WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa kesehatan mental merupakan  keadaan fisik, mental, sosial yang sejahtera dan utuh serta tidak hanya terhindar dari penyakit atau kelemahan, kesehatan mental juga merupakan komponen padu dan fundamental dari kesehatan.
Manusia merupakan makhluk sosial yang terbuka untuk saling berinteraksi. Suasana lingkungan dan tempat tinggal akan mempengaruhi secara timbal balik kepada individu tersebut.
Wabah COVID-19 yang telah masuk sejak paruh pertama tahun 2020 yang mengharuskan masyarakat harus beradaptasi dengan cepat dan penuh tekanan. Perubahan ini menjadi sumber munculnya masalah-masalah baru terutama pada kesehatan mental yang terjadi di tiap individu maupun kelompok sosial dengan masalah yang berbeda. Terlebih lagi jika individu tersebut terpapar langsung oleh virus ini.
Mulai dari gejala yang dialami sewaktu karantina atau isolasi mandiri dan adanya lockdown serta pembatasan sosial dalam waktu lama merupakan sesuatu yang baru bagi masyarakat. Rangkaian ini dilakukan agar mencegah terjadinya penyebaran lebih luas dan memperparah keadaan.
Masalah kesehatan mental terjadi akibat ketidakmampuan individu dalam mempertahankan pondasi kehidupannya atau menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Â Â
Seorang pelopor gerakan kesehatan mental, M. Jahoda mendefinisikan bahwa kesehatan mental adalah kondisi individu yang berkaitan dengan penyesuaian diri dalam menghadapi dan mengatasi masalah atau berhadapan dengan suasana baru dengan pertahanan stabilitas diri.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan bahwa lebih dari 19 juta penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Selain itu, lebih dari 12 juta penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.
Kasus kesehatan mental terus bertambah terlebih lagi dalam kondisi pandemic seperti ini yang kemungkinan banyak dari mereka tidak menyadari bahwa permasalahannya tersebut adalah mengarah pada kesehatan mental. Karena mereka merasa bahwa gejala tersebut merupakan hal yang biasa terjadi sehari-hari. Seperti mudah merasa bosan, suasana hati yang sering berubah-ubah, merasa cemas, menjadi lebih sensitif dan merasa lebih emosional.
Gejala masalah kesehatan mental atau depresi yang tidak teridentifikasi, diperlukan screening awal untuk mengetahui remaja-remaja yang mengalami permasalahan tersebut. Selama pandemic berlangsung, banyak dari mereka yang mengalami depresi ringan.
Perasaan sedih, hati yang kosong disertai perubahan tubuh dan pola pikir yang secara signifikan mempengaruhi kemampuan individu untuk berfungsi dengan baik juga termasuk gejala awal terjadinya depresi (American Psychiatric Association, 2013). Depresi juga memiliki efek nyata pada perubahan kebiasaan makan, pola tidur dan lainnya.
Berbagai masalah kesehatan mental yang terkait banyak terjadi pada remaja saat ini. Perubahan suasana pembelajaran, dituntut untuk menyesuaikan diri, mempertahankan nilai yang baik, dan mengharuskan mereka untuk lebih berinisiatif dengan orang baru bagi mereka yang baru memasuki jenjang pendidikan. Hal tersebut yang menyebabkan kecemasan bagi para remaja (Buchanan, 2012).
Gangguan kesehatan mental pada masa dewasa awal, akan menyebabkan efek besar dalam keberhasilan akademik, perencanaan masa depan atau mungkin dapat menyebabkan penyalahgunaan zat terlarang (Eisesberg, Gollust, Golberstein & Hefner, 2007).
Max Siporin berpendapat bahwa, pekerjaan sosial adalah suatu teknik lembaga sosial dalam membantu individu untuk mencegah dan memecahkan masalah serta untuk memperbaiki dan meningkatkan keberfungsian sosial.
Menurut Harriet Bartlett, ia menyatakan bahwa fokus profesi pekerjaan sosial adalah adanya hubungan diantara aktivitas individu untuk menghadapi tuntutan dari lingkungan dengan tuntutan lingkungan itu sendiri.
Berdasarkan fokus pekerjaan sosial, interaksi antara klien dengan masalah yang dialaminya. Maka, pekerjaan sosial melakukan intervensi dalam setting kesehatan mental yang ditujukan kepada masalah pribadi klien dan lingkungan sosial klien (keluarga, tetangga, masyarakat, teman, sekolah, tempat bekerja) dan sistem sumber lainnya.
Dalam hal ini, pekerja sosial memiliki peran dalam menangani masalah sosial tersebut. Yakni dengan mencegah terjadinya disfungsi sosial pada klien. Sesuai yang terdapat dalam UURI Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pekerja Sosial.
Selain membantu mencegah terjadinya kedisfungsian sosial dan mengembalikan keberfungsian sosial pada klien. Maka, intervensi pekerjaan sosial yang digunakan berfokus pada aspek BPSS (biopsikososial spiritual). Yakni, pekerja sosial akan dilandasi sebuah kerangka pemikiran yang menempatkan kesulitan masalah klien dalam hubungan timbal balik dengan lingkungannya.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan mental masyarakat. Seperti melakukan kegiatan positif secara rutin dalam waktu kosong dan banyak lainnya yang tanpa kita sadari dapat membuat mental menjadi sehat.
Selanjutnya, mengubah stigma masyarakat yang tabu agar mereka menyadari bahwa kesehatan psikis sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Dikarenakan pandemic yang masih berlangsung dan adanya pembatasan sosial. Maka, penggunaan platform media sosial sangat berguna untuk menyebarkan dan menjangkau kalangan luas informasi-informasi mengenai pentingnya kesehatan mental. Â
Selain menyebarkan informasi di berbagai platform digital, pekerja sosial juga dapat melakukan konseling secara online. Seperti melalui telepon, video, pesan teks, maupun menggunakan cybertherapy yang memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi untuk menjalankan pelayanan secara virtual dengan menggunakan avatar 3D.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H