Mohon tunggu...
Nur Ansar
Nur Ansar Mohon Tunggu... Administrasi - Pekerja lepas

Sesekali jalan-jalan dan baca buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sapi Kami Tidak Makan Karet

30 Juni 2017   14:25 Diperbarui: 30 Juni 2017   14:32 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Warga-warga yang biasanya pulang kerja,lewat tak jauh dari tempat itu. Maka terdengarlah suara adu mulut mereka. Saya juga takut, kata Ibrahim. Mereka banyak,sadangkan saya sendiri, Ibrahim kembali menambahkan. Rupanya Ibrahim memang dalam hatinya meminta agar adu mulut mereka terdengar oleh orang lain. Biar jika terjadi sesuatu,bisa ada yang datang.

Menurut salah satu pemuda, yang melakukan investigasi tentang pemecatan sepihak terhadap buruh di perkebunan karet mengatakan bahwa, produksi karet tersebut menurun karena buruhnya mulai tidak produktif. Hal ini bisa dilihat dari setelah perkebunan memecat seratusan buruh, produksi langsung meningkat lagi. Jadi buruh yang tidak kena pecat,merasa ketakutan. Akhirnya mereka yang biasanya menyadap karet dengan luas satu hektar perhari, langusng menambah luas sadapannya , menjadi dua hektar. Para buruh memaksakan dirinya bekerja, karena takut kena pecat. Jadi penurunan produksi tersebut bukan karena sapi yang di ikat di sekitaran pohon karet, tapi karena produktifitas pekerja yang menurun.

Tapi namanya juga penguasa, mereka tetap tidak membiarkan sapi-sapi  milik Ibrahim berada di kawasannya. Yang aneh saat itu, hanya sapi milik Ibrahim yang dijaga, sedangkan sapi milik warga lain tidak. Ah mungkin sapi milik Ibrahim ini punya bakat terpendam, sehingga harus dijaga oleh delapan orang penjaga dari pihak perkebunan.

Kalau terus begini, bisa-bisa saya harus jual sapi saya dan mencari lagi pekerjaan lain. Untuk cari kerja itu susah, saya mau bertani,tapi tanah saya sudah tidak ada, semuanya sudah diklaim oleh perkebunan dan juga dicaplok sebagai kawasan hutan. Padahal sapi saya hanya memakan rumput dan juga hanya meminum air. Sapi saya tidak makan pohon karet, apalagi sampai harus meminum getah karet. Tapi kok harus dijaga dan dilarang berada di kawasan itu?

Ibrahim terus mencari solusi agar sapi yang dia dan warga lainnya pelihara, tidak langsung mereka jual. Mereka tidak ingin kehilangan lagi pekerjaannya. Berfikir dan berdiskusi,akhirnya mereka punya niat untuk menanam rumput gajah di pinggiran sungai. Rumput  gajah tersebutlah yang dijadikan sebagai makanan sapi. Karena sapi mereka tidak makan karet.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun