Mohon tunggu...
Nurani Soyomukti
Nurani Soyomukti Mohon Tunggu... -

Penulis Lepas, Pekerja Sosial dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kelompok Kritis Trenggalek

16 Juni 2016   12:33 Diperbarui: 16 Juni 2016   12:38 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang teman senior berkata: “Aku mengritikmu justru karena kita adalah teman. Kalau aku menyanjung-nyanjungmu terus, apa gunaku sebagai teman”. Dapat diartikan bahwa kritik tak selalu bertujuan buruk, kritik juga bertujuan baik, atau bahkan bisa jadi ada yang tak punya  tujuan sama sekali.

Sebelum kita menganalisa tukang kritik, kita lihat dulu bagaimana reaksi orang atau kelompok terhadap kritik yang ditujukan padanya. Ada tipe orang yang terbuka yang jika dikritik justru menganggap hal itu memperkaya wawasan dan kritik dianggapnya  bisa  memperbaiki dirinya, kesadarannya,  dan tingkahlakunya. 

Saya sering mendengar pejabat, tokoh, dan pemegang otoritas yang bilang: “Jika ada hal-hal dari yang saya lakukan kurang berkenan atau dianggap salah, tolong kritik saya, karena pada dasarnya saya adalah orang yang tak mungkin sempurna. Kritik terhadap saya akan saya jadikan bekal untuk mengevaluasi diri, agar saya lebih baik lagi atau tidak salah lagi”.

Saya tak sekali dua kali mendengar perkataan orang seperti itu. Baik dalam pidato formal atau pembicaraan informal. Ia adalah pribadi yang terbuka. Tidak mudah marah. Bukan tipe reaktif dan reaksioner. Tapi memang tidak selalu orang harus menanggapi kritik orang lain, apalagi menanggapi secara reaktif dan reaksioner dengan tanggapan terhadap kritik secara emosional. 

Di sini ada orang yang dikritik tak merasa apa-apa, tak pernah bilang bahwa ia ingin dikritik, tapi juga tak menanggapi kritik. Ada pula orang yang cuek terhadap kritik. Tak membuat kritik sebagai bagian dari masukan untuk memperbaiki dirinya karena sudah merasa baik, pun juga tak menanggapi kritik secara verbal.

Orang yang tak mau dikritik, ada juga yang tak mau medengarkan kritik. Ia merasa kuat  dan kekuasaan atau kewenangannya sudah tak bisa diganggu, tingkahlaku dan pemikirannya sudah dianggap tak bisa diganggu dan sudah dianggap benar. Dia juga berusaha membungkam suara yang mengritiknya, bahkan menyingkirkan orang atau kelompok orang yang mengritiknya. Setiap orang yang mengritiknya dianggap sebagai rasa ketidaksukaan terhadap dirinya dan berupaya mengganggu apa yang ia kuasai.

Di Jawa Timur, pernah ada pimpinan daerah yang sebelum dijebloskan ke penjara karena suatu kasus pidana, menjadi pemimpin yang kejam terhadap pengritik atau terhadap pihak yang berusaha menunjukkan kesalahan-kesalahannya. Ia membunuh. Ia mengintimidasi. Dan ia menyingkirkan orang yang dianggap membahayakan kekuasaannya. Jujur,   masih ada tipe orang yang suka melakukan penyimpangan tetapi memang akan menutupi penyimpangan yang dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menyingkirkan dan membuat orang yang mengetahui penyimpangannya menjadi bisu, ketakutan, atau tak bernyawa.

Di sini, kita sering melihat bagaimana cara para pejabat membungkam orang yang mengritiknya atau yang berusaha menguak penyimpangan yang dilakukan. Suatu contoh, kenapa ada kejadian dimana ketika seorang pejabat atau pimpinan instansi pemerintah begitu takut pada wartawan yang datang ke kantornya? Pertanyaannya: Jika tidak bersalah dan tidak melakukan hal yang melanggar aturan atau penyimpangan, kenapa harus takut hingga harus sembunyi atau tak mau menemui?

Logikanya, jika suatu pemegang wewenang dan kekuasaan tidak punya masalah atau kesalahan apa-apa, tentu tak ada alasan kenapa tidak mau menemui dan ditemui wartawan yang pekerjaannya nulis berita. Pasti ia takut kalau wartawan itu akan menulis kasusnya, diberitakan, dan kasus penyimpangannya akan tersebar. 

Ada kalanya, pejabat yang kena kasus dan didatangi wartawan akan melakukan apa saja ahar wartawan itu tidak menuliskan berita penyimpangannya. Salah satu bentuk “pembungkaman” yang dilakukan adalah memberi proyek atau memberinya amplop. Ada kalanya muncul kejadian yang lebih “ngeri” lagi. Misal ada wartawan yang terlebih dulu menawar (baca: menodong). Ia mengatakan pada pejabat yang punya kasus, lalu ia minta sekian jumlah kompensasi (biasanya) uang, kalau tidak kasusnya akan diberitakan.

Kasus-kasus itu menunjukkan bahwa tukang kritik juga kadang menjadi tukang  pelacak kesalahan dan penyimpangan, lalu kekerjasama atau merangkap sebagai wartawan untuk mempertukarkan “kritik” atau “penyebaran kesalahan” dengan materi. Nah, berarti kita sudah sampai  pada tipe tukang kritik pertama. Yaitu,  tukang kritik yang tujuannya untuk  kepentingan pribadi dan kritisnya sesaat atau sifatnya tergantung keinginan dan tercapainya tujuan pribadi. Tukang kritik ini mengritik agar yang dikritik memperhatikan dan memberikan kompensasi agar ia tidak mengritik.

Tipe tukang kritik ini adalah yang melakukan kritikan untuk meningkatkan daya tawar. “Ayo, kami minta sepuluh juta, kalau tidak tak ungkit-ungkit lho penyimpanganmu”, kata tukang kritik pada yang dikritiknya. Ada kalanya si tukang kritik ini oleh penguasa dirangkul, dibungkam dengan cara dikasih uang, dikasih posisi, jabatan, dan pekerjaan. Tak heran jika kita melihat bahwa orang atau kelompok orang yang dulunya kritis dan lantang bersuara jika ada penyimpangan, setelah dirangkul dan dikasih pekerjaan, posisi, dan setoran, akhirnya tak pernah terdengar suaranya lagi. Tentu masih ada, meskipun sedikit, yang tak masuk kategori seperti itu.

Jadi, sekali lagi,  kita telah memahami tipe tukang kritik yang pertama, tukang kritik yang tujuannya hanya  untuk mencari keuntungan pribadi, tukang kritik yang bungkam setelah dapat posisi, kenikmatan, dan situasi yang membuatnya tak kritis lagi. Termasuk orang yang daya kritisnya terbatas, tak tahan lama, atau sporadis dan tergantung kepentingan pribadi.

Tapi ada tipe yang berbeda dengan tipe pertama. Katakanlah tipe kedua, yaitu tipe tukang kritik yang independen dan kritiknya disampaikan tanpa  beban. Rata-rata tipe ini adalah pengritik yang merasa tidak punya ketergantungan dengan siapa saja, termasuk dengan kekuasaan atau posisi yang diaggapnya menyimpang dan yang menurutnya layak dikritik.

Yang masuk tipe ini biasanya adalah anak-anak muda dan mahasiswa. Mungkin karena mereka belum terbebani dengan hidup, mampu mencukupi kebutuhan hidup dari orangtua. Intinya, kemandirian dalam memenuhi kebutuhan adalah basis dari pemikiran kritis yang tak punya kepentingan pragmatis dan sesaat. Profesi sebagai wiraswasta, akademisi, penulis, atau pekerjaan yang tidak tergantung dari pihak yang ingin dikritiknya adalah beberapa profesi yang memungkinkan orang untuk kritis.

Kenapa swasta dan bukan pegawai negeri? Tentu saja, kalau pegawani negeri, misalnya, bawahan mengritik pejabat atau pemegang kekuasaan di atasnya, kebanyakan ia akan terhambat kariernya. Makanya, posisi pegawai negeri membuat orang sulit untuk kritis. Ada satu dua orang PNS yang kritis, artinya mereka berani menanggung resiko dari apa yang dilakukan.

Belakangan, misalnya, ada suara-suara kritis terhadap sosok Pemimpin (bupati dan wakil bupati) Trenggalek, baik pemikiran, kebijakan dan tingkahlakunya. Sedikit suara kritis dari media sosial saja tampaknya mendapatkan reaksi yang berlebihan. Yang bereaksi bukan  pemimpin yang dikritik, tapi justru para pendukung dan fans-fansnya. 

Bahkan juga ada kritik  lewat tulisan di web-blog, misal tulisan Nisa Kartika (seorang buruh migran di Hongkong asal Trenggalek) yang mengritik ibu Bupati (Arumi) yang memajang foto di instagramnya, foto di Kafe yang dianggap pengritik berbau Korea. Kalimat Nisa Kartika yang intinya dirinya merasa tergelitik pada bu Arumi yang seharusnya kampanye kuliner lokal agar banyak pendatang dari luar yang penasaran pada makanan Trenggalek, tapi justru memasang foto yang menurut penulis  terkesan mengampanyekan Korean Food.

Atau tulisan mas Suripto (Ketua KPU Kabupaten Trenggalek) yang dimuat di website Nggalek.Co, yang intinya mengritik kegiatan Musrenbang yang dianggapnya kurang bermakna. Meskipun ini adalah kritik dan suara kritis lewat media online dan medsos, ternyata ada reaksi yang menunjukkan bahwa mengritik sepertinya adalah hal yang masih dipandang aneh. Mungkin salah satunya karena euforia kemenangan masyarakat pendukung terhadap Pemimpin yang cukup mendalam perasaan kemenangannya. Sampai-sampai keyakinan mereka yang amat besar bahwa ini adalah pemimpin yang bisa merubah Trenggalek membuat mereka lupa bahwa kritik adalah hal biasa dalam sebuah negara demokrasi.

Sebagian  bereaksi dengan mengatakan: “Buat apa mengritik kalau tak ada solusi”. Ini cukup aneh juga. Sebab mengritik itu memang tak harus memberi solusi. Apalagi yang dikritik adalah yang sedang memegang kekuasaan dan kewenangan besar untuk digunakan. Sementara yang mengritik, seperti sekelas buruh migran, malah dimintai solusi.

Kritik itu bisa dipandang sebagai tindakan mengingatkan. Kalau seseorang mengingatkan orang lain bahwa yang dilakukan itu  tak pantas, ia hanya ingin mengingatkan bahwa itu tidak pantas dilakukan, bukan menyuruh balik apa yang bisa kamu berbuat. Apalagi kritik dari rakyat kecil, yang harus dilayani dan ditolong. Rakyat kecilpun juga bisa bicara dan mengingatkan pada pemimpinnya: Mohon maaf pemimpin, seharusnya kamu melayani kami, kenapa kamu malah melayani mereka. Dan gak mungkin rakyat kecil akan dijawab: Kamu jangan mengingatkan, mana solusimu, mana tindakanmu jangan hanya ngomong! Rakyat kecil yang mau mati minta pertolongan dan mengingatkan bahwa ia pertolongan, malah disuruh bantu nolong!

Sekali lagi mengritik harus dilihat sebagai upaya mengingatkan. Dan mengingatkan adalah mengandung harapan. Mungkin harapannya tak semata agar ia ditolong atau diperhatikan, tapi juga ya tak ada kepentingan selain mengingatkan karena ia ingin yang dikritiknya yang dipandang salah akan memperbaiki kesalahanya.

Tentu saja masalah benar salah ini aalah wilayah yang bisa didiskusikan. Makanya di sinilah pentingnya diskusi publik yang tentu saja membutuhkan akal sehat dan kelancaran komunikasi timbal-balik. Agar komunikasi timbal-balik lancar, maka bahasa yang digunakan harus jelas. Cara penyampaiannya harus bagus. Memang, kadang ada kritik yang kesannya hanya mengolok-olok. Pada hal kritik itu agar mempengaruhi orang lain justru harus menggunakan bahasa yang bisa masuk, misalnya bahasa yang sopan, tak terkesan emosional, ketus,... Sebab bahasa emosional memang bukan bahasa kritik, tapi bahasa permusuhan. Wallahu’alam![]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun