah tersebut. Kadang juga terjadi gagal panen. Pernah terjadi ketika padi-nya sudah mulai mengeluarkan biji, tiba-tiba hujan bersama dengan petir terus mengguyur kampungnya. Akhirnya padi  Ibrahim banyak yang tidak berisi, diserang ulat, dan juga hama tikus. Maka jadilah ia merugi, tak ada hasil yang ia dapatkan.

Sore hari pun tiba, waktu itu Ibrahim sedang duduk santai di teras rumahnya, sambil menikmati segelas kopi, dan tentu saja rokok kreteknya. Baru tiga kali Ibrahim meneguk kopi dari gelasnya, datanglah satu warga yang juga mengikat sapinya berdekatan dengan sapi milik Ibrahim. Sapi-sapi mu dibawa oleh penjaga perkebunan, kata warga tersebut kepada Ibrahim. Sontak Ibrahim langsung mengambil topinya, lalu berangkat bersama warga tadi. Benar saja, sapi Ibrahim sudah ada di tengah lapangan yang tak jauh dari kawasan perkebunan karet. Dan tentu saja sapinya dipegang oleh penjaga perkebunan tersebut.

Di tengah lapangan. Disore hari yang indah, angin bertiup pelan-pelan. Ibrahim dan satu warga tadi, sudah berhadapan dengan para penjaga perkebunan tersebut. Mereka mulai bercerita. Kenapa sapi saya dibawa ke tengah lapangan? Terdengar Ibrahim bertanya dengan suara keras. Sapi-sapimu tidak boleh kau ikat di wilayah perkebunan karet, sapimu membuat karet yang disadap tumpah semua, akhirnya produksi kami berkurang. Salah satu penjaga menjawab dengan nada keras juga. Tapi kami sudah lama mengikat sapi kami di tempat tersebut, dan dan tidak ada karet yang tumpah. Ujar Ibrahim membalas. Iya tidak ada, satu warga yang tadi ditemani Ibrahim, membenarkan.

Oh iya, penjaga tersebut ada delapan orang. Mereka berpakaian hitam, lengkap dengan senjata khas para penjaga atau satpam lainnya. Wajah mereka sangar semua. Badannya kekar, terlihat kuat, tapi tidak bertato. Rupanya mereka sudah membawa sapi Ibrahim sejak siang. Tak lama setelah Ibrahim pergi meninggalkan sapinya siang tadi.

Masalah itu, tidak berhenti sampai di tengah lapangan saja. Kali kedua terjadi di wilayah perkebunan, yaitu di tempat dimana sapi-sapi biasa Ibrahim ikat saat ia memberi makan sapi miliknya. Yang ini lebih parah lagi, para penjaga menyandera sapi tersebut. Para penjaga melarang sapi tersebut makan dan bahkan tidak mereka beri minum. Saat itu sudah sore, hampir-hampir magrib tiba. Sudah seharian mereka menjaga sapi itu. Tak lama datanglah Ibrahim, ingin mengambil sapinya. Mau saya kasih minum. Kata Ibrahim kepada para penjaga. Tidak bisa. Ujar penjaga dengan nada suara keras. Ibrahim tetap bersitegang ingin membawa sapinya. Lah kan sapinya milik dia juga.

Warga-warga yang biasanya pulang kerja,lewat tak jauh dari tempat itu. Maka terdengarlah suara adu mulut mereka. Saya juga takut, kata Ibrahim. Mereka banyak,sadangkan saya sendiri, Ibrahim kembali menambahkan. Rupanya Ibrahim memang dalam hatinya meminta agar adu mulut mereka terdengar oleh orang lain. Biar jika terjadi sesuatu,bisa ada yang datang.

Menurut salah satu pemuda, yang melakukan investigasi tentang pemecatan sepihak terhadap buruh di perkebunan karet mengatakan bahwa, produksi karet tersebut menurun karena buruhnya mulai tidak produktif. Hal ini bisa dilihat dari setelah perkebunan memecat seratusan buruh, produksi langsung meningkat lagi. Jadi buruh yang tidak kena pecat,merasa ketakutan. Akhirnya mereka yang biasanya menyadap karet dengan luas satu hektar perhari, langusng menambah luas sadapannya , menjadi dua hektar. Para buruh memaksakan dirinya bekerja, karena takut kena pecat. Jadi penurunan produksi tersebut bukan karena sapi yang di ikat di sekitaran pohon karet, tapi karena produktifitas pekerja yang menurun.

Tapi namanya juga penguasa, mereka tetap tidak membiarkan sapi-sapi  milik Ibrahim berada di kawasannya. Yang aneh saat itu, hanya sapi milik Ibrahim yang dijaga, sedangkan sapi milik warga lain tidak. Ah mungkin sapi milik Ibrahim ini punya bakat terpendam, sehingga harus dijaga oleh delapan orang penjaga dari pihak perkebunan.

Kalau terus begini, bisa-bisa saya harus jual sapi saya dan mencari lagi pekerjaan lain. Untuk cari kerja itu susah, saya mau bertani,tapi tanah saya sudah tidak ada, semuanya sudah diklaim oleh perkebunan dan juga dicaplok sebagai kawasan hutan. Padahal sapi saya hanya memakan rumput dan juga hanya meminum air. Sapi saya tidak makan pohon karet, apalagi sampai harus meminum getah karet. Tapi kok harus dijaga dan dilarang berada di kawasan itu?

Ibrahim terus mencari solusi agar sapi yang dia dan warga lainnya pelihara, tidak langsung mereka jual. Mereka tidak ingin kehilangan lagi pekerjaannya. Berfikir dan berdiskusi,akhirnya mereka punya niat untuk menanam rumput gajah di pinggiran sungai. Rumput  gajah tersebutlah yang dijadikan sebagai makanan sapi. Karena sapi mereka tidak makan karet.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun